Pages

27 September, 2017

[Kajian] Khilafiyah furu'iyah dalam aqidah

KHILAFIYAH FURU’IYAH DALAM AQIDAH
(Perbedaan pendapat dalam aqidah)
Dr. H. Abas Mansur Tamam
Ahad, 24 September 2017

Tasmi:
Q. S. Al Baqarah: 98-105

1. Apa itu khilafiyah furu’iyah?
Khilafiyah furu’iyah adalah perbedaan pendapat dalam persoalan cabang (bukan ushul/pokok).
Aqidah adalah hal-hal yang terkait hati (abstrak), bersifat KEYAKINAN, ranah IJTIHAD/relatif.
Sementara Fiqih/Syariah adalah hal-hal terkait pikiran/anggota tubuh lain, SUDAH PASTI, TIDAK ADA IJTIHAD, sebab dalam ranah yang bersifat MUTLAK/nash, misal: shalat 5 waktu.
Sementara Akhlak adalah perkara BAIK atau BURUK.

2. Mengapa terjadi khilafiyah furu’iyah?
Sebab terkait dalil/nash (ayat dan hadits). Kalau nashnya bersifat ushul (bermakna tunggal), serta muthawatir (shahih), maka tidak akan terjadi khilafiyah furu’iyah.
Lain halnya jika salah satunya tidak terpenuhi (tidak ushul atau tidak muthawatir), maka di sanalah perbedaan pendapat terjadi.

                                   
Jika wurudnya qath’i (hadits shahih), dilalahnya qath’i (maknanya tunggal),  maka tidak terjadi khilafiyah furu’iyah (masuk ke ranah fiqih, tidak perlu ijtihad).

Jika wurudnya qath’i (hadits shahih), dilalahnya dzanny (tidak bermakna tunggal), maka terjadi khilafiyah furu’iyah. Contohnya kata ’kuru’ dalam masa iddah, ada 2 makna: masa suci dan masa datang bulan. Dua-duanya benar, meskipun praktiknya jauh berbeda. Sebab makna ‘kuru’ tidak bermakna tunggal.

Jika wurudnya dzanny (misal: hadits dhaif), dilalahnya qath’i (makna tunggal/mutlak), maka terjadi khilafiyah furu’iyah (melalui ijtihad).

Jika wurudnya dzanny (misal: hadits dhaif), dilalahnya dzanny (tidak bermakna tunggal), maka terjadi khilafiyah furu’iyah (melalui ijtihad).

Dalam kitab/literatur fiqih, ada 3 hal yang dibahas:
- Ushuluddin (pokok agama)
- Ushul ahlus sunnah wal jama’ah (pokok agama yang mutlak dari pendapat ulama ahlus sunnah)
- Furu’iyah (masalah cabang). Seringkali bab ini disalahartikan menjadi ijma (kesepakatan para ulama), padahal tidak. Itu hanya memaksakan pendapat, hanya karena semua dibahas dalam satu literatur. Malah menakut-nakuti bahwa tidak ada perbedaan di antara ulama, padahal itu sunnatullah.

3. Bagaimana menyikapi khilafiyah furu’iyah dalam aqidah?
Sama dengan menyikapi perbedaan pendapat ulama dalam bidang fiqih.
a. Membenarkan semua hasil ijtihad
b. Menyalahkan (yang benar 1, yang lain salah, karena kontradiksi/bertentangan). Misal dalam hal batalnya wudhu jika wanita dan lelaki bersentuhan.
c. Hasil ijtihad mengikat pemiliknya dan orang yang mengikutinya. Artinya ijtihad yang kita ikuti tidak mengikat orang lain yang tidak mengikuti ijtihad tersebut. Misalkan yang mengambil ijtihad wudhunya batal jika bersentuhan dengan lelaki baligh, maka ia harus berwudhu. Tapi jika yang mengambil ijtihad wudhunya tidak batal meskipun bersentuhan dengan lelaki baligh karena tidak memiliki rasa/timbul syahwat, maka ia tidak perlu berwudhu.
d. Ijtihad bersifat ikhtilaf (keragaman). Seperti ilustrasi 4 orang buta yang disuruh memegang gajah di bagian yang berbeda, tentu hasilnya akan berbeda. Apakah mereka salah? Tidak. Justru perbedaan pendapat mereka saling menyempurnakan bentuk gajah itu. Begitulah agama ini.

Maka ulama telah mengajarkan bahwa kita harus TOLERANSI pada yang berbeda pendapat dalam hal furu’iyah (cabang). Dan toleransi tertinggi ulama adalah mengatakan “wallahu’alam (Dan Allah yang lebih mengetahui)”, dikembalikan lagi pada Allah, sebab pengetahuan manusia terbatas.

4. Pernahkah para sahabat berbeda pendapat dalam soal aqidah?
Pernah.
Contohnya shalat saat tidak ada air, maka bertayamum. Lalu di perjalanan menemukan air. Ada sahabat yang mengulang shalatnya dan berwudhu. Ada sahabat yang tidak mengulang shalat, sebab sudah yakin denganbertayamum tadi sudah cukup.

Juga saat Ibnu Abbas dan Abu Dzar terkait Mi’raj di Sidratul Muntaha.
Ibnu Abbas berpendapat: Rasul melihat Allah dengan mata hatinya, bukan mata zahirnya.
Abu dzar berpendapat: Rasul hanya melihat cahaya.
Itu semua berdasarkan hadits yang shahih, namun maknanya berbeda, tergantung pada keyakinan keduanya.

Ikhtilaf Umar dan ‘Aisyah tentang azab dalam kubur.
Umar berpendapat: Seorang mayat akan disiksa karena tangis keluarganya (konteks: mukmin).
‘Aisyah berpendapat: Rasul bersabda “Allah akan mengazab orang kAFIR karena tangisan keluarganya.”
Ijtihad ulama: Mayat mukmin akan diazab karena tangisan keluarga, jika ia sering menangisi musibah di saat hidupnya, sehingga keluarganya mencontoh saat musibah kematiannya.

5. Khilafiyah furu’iyah paling sensitif dalam umat ini, hingga pelakunya mengkafirkan/membid’ahkan muslim lain
Sebab tidak sepakat dengan persoalan furu’.
Furu’ itu biasa terjadi pada nash yang mutasyabihat (samar atau syubhat karena tidak bisa memahami dengan terang/akal terbatas). Biasanya terkait sifat Allah dan hari kiamat yang tidak terindrawi.
Misal sifat dzatiyah (terkait zat Allah) ( penglihatan, pendengaran, dll.
Sifat fi’liyah (terkait perbuatan Allah) ( Allah turun ke langit dunia di sepertiga malam terakhir, keberadaan Allah.

Cara menyikapi:
a. Tafwid: mengembalikan pada Allah (“Wallahu’alam”) setelah melakukan tanzih (menyucikan Allah dari makhluk)
b. Takwil: memalingkan/membiaskan (apa makna zahir/bahasanya) secara tafsir.
Misal: tangan Allah di atas tangan mereka. 
Tafsir: tangan Allah = kekuasaan Allah. Bukan seperti bentuk tangan manusia.

Awalnya umat Islam melakukan pendekatan tafwid, tapi lama-lama umat butuh takwil (sebab banyak yang sudah tidak lurus/ngeyel). Takwil terjadi karena sebab, agar umat sekarang puas akan penjelasan.

Yang menolak takwil: jalur Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah
Yang menakwil: Imam Bukhari (Q. S. Al Qashash: 88)


#catatan sepemahaman penulis


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget