Namanya Sri Lorohati. Dilahirkan
pada 25 November 1954. Biasa dipanggil Yayi, karena keluarganya merupakan
priyayi di jamannya. Sebutan itu berasal dari kata “nyai” sebenarnya, hanya
huruf ‘n’ dihilangkan, menjadi yai, lalu yayi (dengan penekanan huruf ‘k’ di
akhir, terdengar seperti yayik). Anak kedua dari dua belas bersaudara,
merupakan anak perempuan tertua di keluarganya. Saudaranya yang masih hidup
hanya sembilan orang. Satu mati keguguran, dan satu lagi hanyut terbawa banjir
deras di Jakarta.
Yayi terbiasa makan enak, karena
orangtuanya bekerja sebagai mantri dan bidan. Pekerjaan yang hebat di jamannya.
Hidup enak yayi berubah di usia 18 tahun. Tahun 1972, ibunya meninggal dunia.
Saat itu Yayi muda sedang bersekolah di Sekolah Perawat Gigi, menantikan kabar
kelulusan, namun yang didapatkan adalah kabar kematian ibundanya. Yayi menjadi
kepala keluarga, tulang punggung, karena kakaknya lelaki nomor satu di keluarga
tak dapat diandalkan. Yayi bekerja di Semarang dan menyisihkan uang gajinya
yang tidak seberapa untuk keperluan adik-adiknya di Jakarta. Bapaknya sibuk
berjudi dan menikah lagi. Hingga Yayi memiliki tiga ibu tiri, dan saudara tiri
yang banyak. Ibu tiri di Cianjur, Bogor dan Tangerang.
Yayi yang bermental baja tetap
melanjutkan hidup, menyekolahkan adik-adiknya hingga SMA. Di usia 25 tahun,
yayi menikah dengan seorang pemuda yang usianya terpaut jauh lebih tua darinya.
Perbedaan usia yang mencolok, 20 tahun, tidak menyurutkan langkah mereka untuk
menikah. Dari pernikahan tersebut lahirlah tiga anak. Dua wanita dan satu
lelaki. Anak lelakinya yang normal, di usia seminggu setelah lahir mengalami
jatuh, hingga menjadi lumpuh, terganggu syarafnya dan akhirnya disabilitas.
Walau sudah berumah tangga, yayi
tetap memegang peranan sebagai tulang punggung keluarga. Adik-adiknya
bergantung pada gajinya. Ditambah tanggungan obat untuk anak lelakinya yang
disabilitas, membuat yayi pusing tujuh keliling mencari dana tambahan. Saat itu
yayi sudah bergelar PNS, namun belum digaji pemerintah. Yayi memang bodoh dalam
urusan agama, namun niat belajarnya yang tinggi membuatnya semakin dekat dan
mendalami agamanya. Ia selalu berkeluh kesah pada Tuhannya. Di tengah cibiran
berbagai manusia terhadap rumah tangganya, rongrongan saudara kanan-kirinya,
yayi tetap tegar. Allah selalu memberi kemudahan, semua terpenuhi dari jalan
yang tak pernah ia sangka. Hidupnya pas-pasan. Setiap ia butuh, pas ada. Walau
kadang ia dan keluarganya harus makan bubur nasi dan garam berhari-hari
lamanya.
Kehidupan menempa yayi dengan
segala leluconnya. Tak puas juga, kehidupan memberikan kejutan lain. Tahun
1995, yayi diberikan penyakit langka. Remathoid
athritis. Sendi-sendinya membengkok, tangan dan kakinya tak berfungsi
dengan baik. Ujung-ujung jarinya menjadi benjolan, menyebabkan tangannya
membengkok, tak lurus indah lagi seperti dulu. Kakinya perlahan membenjol,
menyebabkan tiada lagi sepatu atau sandal yang cocok untuk dipakai. Butuh
sepatu khusus. Sepatu berharga satu juta yang terbuat dari semacam busa dan
tali yang tidak menarik, dibuat di RSCM.
Yayi menjalani hidup semakin
khusyu, meminta pertolongan hanya pada Allah, satu-satunya harapan yang ia
miliki. Lagi-lagi, ia mendapatkan kemudahan, ada saja jalannya. Sepatu mahal
tak menarik, namun khusus untuk kakinya dapat ia beli. Di tengah kesulitan
hidup, ada saja kejadian air susu dibalas air tuba. Adik-adiknya yang
dibesarkan, memakinya hanya karena ia tak dapat memberikan pinjaman uang.
Bahkan ada yang sempat mengatakan bahwa anaknya menjadi cacat adalah karena
kutukan. Yayi hanya diam, kepada Tuhannya saja ia mengadu. Perih, pedih,
tersayat hati, ia pendam sendiri.
Hidup bahkan tidak memanis
ataupun berlembut hati. Tahun 2001, suaminya tercinta dipanggil Sang Maha
Kuasa. Yayi merapuh, tak ada lagi kawan sejatinya, seperjalanan, sang nakhoda
rumah tangga. Yayi kebingungan. Rumah tangganya agak oleng. Menjadi single
parent bagi ketiga anaknya, saat anak bungsunya masih kelas 6 SD, dan anak
tertuanya belum lulus kuliah. Kembali yayi dengan segala keterbatasan fisiknya
namun keluarbiasaan hatinya, mengarungi lautan kehidupan yang kejam dengan
ketegarannya.
Uang pensiunan suaminya dan
gajinya yang tidak seberapa diirit-irit demi pendidikan anaknya. Tekad yayi
menjadikan anaknya sarjana begitu kuat. Ia tak mau anaknya terinjak-injak.
Tentu saja yayi mendapatkan banyak masalah, namun tak ia ceritakan kepada
siapapun. Kedekatannya pada Tuhan membuahkan kebaikan. Perlahan-lahan
keluarganya bangkit, rumahnya kian bagus, dari gubuk kayu, menjadi semi
permanen, lalu berubah total permanen.
Tahun 2011 yayi pensiun. Namun
tidak penyakitnya. Penyakit itu setia menemani, hingga semakin parah. Pinggang
dan lehernya membutuhkan alat bantuan. Alat penyangga, yang memakan biaya tak
sedikit. Yayi tak mau mengambil, walaupun badannya sudah tak kuat tegak. Sakit
luar biasa. Percayalah, Tuhan tidak tidur, Kawan. Yayi mendapatkan semua itu
gratis. Tercover oleh asuransi JPK semasa ia kerja dahulu, alhamdulillah.
Apakah hidup semakin membaik?
Orang-orang yang melihat kehidupan yayi muda hingga yayi tua bilang YA. Secara
materi, yayi dan keluarga boleh bersyukur. Secara pendidikan, yayi sukses
menciptakan dua sarjana. Namun, itu hanya yang tampak. Sesungguhnya kehidupan
tetap keras. Yayi dengan anak lelakinya yang disabilitas, kini hanya
menghabiskan waktu berdua di rumah barunya yang jauh dari keramaian kota. Di
Bogor. Tanpa pembantu, tiap hari yayi bercengkerama dengan dinginnya udara dan
air yang menggigit hingga menusuk tulang untuk memasak air, mencuci baju,
mencuci piring. Hanya seminggu sekali anak bungsunya dan terkadang anak sulung
beserta keluarga & cucunya mendatangi.
Apakah yayi bahagia? Secara kasat
mata, tampaknya YA. Namun secara batin, tidak ada yang tahu. Hanya yayi dan
tuhannya yang mengerti, apa itu kebahagiaan.
Kisah ini adalah nyata. Tokohnya
begitu menginspirasi saya, panutan dalam kehidupan saya. Yaa… yayi atau Sri
Lorohati adalah mama saya tercinta.
Apakah Anda melihat saya sebagai
anak yang kejam? Tak tahu diri? Membiarkan ibunda tetap bekerja sendirian,
tiada yang menemani? Secara kasat mata, tampaknya YA. Tapi, yang merasakannya
adalah saya dan mama. Anda tak perlu tahu. Biarlah Anda memaki, mencaci kami.
Ini hidup kami. Hanya kami dan Tuhan yang tahu kebenarannya.
With love,
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment