Dalam
pengelolaan kelas, seorang guru hendaknya memahami perilaku siswanya serta
membangun sebuah hubungan interpersonal yang baik. Hal ini untuk menunjang agar
segala pesan pembelajaran yang ingin disampaikan akan diterima secara tepat
oleh siswa. Begitu pula dengan pengkondisian lingkungan kelas. Bila kesemua hal
tersebut dapat dipahami dan diterapkan dengan baik oleh guru, maka siswa akan
mudah memahami apa yang diajarkan oleh guru dan ia akan menjadi senang belajar.
Berikut kami jelaskan apa saja yang harus diperhatikan dalam mencapai kesemua
hal yang telah disebutkan.
- Penyebab Perilaku Buruk Siswa
Perilaku buruk siswa dapat disebabkan oleh banyak hal. Di antaranya
disebabkan oleh situasi kelas dan situasi luar kelas. Contoh penyebab perilaku
buruk siswa yang berasal dari situasi kelas adalah pelajaran, kepemimpinan guru
dan peraturan sekolah. Pelajaran yang sulit atau membosankan serta nilai yang
jelek seringkali memicu perilaku buruk siswa. Dikarenakan siswa merasa kecewa
dengan sekolahnya. Kepemimpinan guru saat mengajar juga dapat mempengaruhi
perilaku siswa. Apabila guru tersebut tidak dapat mengelola kelas dengan baik
maka siswa akan terpicu untuk disruptif. Selain itu aturan sekolah yang mungkin
terlalu otoriter juga akan memicu perilaku buruk siswa. Siswa cenderung
memberontak dan mengaspirasi keinginannya melalui perilaku buruk tersebut untuk
mencari perhatian.
Sedangkan penyebab dari situasi luar kelas di antaranya adalah
nilai-nilai di rumah, orang tua dan masyarakat. Nilai-nilai di rumah yang mungkin kurang
memberikan siswa hak berbicara atau didengarkan akan memicu siswa untuk diam
tak acuh atau bahkan mencari perhatian di dalam kelas. Siswa yang sedang
mengalami masalah pertengkaran orangtuanya juga dapat memicu perilaku buruk di
kelas. Begitu pula pandangan masyarakat yang mungkin masih menganggap sekolah
tidak begitu penting. Maka siswa tidak begitu interes dengan sekolahnya dan
berperilaku disruptif.
- Mencegah Perilaku Buruk
Mencegah lebih baik daripada
mengobati. Ini memang lebih mudah untuk dikatakan daripada dilaksanakan. Namun,
jelas bahwa ada sejumlah cara yang dapat dilakukan oleh sekolah dan guru untuk
membantu siswa agar lebih termotivasi dan oleh karenanya berperilaku lebih
baik. Di antaranya adalah dengan cara berikut,
1. Perbaikan belajar
mengajar, pengajar dan teknik mengajar
Kekreatifan
guru sangat berperan dalam hal ini. Seringkali guru pemula atau guru di daerah
yang kurang beruntung menganggap bahwa kita perlu menciptakan lingkungan yang
tidak memiliki masalah perilaku serius sebelum dapat menangani proses belajar
mengajar. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kesimpulan ini salah arah.
Isu yang
banyak berkembang di antaranya adalah guru cenderung mengajar dengan gaya
belajar visual dan auditory, tanpa pernah melayani siswa yang cenderung
memiliki gaya belajar kinestetik. Maka siswa inilah yang lebih rentan untuk
berperilaku buruk, karena mereka tidak mendapat kesempatan terlibat di dalam
gaya belajar aktif yang mereka sukai. Mengadaptasikan pengajaran dengan
kegiatan difokuskan pada kegiatan-kegiatan visual dan auditori tetapi juga
memasukkan hands-on activities dan
gerakan yang akan membantu mencegah perilaku buruk pada sebagian siswa.
2. Penyesuaian
kurikulum
Banyak kasus membuktikan bahwa kurikulum yang tidak
diadaptasikan dengan minat siswa dapat menimbulkan kebosanan dan sikap
memberontak, dan oleh karenanya dapat menimbulkan berbagai masalah perilaku.
Mengubah kurikulum untuk memberikan lebih banyak
pilihan kepada siswa atau memberikan kesempatan kepada mereka, mungkin merupakan
salah satu cara untuk membantu mencegah perilaku buruk sebelum perilaku itu
terjadi. Ini bukan berarti menyingkirkan semua subjek yang “sulit” atau
subjek-subjek kunci yang mungkin tidak popular (seperti matematika dan
baca-tulis). Melakukan hal itu berarti menawarkan kurikulum yang lebih miskin
kepada sebagian siswa, yang dapat menghalangi peluang dan prestasi mereka kelak
di kemudian hari (Guthrie et al., 1989; Leithwood dan Steinbach, 2002). Tetapi
yang dimaksud adalah mencoba mengakomodasikan minat siswa dengan subjek-subjek
inti dan memberikan pilihan yang lebih luas di bidang-bidang lain kepada
mereka.[1]
3. Mendengarkan
suara siswa
Melibatkan siswa di dalam pekerjaan dan di dalam
kepemimpinan di sekolah ditemukan merupakan salah satu cara yang efektif untuk
menangkal disafeksi (perasaaan tidak puas dan tidak senang). Rudduck dan Futter
(2003) mengatakan bahwa siswa dapat menjadi “pupil
leadership” ( siswa yang menjadi pemimpin bagi siswa-siswa lain), yang
selain bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri juga berperan aktif di
dalam penyelenggaraan sekolahnya. Bukan sekedar simbolik tapi juga meliputi
konsultasi tentang pengambilan keputusan penting maupun sepele. Dewan siswa
dapat membantu mengorganisasikan berbagai kegiatan, merencanakan berbagai even siswa,
dan membantu mengatasi berbagai masalah yang melibatkan disiplin, mengajar dan
belajar.
Di dalam sebuah studi terhadap empat sekolah di AS,
ditemukan bahwa siswa-siswa yang pernah berpartisipasi di dalam kepemimpinan
sekolah merasakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap sekolah dan mulai
melihat dirinya sendiri sebagai anggota “tim sekolah” (Short & Greer,1993).
Program yang mengharuskan staf sekolah dan para pemimpin siswa untuk membentuk
komunitas pelajar di mana semuanya berpartisipasi di dalam perbaikan sekolah
melihat terjadinya penurunan tingkat pembolosan dan perbaikan perilaku yang
signifikan. Hal itu trjadi karena siswa dominan menekankan pentingnya konsep
“respek”, terutama yang masih berusia belasan tahun.
- Menangani Perilaku Buruk
Aturan pertama dalam mengoreksi perilaku adalah tidak memberikan reaksi
yang berlebihan. Di beberapa kasus, mungkin lebih baik untuk sama sekali
mengabaikan perilaku buruk ringan, karena mengoreksi setiap perilaku buruk akan
mengganggu jalannya pelajaran dan dapat memperburuk iklim kelas karena siswa
akan mempersepsi gurunya terlalu otoritarian. Tetapi penting untuk menjaga
konsistensi dalam memutuskan perilaku buruk ringan mana yang tidak akan
dikoreksi. Bila ini tidak dilakukan, siswa akan melihat intervensi guru sebagai
kesewenangan dan mereka akan membangkang.
Tetapi seringkali guru harus menangani perilaku buruk untuk mencegahnya
menyebabkan masalah semakin besar. Evertson dan Emmer (1982) menyarankan urutan
langkah untuk menangani perilaku semacam ini :[2]
1. Guru
seharusnya menyuruh siswa untuk menghentikan perilaku tidak pantasnya. Guru
mempertahankan kontak dengan siswa tersebut sampai perilakunya menghilang.
2. Guru
seharusnya melakukan kontak mata dengan siswa tersebut sampai perilaku baiknya
kembali.
3. Guru perlu
mengingatkan siswa tersebut tentang perilaku yang semestinya dilakukan.
4. Guru mungkin
perlu memerintahkan siswa tersebut untuk menjelaskan apa yang dimaksud perilaku
yang benar kepada dirinya sendiri. Bila ia memang tidak mengerti, ia seharusnya
diberi umpan balik.
5. Guru perlu
memberikan hukuman atas pelanggaran aturan. Ini biasanya berua menerapkan
prosedur yang sudah ditetapkan sampai aturan itu dilaksanakan dengan benar.
Tetapi bila murid memahami aturan itu lalu sengaja melanggarnya, guru dapat menggunakan
bentuk hukuman ringan tertentu, misalnya dengan tidak memberikan privilege (hak istimewa).
6. Membuat
variasi kegiatan, misalnya dengan pindah dari seatwork ke pengajaran interaktif atau melanjutkan dengan topic
lain, dapat mengembalikan focus mereka pada pelajaran.
Model lain untuk menangani perilaku buruk adalah
model LEAST, untuk menangani “perusuh” :
1. Leave it alone (Biarkan saja)
Bila perilaku itu tidak semakin buruk, jangan ambil
tindakan apa-apa.
2. End the action indirectly (Hentikan
tingkah lakunya secara tidak langsung)
Ini dapat dilakukan dengan mendistraksinya dari
perilaku buruk itu dengan memberinya pekerjaan lain.
3. Attend more fully (Berikan perhatian lebih)
Guru seharusnya berusaha mengenal siswa-siswanya,
sehingga mereka dapat melihat jantung permasalahannya. Ini akan membantu guru
untuk memutuskan apa yang akan dilakukan.
4. Spell out directions (Berikah
pengarahan kata demi kata)
Ingatkan siswa tersebut tentang apa yang seharusnya
dilakukannya dan bila perlu peringatkan dia tentang konsekuensi bila tidak
menuruti pengarahan guru.
5. Track the behavior (Lacak
perilaku itu)
Bila tampak masalah itu
muncul berulang-ulang pada salah seorang siswa atau lebih, ada gunanya membuat
catatan sistematik tentang perilaku itu, misalnya dengan menggunakan tracking record siswa. Ini kemudian
dapat dihubungkan dengan sistem reward
& punishment.
No comments:
Post a Comment