Pages

30 September, 2014

Mencari Tuhan

Mencari Tuhan

Dalam kamar biru, putih, jingga, hitam, warna-warni. Dari masjid hingga pasar, bahkan pada ruangan dengan cat dinding yang mengelupas, atau alam dengan udara terbuka. Tuhan ada di mana?

Mencari Tuhan, tidak semudah mencari jarum pentul yang jatuh ke lantai, saat ingin mengenakan kerudung. Modal besarnya adalah keyakinan. Rasa percaya (trust) yang mungkin mengalahkan batasan akal. Begitu sulit untuk diungkapkan. Bahkan terkadang seperti terlihat tak berupaya, menggantungkan hidup pada sesuatu yang tak berwujud. Selalu menjadi pelik bila berbicara masalah ini dengan mereka yang berlogika tajam. Dan aku lebih memilih diam. Menghindari perdebatan.

Dalam perjalanannya pun, mencari Tuhan begitu terjal. Semakin dekat, semakin banyak onak duri yang menyakiti. Semakin kencang angin badai yang menerpa. Menggoyahkan niat untuk menemukannya. Semakin sering dada ini menganga karena terluka. Lalu merasa asing. Tak ada teman seperjalanan. Kamu menjadi asing. Perjalananmu menjadi anti mainstream.

Kautahu apa yg paling menyakitkan? Ketika orang-orang terdekatmu yg kamu kira mendukungmu, ternyata meragukanmu. Mereka berharap agar kamu bertingkah sama seperti yang lain. Mainstream saja. Begitu. Tapi, kamu tak bisa. Tak akan pernah bisa, sebab inilah keyakinanmu yang menjadikan kamu hidup dalam rasa asing dan sepi.

Cause I'm only human
And I bleed when I fall down
I'm only human
And I crash when I break down
Your words in my head
Knife in my heart
You build me up when I fall apart


Pernah ada yang berpendapat, bahwa tinggal sendiri menunjukkan kamu mandiri. Tapi, sepertinya aku tak sependapat. Tinggal bersama keluarga, orang dekat malah jauh lebih mandiri. Tanggung jawabnya jauh lebih besar. Toleransinya jauh lebih tinggi. Kadar gesekan beragam kepentingan, dan pemicu kesedihan menjadi lebih banyak. Tinggal sendiri, terlihat jauh lebih mudah. Tak perlu memikirkan siapa-siapa. Hanya mengikuti aturan sendiri. Tak perlu mendengar banyak tuntutan sekitar. Seandainya saja, mencari Tuhan tak perlu melibatkan interaksi dengan makhlukNya, mungkin itu akan jaaauuuuh lebih mudah.

Tapi mencari Tuhan, membuat kita menemukan beragam jenis hambaNya. Beragam hati, pemikiran, dan bentuk yang memicu beragam rasa. Gesekan demi gesekan menjadi lebih banyak. Skenario hidup menjadi tak terduga. Dan sebagai hambaNya, hanya ikhtiar serta doa yang dapat diupayakan. Berbuat terbaik saat proses, dan memasrahkan hasilnya pada Tuhan. Bahkan siap untuk berbagai kemungkinan terburuk.

Jadi, di manakah Tuhan berada?
Aku masih mencariNya. Bahkan di saat aku mencarimu, aku selalu teringat untuk mencari Tuhan. Banyak yang ingin kutanyakan, kusampaikan, kudebatkan.

Tuhan, semoga kamu tetap menyayangiku. Meski aku belum berhasil menemukanMu.



Meta morfillah

25 September, 2014

Kesederhanaan adalah kemewahan yang tersembunyi

Kesederhanaan adalah kemewahan yang tersembunyi.

Seperti laut yang sederhana, hanya terlihat birunya saja di permukaan. Namun di kedalaman, begitu kaya akan warna dan kehidupan.

Entah siapa yang salah, namun makin ke sini, sangat terasa bahwa hal-hal yang sederhana merupakan kemewahan yang tersembunyi. Langka. Prasangka baik yang sederhana. Pemahaman hidup yang sederhana. Cinta yang sederhana. Penderitaan yang sederhana. Penampilan yang sederhana. Dan segalanya yang sebenarnya bisa lebih disederhanakan. Entah siapa yang salah, nampaknya semua hal sederhana menjadi demikian rumit. Hal yang rumit? Jauh menjadi lebih rumit! Kusut!

Padahal dalam hidup, kita tak butuh bekal yang berlebihan. Sebab akan menghambat perjalanan kita. Tapi cukup. Kecukupanlah batasnya. Permasalahannya, cukup menurutku, belum tentu cukup menurutmu. Ukuran kita tak sama. Ah, lihat saja! Kembali kita berdiskusi tentang perihal kesederhanaan menurut persepsi kita masing-masing.

Betapa pelik urusan "menjadi yang tengah-tengah" seperti wasiat sang nabi untuk umatnya. Bagaimana? Bagaimana mencapai kesederhanaan di antara banyak masukan, banyak kepala, yang tak bisa kita abaikan begitu saja?

Sebab bahagia seperti kupu-kupu. Semakin kaukejar, semakin ia melarikan diri. Tapi dengan tenangmu dalam kesederhanaan posisimu, dia akan datang menghampiri. Mendekati.

Maka, menyikapi hal ini, hanya dapat kukembalikan pada pemilikNya. Dia yang mengajarkan manusia sedikit ilmuNya. Sederhana dalam berpikir, berperilaku dan beribadah. Tanpa perlu orang lain tahu kedalamannya. Yaa.. Persis seperti laut. Biarkan mereka hanya tahu tentang biru saja, kecuali mereka berusaha menyelami maknanya, maka akan mereka dapati kekayaan yang tak akan pernah ditemukan di daratan.



Meta morfillah

15 September, 2014

Kajian Tauhid A'a Gym

Share kajian tauhid dari aa gym ah.. Sedikit. Semoga bermanfaat.

Kalian pernah stress? Kenapa kalian stress? Hayooo...

Jawabannya adalah:
Karena kalian kebanyakan mikir, lupa dzikir.
Ibarat kata, kalian lagi tersasar, ndak tahu arah kayak butiran debu yang tercecer di jalanan. Lalu kalian mikiiiiirrr keras ke mana jalan keluarnya. Itu bodoh namanya. Udah jelas kalian ga tahu jalan. Harusnya nanya!
Nah.. Zikir itu, ibarat nanya ke Allah, sang penunjuk jalan yang tak harap pamrih.


Lalu, zikir yg seperti apa?
Zikir yg khusnuzan (berprasangka baik). Ketika sedang diuji, tetaplah berprasangka baik sama Allah. Syukuri apa yang sudah dimiliki/ada, jangan sibuk mengeluh apa yang tidak dimiliki/tidak ada.
Contoh kasus:
Ada ibu yg sudah menikah 6 tahun, belum diberikan anak, lalu terkena tumor, sehingga rahimnya harus diangkat. Dia mengadu sama aa. Lalu aa tanya,"yang diambil rahimnya ya bu? Jantung ibu diambil ga?"
"Alhamdulillah gak a"
"Paru-paru sehat bu?"
"Sehat a"
"Kalau ginjal?"
"Alhamdulillah masih baik a"
"Otak gimana bu?"
"Masih normal a"
"Alhamdulillah... Semua masih sehat. Jadi tadi yg diambil apa bu?"
"CUMA rahim a.. Alhamdulillaah"

*kajian tauhid a'a gym, 14 September 2014 di Masjid Istiqlal*
Meta morfillah

Memantaskan diri demi sesuatu?

Sering saya dengar perkataan "Pantaskan dan perbaiki diri agar dapat yang terbaik. Laki-laki yang baik untuk perempuan baik, begitu pun sebaliknya."

Ya, memang Allah menjanjikan itu. Tapi, ayat itu pun turun karena apa (asbabun nuzul), harus dilihat juga konteksnya. Ayat itu turun karena ada fitnah terhadap Bunda Aisyah r.a. Dengan Shafwan r.a. Allah menegaskan dalam ayat itu, bahwa Rasulullah adalah lelaki yang baik, maka istrinya pun adalah perempuan baik, yang tidak akan melakukan perbuatan zina seperti yang dituduhkan.

Sayangnya, ayat itu kerap kali dijadikan pegangan para pencari jodoh. Ini mengkhawatirkan, menurut saya. Sebab apa? Sebab, terasa ketidakikhlasan di dalamnya. Mereka memantaskan diri, memperbaiki diri, demi pujaan hati. Bukan demi Allah. Padahal diterangkan pula oleh Allah, bahwa segala sesuatu bergantung pada niatnya. Jika kamu berhijrah demi harta, maka kamu akan mendapatkan harta. Jika kamu berhijrah demi wanita, maka kamu hanya akan mendapatkan wanita. Jika kamu berhijrah demi Allah dan Rasulnya, maka itulah yang kamu dapatkan. Jadi, jika kita hanya berusaha demi mendapatkan pasangan terbaik, maka kita akan mendapatkan pasangan itu saja. Tidakkah kita ingin ridhaNya? KeberkahanNya?

Lantas, bagaimana bila ternyata kita tidak mendapatkan jodoh di dunia? Atau bagaimana bila ternyata kematian lebih dahulu menjemput kita, sebelum kita sempat merasakan ikrar suci terucap? Apakah perubahan (hijrah) kita akan dihitung olehNya? Sedangkan kebaikan kita, upaya kita, selama ini hanya diikhtiarkan demi mendapatkan jodoh dunia saja, bukan demiNya. Apakah Allah mau menerimaNya?

Lantas, bagaimana bila ternyata kita mendapatkan pasangan dunia yang ternyata kurang baik? Salahkah ikhtiar kita? Ataukah janji Allah yang cacat? Apakah semua perubahan (hijrah) kita menjadi sia-sia? Benarkah pasangan dunia kita adalah jodoh kita? Apakah lantas itu membenarkan kita untuk kecewa pada Allah, sebab tak mendapatkan apa yang kita inginkan, setelah kita mengupayakan terbaik kita? Tak berkacakah kita pada Nabi Nuh a.s., Nabi Luth a.s., Asiyah istri Fir'aun, dan orang-orang sebelum kita?

Bagi saya, begitu aneh ketika kita mengupayakan kebaikan, ketaatan hanya demi mendapatkan sesuatu. Sungguh, terasa hitung-hitungan, tak ikhlas, mengharap imbalan. Padahal, itu adalah keharusan, kewajiban, tugas kita sebagai seorang hamba. Seperti yang diterangkan firmanNya, "Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah padaKu."

Semoga, aksioma "memperbaiki diri demi mendapatkan yang terbaik", tidak melencengkan niat kita untuk beribadah pada Allah. Semoga tidak menimbulkan kekecewaan yang tidak pantas hadir dalam menyembahNya. Semoga kita tidak begitu picik memperbaiki diri hanya demi mendapatkan sesuatu, lalu setelah berhasil mendapatkannya, kita berhenti memperbaiki diri.

Semoga tidak seperti itu.

"Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu."



Meta morfillah

Perasaan itu

Kautahu, rasanya ingin membantu menyelesaikan sebuah masalah, tapi kautak mampu atau paham terhadap masalahnya?

Lalu kaumerasa tak berdaya, seperti jauh, bukan bagian atau seseorang yang berguna.

Aku tahu.
Dan aku benci perasaan itu.
Bahkan aku menjadi lebih benci kepada diriku karenanya. Merasa kelemahanku semakin menjadi-jadi.

Tidak...
Sedikit pun aku tidak menyalahkanmu.
Sebab aku tahu, hanya ada dua kemungkinan kautak pernah meminta tolong padaku. Pertama, kaubisa menghandle semuanya sendirian. Kedua, kaumerasa tak ada seorang pun yang mampu membantumu, walau kaubutuh bantuan. Dan aku begitu yakin, kaumerasakan hal yang kedua terhadap diriku.

Aku memperhatikanmu saja dari jauh. Melihatmu jatuh, terjengkal, namun tak bisa membantumu berdiri. Aku frustasi pada diriku sendiri. Sebab apa? Sebab aku tak tahu, bagaimana cara mengulurkan tanganku padamu. Sementara kaujuga hanya diam. Aku semakin frustasi. Apa yang harus kulakukan?

Aku terbelenggu dengan kebodohanku sendiri. Memaksa paham, mencoba melepaskan jerat kebodohan, tapi jerat itu begitu kuat. Aku menjadi sibuk sendiri. Dan pada akhirnya aku hanya bisa menatapmu dari jauh, dengan kepercayaanku yang perlahan memudar. Rasanya begitu menyakitkan, mendapati diriku tak berguna.

Aku menjadi tak percaya bahwa kita adalah teman seperjalanan. Sebab apa? Sebab langkah kita tak sama. Tak sama jauh pendeknya. Kaumelangkah begitu jauh, sementara aku hanya mampu melangkah kecil. Sedikit demi sedikit aku merasakan jarak mulai membentang lebar di antara kita.

Aku bertanya padamu, bagaimana?
Kamu bilang, sabar saja
Aku bertanya lagi, bagaimana? Agar lebih cepat menyusulmu...
Kamu bilang, aku tak tahu

Rasa percayaku perlahan semakin memudar
Berganti dengan bayang-bayang pertanyaan
Apakah kaumemang sudah tak menginginkan hadirku lagi di sini?
Apakah kausudah lelah dan frustasi akan diriku ini?
Apakah kau dan aku memang bukan teman seperjalanan yang tertakdir?

Kautahu, rasanya ingin membantu menyelesaikan sebuah masalah, tapi kautak mampu atau paham terhadap masalahnya?

Aku tahu.
Dan aku benci perasaan itu.

12 September, 2014

Selamat berbahagia, kamu

Apa kamu sadar, mengapa aku selalu bersedia memberikan telingaku untukmu?
Sebab, suaramu adalah gelombang bunyi yang kunanti.
Getar nadamu adalah riuh yang kumaui.
Aku seperti pesakitan, dan kamu obatnya.
Mendambamu... Yang selalu sibuk bercerita tentang dia.

Lalu aku mendapatkan undanganmu.
Undangan hujan.
Yaa.. Undangan yang menyebabkan hujan di mataku.
Demimu dan demi rasa yang pernah ada di hatiku, maka aku memenuhi undangan itu.

Di sinilah aku sekarang.
Menyaksikan prosesi temu dua jiwa yang melebur jadi satu.

Detak detik terasa melambat di hati sang putri berkerudung putih. Debar dadanya menanti penyematan cincin di jari manis kiri.
Apa kautahu?
Mengapa cincin diletakkan di jari manis kiri?
Sebab, di sanalah pembuluh dan syaraf yg langsung menuju jantung. Begitu dekat. Perlambang bahwa kamu yg menyematkan cincin itu, selalu dekat dan bagaikan jantungnya. Yang bisa membuatnya mati bila kautak ada.

Lalu kamu...
lelaki nan gagah itu, riak dadamu menjemput perjanjian kokoh yang mengalahkan gunung.

Tuhan.. Sakralnya pertemuan dua insan yang melebur jadi satu.
Kumpulkan yang terserak.
Gemakan manfaat dua menjadi seribu.
Selamat berbahagia... Kamu.


Meta morfillah

11 September, 2014

Suara-suara bising dan mimpi yang coba kukenali

Kamu dan Mereka bertanya,

"Mengapa kamu tak menulis lagi?"

"Sudah lama tak kulihat tulisanmu, mana?"

"Ke mana kamu yang dulu menjadikan menulis sebagai semangatmu, nafasmu?"

Aku hanya bisa menjawab,
"Dunia yang sedang aku kenali terlalu lucu, hingga membuatku sibuk menertawakan hidupku."

Lalu kamu bertanya lagi,
"Mengapa?"

Aku menjawab dengan tersenyum.

Kamu bertanya lagi,
"Mengapa?"

Aku menjawab,
"Aku lelah. Hentikan pertanyaan itu. Kamu menyakitiku."

Kamu diam.
Aku juga diam.

Tahukah kamu, rasanya putus asa dalam mencintai?
Menyaksikan hal yang begitu kamu cintai, kini membuatmu tak berdaya. Sebab kamu tak tahu apa lagi yang harus kamu lakukan deminya.

Sungguh, aku ingin sekali memainkan jariku di atas keyboard untuk bercerita. Bercerita dan berbagi tentang apa yang ada di kepalaku. Tapi, beberapa waktu, kepalaku seperti beku. Tak sepatah kata pun mencair darinya. Aku sudah mencoba membukanya, mengeluarkan isinya. Tapi kunci yang kugunakan mendadak tumpul. Aku takut bila memaksakan, malah akan patah. Maka aku diam. Menunggu. Aku pernah mendengar seseorang berkata padaku, bahwa menunggu juga merupakan sebuah penyelesaian. Meski tak mudah. Tapi hal yang tak mudah didapat, biasanya tak mudah dilepas pula.

Aku rindu bermain kata, mencipta duniaku sendiri dengan banyak tokoh di dalamnya. Tokoh-tokoh yang seakan hidup, berbicara, dan menemaniku. Tapi, otakku terasa begitu beku. Aku terlalu lelah untuk kembali melihat kata-kata menjelma kalimat. Seharian aku sudah bergelimang mereka. Walau berbeda tujuan, kepentingan dan bukanlah sesuatu hal yang kusenangi. Mungkin seperti inilah rasanya hidup dengan orang yang tidak kaucintai. Kaumencoba bertahan, walau rasa percaya dirimu meluntur. Asamu berdetak lemah, bertanya-tanya, kapan semua ini akan selesai? Kapan kamu akan menikmatinya, benar-benar jatuh cinta dan rela menjadikannya bagian dari hidupmu?

Hingga akhirnya aku lelah dan diam. Aku sudah malas mengeluh. Sebab, keluhanku bila bisa bicara, kemungkinan ia pun akan mengeluh. Mengapa kamu selalu mengeluhkan hal yang itu-itu saja.

Lantas apa penyelesaiannya?

Aku mengambil jarak. Mencoba mengenali kembali dunia yang sedang kupijak. Meraba-raba, apakah menulis masih menjadi nafasku? Cintaku? Mimpiku?


Meta morfilah

08 September, 2014

Sebuah doa untuk uda yang luar biasa

7 September 2014

Tepat 31 tahun yang lalu, mama melahirkan seseorang yang luar biasa, yang selamanya tak akan pernah jadi biasa, sebab ia terlahir istimewa.

Kecelakaan di usia yang masih sangat muda (seminggu setelah lahir) menyebabkan uda irfan menjadi berbeda dari orang normal. Ya, ini adalah kisah uda irfan, abang lelakiku satu-satunya. Jarak kami yang begitu jauh--tepatnya 6 tahun 1 bulan 15 hari--membuat hubungan awal kami berjalan kurang mulus. Uda yang terbiasa menjadi anak bungsu dan karena keterbatasannya, semua perhatian melimpah kepadanya, lalu 6 tahun kemudian aku muncul dan merebut perhatian itu sebagai anak bungsu. Itu adalah salah satu sebab, terdapat banyak luka fisik di tubuhku. Salah satu luka yang paling terlihat dan selalu menjadi pertanyaan orang-orang adalah luka cakaran di pipi kanan dan kiriku yang seperti kumis kucing.

"Tha, pipi lo kenapa sih tuh? Kayak kucing. Obatin biar mulus, gih!"

"Haha, biarin. Gw kan saudara kembar cewek naruto, jadi gw naruti. Mirip, kan!"

Yaa, seperti itu biasa aku meladeninya sekarang. Kalau dahulu, aku berbohong dengan menjawab luka ini bekas dicakar kucing. Mengapa? Karena aku malu, bila harus jujur pada teman sekolah, bahwa luka ini berasal dari kakak lelakiku satu-satunya, yang sering tantrum (kumat, ngamuk) dan sasaran utamanya selalu aku, karena aku satu-satunya makhluk lebih lemah darinya di rumah. Ia tak pernah berani menyakiti yang lain, kecuali aku. Itu dulu, saat aku kecil dan inferior.

Karena itu pula, saat menahan sakit dan menangis tiap kali mendapatkan serangan, aku selalu bertanya pada tuhan, mengapa aku memiliki kakak laki-laki seperti itu? Tidak mudah bagiku menerima uda dengan terbuka. Aku selalu ingin dia jauh dariku, karena aku takut dicakar, dipukul dan lainnya. Juga aku mengalami krisis percaya diri. Tak mau membawa teman bermain ke rumah, karena aku malu jika teman-temanku tahu keadaan udaku. Tentu saja, itu hanya ada dalam pikiranku. Kusimpan rapat-rapat, tak kuberitahukan pada siapa pun alasannya. Tapi itu hanya bertahan hingga kelas enam SD.

Mungkin karena aku sudah bisa melawan, memasuki usia remaja, dan kejadian bapak yang meninggal, perlahan aku mulai bisa menerimanya. Tapi hubungan kami pun tak begitu harmonis. Tetap saja aku masih agak menjaga jarak. Dan tetap saja aku menyimpan pertanyaan pada Tuhan, mengapa aku diberikan kakak lelaki yang tak sempurna?

Lalu waktu mulai memainkan perannya. Perlahan pertanyaanku terjawab satu per satu. Saat bekerja di homeschooling, banyak anak pengidap autism dan disabilitas lainnya yang cepat akrab padaku. Menurut pak etekku, itu karena aku terbiasa mengurusi udaku. Walau aku akui jauh dari kata tulus, semua itu kulakukan semata-mata menunaikan kewajiban saja, sebab takut diomeli mama juga. Dari anak-anak luar biasa tersebut, aku merasa bahwa udaku jauh lebih baik. Walau dia tidak mandiri, makan harus disuapi, mandi harus dimandikan, buang air harus diceboki, dan lainnya. Tapi setidaknya, udaku tidak menyusahkan orang lain--selain keluarga dekatnya. Uda pun cukup lucu, menggemaskan dan memiliki empati. Saat ada yang sakit, ia mau memijat dan pijatannya enak sekali. Mau disuruh-suruh ambil ini itu, angkat ini itu, dan dia sangat resik, sering merapikan hal-hal yang berantakan menurutnya, lalu dibenahi menurut versi terbaiknya.

Hubunganku dengannya semakin harmonis saat aku kuliah dan bekerja. Entah mengapa, terlihat bahwa dia lebih segan padaku, bahkan terkadang melawan mama, tapi tidak melawanku. Padahal, interaksiku dengannya tidaklah banyak. Sebab aku jarang di rumah. Lalu kini, tak terasa sudah 31 tahun uda hidup di dunia, dengan mengemban misi dari Tuhan, yang hanya diketahui olehnya dan Tuhan. Hampir 25 tahun aku menjadi adiknya. Adik yang terkadang masih berharap uda menjadi kakak lelaki sempurna, tapi kemudian sadar bahwa diriku sendiri bukanlah adik yang sempurna untuknya.

Di hari miladnya ini, aku hanya bisa berdoa semoga sisa usianya berkah, semoga ia benar-benar menjadi ladang amal bagi keluarga kami, bukan ladang dosa, karena kami mungkin sering menyakitinya. Semoga kelak, aku mendapatkan pasangan yang mengerti tentang udaku, memahami dan mengizinkanku merawatnya dan mama hingga akhir usia. Semoga dia tidak pernah menyesal memiliki adik sepertiku.

Tuhan, bolehkah kupinta seperti itu?

Selamat berbahagia, Uda Irfan. Kelak, kami akan tahu apa arti dan peran besar dirimu dalam hidup kami. Tuhan yang akan menjelaskannya, di hari pengadilan. Nanti.



Meta morfillah

03 September, 2014

Pertanyaan yang tak berjodoh dengan jawabannya

Dewi dan Tio berjanji pada hari Senin bahwa mereka akan bertemu lagi setelah 2^2014 (dibaca: 2 pangkat 2014) demi mengejar cita-cita bersekolah di luar negeri. Kira-kira, pada hari apakah mereka akan bertemu lagi?


Itu merupakan penggalan soal matematika kelas 1 SMP ponakan pertama saya. Saya membantunya menyelesaikan soal tersebut dengan menggunakan rumus dasar bilangan berpangkat. Memakai satu sifat saja. Hasilnya ketemu? Ketemu. Selesai? Berapa jadi nilai finalnya? Tidak selesai. Hanya ketemu sampai 2 tahap menjelang selesai lalu saya biarkan menggantung. Saya hanya menyederhanakan pangkat. Satu juta sekian pangkat sepuluh dikali satu juta sekian pangkat sepuluh dikali seribu dua puluh empat dikali enam belas. Itu hasil yang saya dapatkan. Kasihan ponakan saya, bila saya paksa lagi dia untuk menghitung perkalian itu, di pertemuan pertamanya dengan bilangan berpangkat--bahkan gurunya belum menjelaskan materi, hanya memberi soal pekerjaan rumah. Saya takut dia--ponakan saya--jadi membenci matematika karena hal yang kurang riil tersebut. Tapi dia penasaran. Dia meminta dihitung pakai kalkulator. Pakai kalkulator biasa, tentu tak bisa. Maka saya ajarkan cara memakai kalkulator scientific.

Hasil dari 2^2014 (dibaca: dua pangkat dua ribu empat belas) adalah sederet angka hingga ditutup huruf e. Menandakan kalkulator tersebut tak sanggup menyelesaikannya. Error. Sebab angkanya masih kurang banyak, namun layar kalkulator sudah tak mampu menampungnya.

Ponakan saya kekeuh bertanya pada saya, berapa hasil finalnya? Ia takut gurunya akan marah karena ia tak menemukan jawaban untuk soal tersebut.

Melihat ia yang ketakutan seperti itu, saya berkata seperti ini,
"Mas Daffa, kalau soal ini benar dari guru kamu, maksudnya kamu enggak salah tulis saat didikte, maka jawabannya cukup sampai bentuk ini saja. Yang penting kamu paham rumus dasar yang teta ajarkan tadi. Kalau guru kamu marah, bilang saja,
'Tanteku yang mengajariku bilang jawaban soal ini adalah pada hari setelah 5 tahun dari hari senin saat mereka berjanji. Tepatnya saya kurang tahu, sebab kalkulator pun error dalam menjawabnya, Bu.'

Kalau bu gurumu masih marah dan bilang saja,
'Maaf bu, tante saya memang sudah tidak mengajar lagi, jadi dia tidak tahu jawabannya. Memang jawaban yang benarnya apa dan bagaimana, Bu?'

Sebab, teta yakin untuk pertemuan pertama kamu dengan bilangan berpangkat ini, guru kamu hanya mengetes sejauh mana kemampuan pemahaman kamu atas sebuah proses/rumus dasarnya. Bukan tentang jawabannya. Dari lima soal cerita, hanya satu soal ini yang berbeda. Mungkin memang soal ini disengaja atau tidak, untuk dianulir. Ya, mungkin soal ini adalah bonus. Dikerjakan, maka kamu akan paham kesulitan dan prosesnya, walau tak ketemu jawabannya."

Setelah mencerna petuah panjang saya, dengan diselingi beberapa pertanyaan polosnya, barulah dia tenang. Wajahnya sumringah, senyum, dan mulai move on ke PR selanjutnya, menggambar pohon impian. Selagi dia asyik mewarnai pohon impiannya, saya menemaninya dengan setengah merenung. Mencerna kembali peristiwa yang baru saja terjadi.

"...guru kamu hanya mengetes sejauh mana kemampuan pemahaman kamu atas sebuah proses/rumus dasarnya. Bukan tentang jawabannya...."

Bukankah hal itu terasa sangat familiar?

Kita seringkali memaksakan untuk menemukan jawaban atas semua permasalahan kita. Lalu saat tak ketemu juga, hal yang menurut kita solusi finalnya, maka kita berkutat di satu soal itu saja. Gegabah. Tak move on. Tetap berfokus pada masalah yang sebenarnya, mungkin tak perlu menemukan jawabannya. Sebab, kita memang belum di tingkat yang tepat untuk menjawabnya (analoginya menyelesaikan persoalan matematika kelas 3 SMA saat masih kelas 1 SMP). Tuhan hanya menguji kemampuan dan pemahaman kita akan sebuah proses. Tak melulu tentang hasil, apalagi berhasil. Tapi ini tentang ikhtiar dan pengamalan ilmu yang dimiliki.

Sebab, tak semua pertanyaan harus bermuara pada satu jawaban.

Mungkin cukup sampai di tahap itu. Menggantung. Lalu perlahan pemahaman itu akan datang di saat kita ikhlas dan merenungi prosesnya kembali. It's called problem solving, isn't it?

Cara Tuhan pun begitu fantastis, dan datang dari arah yang tak disangka. Persis seperti yang baru saya alami. Di saat saya sibuk mencari jawaban melalui bertanya pada beberapa orang, hingga melakukan perjalanan untuk menemukan tanda-tanda jawaban dariNya, Tuhan malah menjawab melalui lisan, bibir saya sendiri. Di rumah saya sendiri. Melalui kejadian kecil yang begitu dekat dan nyata dalam kehidupan saya pribadi. Tuhan menuntun saya dengan caranya yang unik!

Lalu saya pun mulai tersenyum, mengikhlaskan. Persis seperti senyum ponakan saya yang lega, sebab tahu gurunya tak akan marah walau pun ia tak berhasil menjawab soal cerita matematika tersebut.


Meta morfillah

Ada apa denganmu?

Only know you hate the road, when you're missing home.

Bahkan pada sebuah perjalanan yang sebelumnya sangat dinantikan, tiba-tiba bisa saja berubah 180 derajat tak menarik lagi. Karena niatnya berubah. Kamu pergi tanpa persiapan. Beragam moment kamu abaikan, sebab segalanya terasa biasa saja.

Pada perjalanan yang kamu harapkan ramai, kini berbalik menjadi ingin sendiri. Kamu mendamba kesenyapan di tengah keramaian. Kamu berharap menghilang begitu saja, tanpa ada yang memedulikanmu. Tiba-tiba saja telingamu menjadi sensitif, mendengar segala jenis suara, bahkan desir pasir di padang tandus terasa menggema seperti langkah kaki manusia. Lalu pada perjalanan yang berubah menjadi pelarian, kamu mengubah niatmu untuk secepatnya kembali ke rumah. Menjalani segudang aktivitasmu yang menguras tenaga, emosi, dan pikiranmu, hingga kamu lupa untuk memikirkan hal lainnya. Kamu membenci jalan-jalan yang kamu lalui, saat perasaan itu menyeruak ganas. Menekan rongga-rongga dadamu dengan kejamnya. Membuatmu merindu rumah.

Mengapa bisa seperti itu?
Kapan kesenyapan menyelinap dan mengikis bahagiamu begitu tiba-tiba? Sebenarnya fisikmu yang sakit, atau hatimu?

Menjadi manusia, ternyata begitu rumit. Kadang membuat ingin menjelma menjadi langit. Teduh dan biru. Sedang manusia begitu munafik, dapat memiliki beberapa warna dalam satu ketika. Dalam senyumnya, bisa saja tersimpan sebuah kesedihan mendalam, pertengkaran sisa semalam, rasa syukur atas hidup, dan lainnya.

Dengan tiba-tiba, kamu berhasil menjelma seorang yang menyebalkan bagi mereka.

Selamat!

Text Widget