Pages

25 June, 2013

Penanganan Perilaku Buruk Siswa dalam Pengelolaan Kelas



Dalam pengelolaan kelas, seorang guru hendaknya memahami perilaku siswanya serta membangun sebuah hubungan interpersonal yang baik. Hal ini untuk menunjang agar segala pesan pembelajaran yang ingin disampaikan akan diterima secara tepat oleh siswa. Begitu pula dengan pengkondisian lingkungan kelas. Bila kesemua hal tersebut dapat dipahami dan diterapkan dengan baik oleh guru, maka siswa akan mudah memahami apa yang diajarkan oleh guru dan ia akan menjadi senang belajar. Berikut kami jelaskan apa saja yang harus diperhatikan dalam mencapai kesemua hal yang telah disebutkan.

  1. Penyebab Perilaku Buruk Siswa
Perilaku buruk siswa dapat disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya disebabkan oleh situasi kelas dan situasi luar kelas. Contoh penyebab perilaku buruk siswa yang berasal dari situasi kelas adalah pelajaran, kepemimpinan guru dan peraturan sekolah. Pelajaran yang sulit atau membosankan serta nilai yang jelek seringkali memicu perilaku buruk siswa. Dikarenakan siswa merasa kecewa dengan sekolahnya. Kepemimpinan guru saat mengajar juga dapat mempengaruhi perilaku siswa. Apabila guru tersebut tidak dapat mengelola kelas dengan baik maka siswa akan terpicu untuk disruptif. Selain itu aturan sekolah yang mungkin terlalu otoriter juga akan memicu perilaku buruk siswa. Siswa cenderung memberontak dan mengaspirasi keinginannya melalui perilaku buruk tersebut untuk mencari perhatian.
Sedangkan penyebab dari situasi luar kelas di antaranya adalah nilai-nilai di rumah, orang tua dan masyarakat. Nilai-nilai di rumah yang mungkin kurang memberikan siswa hak berbicara atau didengarkan akan memicu siswa untuk diam tak acuh atau bahkan mencari perhatian di dalam kelas. Siswa yang sedang mengalami masalah pertengkaran orangtuanya juga dapat memicu perilaku buruk di kelas. Begitu pula pandangan masyarakat yang mungkin masih menganggap sekolah tidak begitu penting. Maka siswa tidak begitu interes dengan sekolahnya dan berperilaku disruptif.


  1. Mencegah Perilaku Buruk
Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ini memang lebih mudah untuk dikatakan daripada dilaksanakan. Namun, jelas bahwa ada sejumlah cara yang dapat dilakukan oleh sekolah dan guru untuk membantu siswa agar lebih termotivasi dan oleh karenanya berperilaku lebih baik. Di antaranya adalah dengan cara berikut,
1.    Perbaikan belajar mengajar, pengajar dan teknik mengajar
Kekreatifan guru sangat berperan dalam hal ini. Seringkali guru pemula atau guru di daerah yang kurang beruntung menganggap bahwa kita perlu menciptakan lingkungan yang tidak memiliki masalah perilaku serius sebelum dapat menangani proses belajar mengajar. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kesimpulan ini salah arah.
Isu yang banyak berkembang di antaranya adalah guru cenderung mengajar dengan gaya belajar visual dan auditory, tanpa pernah melayani siswa yang cenderung memiliki gaya belajar kinestetik. Maka siswa inilah yang lebih rentan untuk berperilaku buruk, karena mereka tidak mendapat kesempatan terlibat di dalam gaya belajar aktif yang mereka sukai. Mengadaptasikan pengajaran dengan kegiatan difokuskan pada kegiatan-kegiatan visual dan auditori tetapi juga memasukkan hands-on activities dan gerakan yang akan membantu mencegah perilaku buruk pada sebagian siswa.
2.    Penyesuaian kurikulum
Banyak kasus membuktikan bahwa kurikulum yang tidak diadaptasikan dengan minat siswa dapat menimbulkan kebosanan dan sikap memberontak, dan oleh karenanya dapat menimbulkan berbagai masalah perilaku.
Mengubah kurikulum untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada siswa atau memberikan kesempatan kepada mereka, mungkin merupakan salah satu cara untuk membantu mencegah perilaku buruk sebelum perilaku itu terjadi. Ini bukan berarti menyingkirkan semua subjek yang “sulit” atau subjek-subjek kunci yang mungkin tidak popular (seperti matematika dan baca-tulis). Melakukan hal itu berarti menawarkan kurikulum yang lebih miskin kepada sebagian siswa, yang dapat menghalangi peluang dan prestasi mereka kelak di kemudian hari (Guthrie et al., 1989; Leithwood dan Steinbach, 2002). Tetapi yang dimaksud adalah mencoba mengakomodasikan minat siswa dengan subjek-subjek inti dan memberikan pilihan yang lebih luas di bidang-bidang lain kepada mereka.[1]
3.    Mendengarkan suara siswa
Melibatkan siswa di dalam pekerjaan dan di dalam kepemimpinan di sekolah ditemukan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menangkal disafeksi (perasaaan tidak puas dan tidak senang). Rudduck dan Futter (2003) mengatakan bahwa siswa dapat menjadi “pupil leadership” ( siswa yang menjadi pemimpin bagi siswa-siswa lain), yang selain bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri juga berperan aktif di dalam penyelenggaraan sekolahnya. Bukan sekedar simbolik tapi juga meliputi konsultasi tentang pengambilan keputusan penting maupun sepele. Dewan siswa dapat membantu mengorganisasikan berbagai kegiatan, merencanakan berbagai even siswa, dan membantu mengatasi berbagai masalah yang melibatkan disiplin, mengajar dan belajar.
Di dalam sebuah studi terhadap empat sekolah di AS, ditemukan bahwa siswa-siswa yang pernah berpartisipasi di dalam kepemimpinan sekolah merasakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap sekolah dan mulai melihat dirinya sendiri sebagai anggota “tim sekolah” (Short & Greer,1993). Program yang mengharuskan staf sekolah dan para pemimpin siswa untuk membentuk komunitas pelajar di mana semuanya berpartisipasi di dalam perbaikan sekolah melihat terjadinya penurunan tingkat pembolosan dan perbaikan perilaku yang signifikan. Hal itu trjadi karena siswa dominan menekankan pentingnya konsep “respek”, terutama yang masih berusia belasan tahun.

  1. Menangani Perilaku Buruk
Aturan pertama dalam mengoreksi perilaku adalah tidak memberikan reaksi yang berlebihan. Di beberapa kasus, mungkin lebih baik untuk sama sekali mengabaikan perilaku buruk ringan, karena mengoreksi setiap perilaku buruk akan mengganggu jalannya pelajaran dan dapat memperburuk iklim kelas karena siswa akan mempersepsi gurunya terlalu otoritarian. Tetapi penting untuk menjaga konsistensi dalam memutuskan perilaku buruk ringan mana yang tidak akan dikoreksi. Bila ini tidak dilakukan, siswa akan melihat intervensi guru sebagai kesewenangan dan mereka akan membangkang.
Tetapi seringkali guru harus menangani perilaku buruk untuk mencegahnya menyebabkan masalah semakin besar. Evertson dan Emmer (1982) menyarankan urutan langkah untuk menangani perilaku semacam ini :[2]
1.    Guru seharusnya menyuruh siswa untuk menghentikan perilaku tidak pantasnya. Guru mempertahankan kontak dengan siswa tersebut sampai perilakunya menghilang.
2.    Guru seharusnya melakukan kontak mata dengan siswa tersebut sampai perilaku baiknya kembali.
3.    Guru perlu mengingatkan siswa tersebut tentang perilaku yang semestinya dilakukan.
4.    Guru mungkin perlu memerintahkan siswa tersebut untuk menjelaskan apa yang dimaksud perilaku yang benar kepada dirinya sendiri. Bila ia memang tidak mengerti, ia seharusnya diberi umpan balik.
5.    Guru perlu memberikan hukuman atas pelanggaran aturan. Ini biasanya berua menerapkan prosedur yang sudah ditetapkan sampai aturan itu dilaksanakan dengan benar. Tetapi bila murid memahami aturan itu lalu sengaja melanggarnya, guru dapat menggunakan bentuk hukuman ringan tertentu, misalnya dengan tidak memberikan privilege (hak istimewa).
6.    Membuat variasi kegiatan, misalnya dengan pindah dari seatwork ke pengajaran interaktif atau melanjutkan dengan topic lain, dapat mengembalikan focus mereka pada pelajaran.

Model lain untuk menangani perilaku buruk adalah model LEAST, untuk menangani “perusuh” :
1.    Leave it alone (Biarkan saja)
Bila perilaku itu tidak semakin buruk, jangan ambil tindakan apa-apa.
2.    End the action indirectly (Hentikan tingkah lakunya secara tidak langsung)
Ini dapat dilakukan dengan mendistraksinya dari perilaku buruk itu dengan memberinya pekerjaan lain.
3.    Attend more fully (Berikan perhatian lebih)
Guru seharusnya berusaha mengenal siswa-siswanya, sehingga mereka dapat melihat jantung permasalahannya. Ini akan membantu guru untuk memutuskan apa yang akan dilakukan.
4.    Spell out directions (Berikah pengarahan kata demi kata)
Ingatkan siswa tersebut tentang apa yang seharusnya dilakukannya dan bila perlu peringatkan dia tentang konsekuensi bila tidak menuruti pengarahan guru.
5.    Track the behavior (Lacak perilaku itu)
Bila tampak masalah itu muncul berulang-ulang pada salah seorang siswa atau lebih, ada gunanya membuat catatan sistematik tentang perilaku itu, misalnya dengan menggunakan tracking record siswa. Ini kemudian dapat dihubungkan dengan sistem reward & punishment.


[1] Daniel Mujis dan David Reynolds.  Effective Teaching. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), h. 132
[2] Ibid. h. 137

No comments:

Post a Comment

Text Widget