Pages

17 June, 2013

Sebuah nama sebuah cerita : Sri Lorohati



Namanya Sri Lorohati. Dilahirkan pada 25 November 1954. Biasa dipanggil Yayi, karena keluarganya merupakan priyayi di jamannya. Sebutan itu berasal dari kata “nyai” sebenarnya, hanya huruf ‘n’ dihilangkan, menjadi yai, lalu yayi (dengan penekanan huruf ‘k’ di akhir, terdengar seperti yayik). Anak kedua dari dua belas bersaudara, merupakan anak perempuan tertua di keluarganya. Saudaranya yang masih hidup hanya sembilan orang. Satu mati keguguran, dan satu lagi hanyut terbawa banjir deras di Jakarta. 

Yayi terbiasa makan enak, karena orangtuanya bekerja sebagai mantri dan bidan. Pekerjaan yang hebat di jamannya. Hidup enak yayi berubah di usia 18 tahun. Tahun 1972, ibunya meninggal dunia. Saat itu Yayi muda sedang bersekolah di Sekolah Perawat Gigi, menantikan kabar kelulusan, namun yang didapatkan adalah kabar kematian ibundanya. Yayi menjadi kepala keluarga, tulang punggung, karena kakaknya lelaki nomor satu di keluarga tak dapat diandalkan. Yayi bekerja di Semarang dan menyisihkan uang gajinya yang tidak seberapa untuk keperluan adik-adiknya di Jakarta. Bapaknya sibuk berjudi dan menikah lagi. Hingga Yayi memiliki tiga ibu tiri, dan saudara tiri yang banyak. Ibu tiri di Cianjur, Bogor dan Tangerang. 

Yayi yang bermental baja tetap melanjutkan hidup, menyekolahkan adik-adiknya hingga SMA. Di usia 25 tahun, yayi menikah dengan seorang pemuda yang usianya terpaut jauh lebih tua darinya. Perbedaan usia yang mencolok, 20 tahun, tidak menyurutkan langkah mereka untuk menikah. Dari pernikahan tersebut lahirlah tiga anak. Dua wanita dan satu lelaki. Anak lelakinya yang normal, di usia seminggu setelah lahir mengalami jatuh, hingga menjadi lumpuh, terganggu syarafnya dan akhirnya disabilitas.

Walau sudah berumah tangga, yayi tetap memegang peranan sebagai tulang punggung keluarga. Adik-adiknya bergantung pada gajinya. Ditambah tanggungan obat untuk anak lelakinya yang disabilitas, membuat yayi pusing tujuh keliling mencari dana tambahan. Saat itu yayi sudah bergelar PNS, namun belum digaji pemerintah. Yayi memang bodoh dalam urusan agama, namun niat belajarnya yang tinggi membuatnya semakin dekat dan mendalami agamanya. Ia selalu berkeluh kesah pada Tuhannya. Di tengah cibiran berbagai manusia terhadap rumah tangganya, rongrongan saudara kanan-kirinya, yayi tetap tegar. Allah selalu memberi kemudahan, semua terpenuhi dari jalan yang tak pernah ia sangka. Hidupnya pas-pasan. Setiap ia butuh, pas ada. Walau kadang ia dan keluarganya harus makan bubur nasi dan garam berhari-hari lamanya.

Kehidupan menempa yayi dengan segala leluconnya. Tak puas juga, kehidupan memberikan kejutan lain. Tahun 1995, yayi diberikan penyakit langka. Remathoid athritis. Sendi-sendinya membengkok, tangan dan kakinya tak berfungsi dengan baik. Ujung-ujung jarinya menjadi benjolan, menyebabkan tangannya membengkok, tak lurus indah lagi seperti dulu. Kakinya perlahan membenjol, menyebabkan tiada lagi sepatu atau sandal yang cocok untuk dipakai. Butuh sepatu khusus. Sepatu berharga satu juta yang terbuat dari semacam busa dan tali yang tidak menarik, dibuat di RSCM.

Yayi menjalani hidup semakin khusyu, meminta pertolongan hanya pada Allah, satu-satunya harapan yang ia miliki. Lagi-lagi, ia mendapatkan kemudahan, ada saja jalannya. Sepatu mahal tak menarik, namun khusus untuk kakinya dapat ia beli. Di tengah kesulitan hidup, ada saja kejadian air susu dibalas air tuba. Adik-adiknya yang dibesarkan, memakinya hanya karena ia tak dapat memberikan pinjaman uang. Bahkan ada yang sempat mengatakan bahwa anaknya menjadi cacat adalah karena kutukan. Yayi hanya diam, kepada Tuhannya saja ia mengadu. Perih, pedih, tersayat hati, ia pendam sendiri.

Hidup bahkan tidak memanis ataupun berlembut hati. Tahun 2001, suaminya tercinta dipanggil Sang Maha Kuasa. Yayi merapuh, tak ada lagi kawan sejatinya, seperjalanan, sang nakhoda rumah tangga. Yayi kebingungan. Rumah tangganya agak oleng. Menjadi single parent bagi ketiga anaknya, saat anak bungsunya masih kelas 6 SD, dan anak tertuanya belum lulus kuliah. Kembali yayi dengan segala keterbatasan fisiknya namun keluarbiasaan hatinya, mengarungi lautan kehidupan yang kejam dengan ketegarannya.

Uang pensiunan suaminya dan gajinya yang tidak seberapa diirit-irit demi pendidikan anaknya. Tekad yayi menjadikan anaknya sarjana begitu kuat. Ia tak mau anaknya terinjak-injak. Tentu saja yayi mendapatkan banyak masalah, namun tak ia ceritakan kepada siapapun. Kedekatannya pada Tuhan membuahkan kebaikan. Perlahan-lahan keluarganya bangkit, rumahnya kian bagus, dari gubuk kayu, menjadi semi permanen, lalu berubah total permanen.

Tahun 2011 yayi pensiun. Namun tidak penyakitnya. Penyakit itu setia menemani, hingga semakin parah. Pinggang dan lehernya membutuhkan alat bantuan. Alat penyangga, yang memakan biaya tak sedikit. Yayi tak mau mengambil, walaupun badannya sudah tak kuat tegak. Sakit luar biasa. Percayalah, Tuhan tidak tidur, Kawan. Yayi mendapatkan semua itu gratis. Tercover oleh asuransi JPK semasa ia kerja dahulu, alhamdulillah.

Apakah hidup semakin membaik? Orang-orang yang melihat kehidupan yayi muda hingga yayi tua bilang YA. Secara materi, yayi dan keluarga boleh bersyukur. Secara pendidikan, yayi sukses menciptakan dua sarjana. Namun, itu hanya yang tampak. Sesungguhnya kehidupan tetap keras. Yayi dengan anak lelakinya yang disabilitas, kini hanya menghabiskan waktu berdua di rumah barunya yang jauh dari keramaian kota. Di Bogor. Tanpa pembantu, tiap hari yayi bercengkerama dengan dinginnya udara dan air yang menggigit hingga menusuk tulang untuk memasak air, mencuci baju, mencuci piring. Hanya seminggu sekali anak bungsunya dan terkadang anak sulung beserta keluarga & cucunya mendatangi.

Apakah yayi bahagia? Secara kasat mata, tampaknya YA. Namun secara batin, tidak ada yang tahu. Hanya yayi dan tuhannya yang mengerti, apa itu kebahagiaan.

Kisah ini adalah nyata. Tokohnya begitu menginspirasi saya, panutan dalam kehidupan saya. Yaa… yayi atau Sri Lorohati adalah mama saya tercinta.

Apakah Anda melihat saya sebagai anak yang kejam? Tak tahu diri? Membiarkan ibunda tetap bekerja sendirian, tiada yang menemani? Secara kasat mata, tampaknya YA. Tapi, yang merasakannya adalah saya dan mama. Anda tak perlu tahu. Biarlah Anda memaki, mencaci kami. Ini hidup kami. Hanya kami dan Tuhan yang tahu kebenarannya.



With love,
Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget