Pages

15 June, 2010

Berprestasi akademik dan berorganisasi

Oleh : Iska Meta Furi


Bismillaahirrahmaanirrahiim,,

Masih hangat dalam ingatan saya saat awal masuk di acara masa pengenalan akademik (MPA), seorang kakak kelas mengajukan pertanyaan kepada saya dan juga beberapa teman lainnya, “Kalian mau menjadi mahasiswa seperti apa?” ujarnya kala itu. Pertanyaan itu sangat membingungkan bagi saya. Dan saat itu saya sendiri tidak paham apa yang dimaksud oleh kakak kelas tersebut. Karena di benak saya hanya ada keinginan menjadi sebaik-baiknya mahasiswa. Dan sebaik-baik mahasiswa yang saya tahu pada saat itu adalah mahasiswa yang ber-IPK tinggi, lulus dalam jangka waktu cepat, kemudian mendapat pekerjaan yang sesuai bidangnya.

Namun seiring berjalannya waktu, saat saya sudah menjalani kehidupan kampus dalam keseharian, saya pun mulai mengerti maksud kakak kelas tersebut. Karena saya merasakan sendiri bahwa ada beberapa tipe mahasiswa di kampus tercinta ini (dan mungkin hampir di seluruh universitas di negeri ini). Sedikitnya saya menganalisis ada empat kelompok besar tipikal mahasiswa. Pertama, adalah kelompok mahasiswa yang mementingkan prestasi akademik dan nilai IPK tinggi di atas segalanya. Paradigma mereka sama seperti paradigma awal saya, yaitu menjadi mahasiswa berprestasi dengan IPK tinggi (min. 3,00) sehingga dapat mengambil jatah SKS lebih banyak dan mempercepat waktu kelulusan. Sebutan kerennya adalah mahasiswa KUPER (Kuliah-Perpus-Rumah) dikarenakan memang seputar tiga daerah itu saja mereka berkutat dan aktifitasnya selalu belajar, belajar dan belajar. Motivasi belajar mereka memang sangat bagus dan patut dicontoh. Namun bila dilihat lebih mendalam, efek belajar terus-menerus tanpa ada selingan kegiatan di luar akademik untuk membangun hubungan pertemanan sangatlah tidak baik bagi diri mereka sendiri. Karena pada dasarnya kita adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Dan dalam dunia kerja hubungan komunikasi itu akan sangat berpengaruh terutama dalam hal kerja tim.

Kedua, adalah kelompok mahasiswa yang lebih mementingkan kegiatan di luar akademik. Paradigma mereka adalah membangun jaringan seluas-luasnya (networking) agar lebih berkembang. Mereka lebih dikenal sebagai aktivis. Julukan yang sering terlontar bagi mereka adalah KURA-KURA (Kuliah Rapat-Kuliah Rapat) atau MANSYUR S.(Manusia Syuro Selalu). Membangun relasi serta interaksi dalam sebuah tim (dalam hal ini organisasi) memang sangat bagus. Hanya saja tipikal mahasiswa ini dominan melalaikan kewajiban utamanya sebagai mahasiswa dikarenakan terlalu larut dan keasyikan dalam aktifitasnya. Sehingga masa kuliah mereka relatif lebih lama dibanding teman-temannya yang lain. Dan itu akan berdampak pada keluarga mereka yang menanti mereka untuk segera mengenakan toga dan mendapat title sarjana di belakang nama mereka.

Ketiga, adalah tipikal mahasiswa yang kontras dengan kedua tipikal mahasiswa di atas. Yaitu tipikal mahasiswa yang tidak memiliki niat serius dalam meraih prestasi akademik ataupun aktif dalam organisasi. Mereka adalah tipikal mahasiswa yang dikenal dengan istilah KUNANG-KUNANG (Kuliah Nangkring-Kuliah Nangkring). Paradigma yang mereka miliki kebanyakan adalah kuliah hanya sekedar mendapatkan ijazah dan title semata. Aktifitas yang mereka lakukan pun biasanya sesuka hati mereka, yang bersifat hedonis dan senang-senang seperti nonton ke bioskop, jalan-jalan, pacaran, main games dan sebagainya.

Terakhir, adalah tipikal mahasiswa yang sempurna. Merupakan penggabungan semua unsur kebaikan dari tipikal mahasiswa pertama dan kedua. Mereka adalah manusia-manusia pembelajar, seperti yang dikatakan Andreas Harefa. Karena mereka mampu memanajemen waktu dan memporsikan diri mereka dalam dua dunia, yaitu dunia kuliah dan dunia organisasi. Dan mahasiswa seperti inilah yang dibutuhkan oleh masyarakat, lingkungan serta negara ini. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu :

1. Sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)

2. Sebagai agen perubahan (agent of change)

3. Sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)

Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab sebagai kaum akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembangkan tujuan bangsa. Dalam hal ini keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan demi berjalannya peran mahasiswa dalam dunia kampusnya untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus yang harmonis serta juga kehidupan di luar kampus.

Dan tahukah kamu bagaimana cara untuk mencapai ketiga fungsi strategis tersebut?? Tentunya tidak hanya dengan belajar terus demi mendapat prestasi akademik, melainkan satu jawaban pelengkapnya yaitu dengan aktif dalam ORGANISASI. Karena sebagaimana yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul “Jejak Langkah”, salah satu cara mendidik penguasa adalah dengan perlawanan, sedang mendidik masyarakat adalah dengan organisasi.

Mengapa organisasi??

Mari kita lihat pengertian organisasi itu sendiri. Organisasi adalah susunan dan aturan dari berbagai-bagai bagian (orang dsb) sehingga merupakan kesatuan yang teratur (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia). Pengertian lainnya adalah Organisasi merupakan sistem sosial yang memiliki identitas kolektif yang tegas, daftar anggota yang terperinci, program kegiatan yang jelas, dan prosedur pergantian anggota (Janu Murdiyamoko dan Citra Handayani, Sosiologi untuk SMU Kelas I).

Dari pengertian organisasi tersebut dapat disimpulkan secara sederhana bahwa organisasi merupakan sebuah sistem atau wadah yang terdiri dari berbagai macam karakteristik manusia di dalamnya untuk mencapai sebuah tujuan bersama. Dan seperti yang telah kita ketahui, setiap manusia memiliki sifatnya masing-masing. Dan di dalam organisasi yang begitu jamak ini, pastilah tidak mudah menyatukan berbagai pemikiran serta menyesuaikan tingkah laku antar sesamanya. Diperlukan sebuah kecerdasan yang tentunya tidak hanya kecerdasan intelektual saja, melainkan kecerdasan moral dan emosional. Dan di organisasilah kita belajar baik secara tersirat maupun tersurat tentang kecerdasan emosional, kecerdasan moral, empati, simpati, kepekaan dan ilmu lain yang menunjang kehidupan ini. Karena biasanya, aktivis mempunyai keahlian khusus yang tidak didapat dalam bangku kuliah ataupun konsep si kutu buku. Dan mereka lebih terlihat “hidup” serta karismatik dibanding mahasiswa yang kurang berinteraksi (biasa-biasa saja). Orang menjadi cerdas, kadangkala karena hidden curriculum (Kurikulum tersembunyi) yang ada dalam berbagai diskusi dan obrolan hangat sesamanya. Apalagi kalau ia mendalami salah satu atau banyak keahlian misalnya jurnalistik, fotografi lalu mendapat banyak kenalan dan koneksi orang sukses.

Berprestasi akademik dan berorganisasi, YES!!

Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua manusia menjalankan fungsi intelektualnya dalam masyarakat. Antonio Gramsci (1891-1937).

Memang mahasiswa tipikal keempat (yang saya jelaskan di atas) sangat sedikit sekali, dan dapat dihitung dengan jari di setiap jurusannya. Namun siapa bilang kita tidak mampu menjadi seperti mereka. Mengikuti sebuah organisasi, bukan berarti menjadi penghambat studi mahasiswa. Memang dalam perkuliahan, masa studi bergantung pada mahasiswa itu sendiri. Semakin baik penguasaan dan pencapaian pengetahuan mahasiswa terhadap tiap-tiap mata kuliah, semakin cepat ia lulus. Sebaliknya, mahasiswa akan semakin lama berada di bangku kuliah atau bahkan tidak menutup kemungkinan dia akan mendapat DO (Droup Out) jika penguasaan dan pencapaian pengetahuannya terhadap tiap-tiap mata kuliah kurang.

Aktivis mahasiswa banyak yang sekadar jago manajemen organisasi tapi minim kapasitas intelektual, dan sebaliknya banyak “intelektual” yang menasbihkan diri sebagai “intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis. Janganlah kalian seperti itu, karena sesungguhnya sebaik-baik kaum adalah kaum yang tengah-tengah (Rasulullah SAW). Artinya, sebagai mahasiswa kita pun harus bijak menempatkan diri. Tentunya didasari niatan yang baik dan benar dalam mengikuti organisasi. Jangan sampai kalian mengikuti organisasi hanya untuk eksis (mendapat pengakuan dari teman-teman lainnya), cari jodoh, nampang, mencari keuntungan materi atau pelarian dari aktifitas kuliah yang membosankan. Karena apabila diawali oleh niat yang tidak tulus dan kurang baik, maka biasanya hasilnya pun akan kurang baik dan tidak optimal. Misalnya seorang aktifis organisasi memiliki IP kurang dari 3,00 kemudian dia beralasan “Saya adalah seorang aktifis, jadi maklum IP saya dibawah 3″. Hanya orang-orang yang bermental lemah saja yang mau mengatakan hal itu demi menghilangkan rasa malu. Nauzubillahi min zalik. Karena sesungguhnya “Inti organisasi adalah koordinasi, inti koordinasi adalah komunikasi, komunikasi akan memperbanyak relasi dan relasi akan mempermudah jalan prestasi”.

Oleh karena itu, pandai-pandailah mencari teman karena lingkungan adalah tantangan paling utama dalam meraih prestasi. Tentunya pilihlah organisasi yang baik, organisasi yang bisa mengantarkan kita menjadi orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual yang tinggi serta memiliki kecerdasan sholeh secara personal maupun sholeh secara sosial. Dengan mengikuti organisasi, mahasiswa akan “terpaksa” belajar mengatur waktunya dengan baik. Karena pembelajaran yang terjadi di perguruan tinggi adalah belajar orang dewasa (andragodi) dimana tiap individu bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Mulai dari belajar mengatur waktu, belajar mandiri dan belajar beradaptasi dengan lingkungan serta sistem dan metode yang sama sekali baru dibandingkan waktu sekolah dahulu.

Maka sebagai mahasiswa kita harus belajar untuk berorganisasi dengan baik. Lewat organisasi kita belajar mengasah kemampuan kita dalam bersosialisasi dan berkomunikasi dengan orang banyak, sehingga kita akan terbiasa menghadapi permasalahan dengan banyak karakter orang, terbiasa berpikir kreatif, kritis, objektif dan aktif mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. Dalam organisasi biasanya akan banyak kerjasama-kerjasama lintas kampus bahkan daerah, salah satu contohnya adalah studi banding dengan universitas lain. Dengan demikian akses untuk berhubungan dengan orang lain pun akan bertambah berlipat-lipat.

Seorang mahasiswa atau mahasiswi yang kuliah saja, tidak bisa dijamin segera bisa merampungkan studinya. Tidak sedikit mahasiswa yang molor masa studinya hanya karena malas atau jenuh dan suka keluyuran yang tidak jelas manfaatnya. Begitu pula sebaliknya, tidak sedikit mahasiswa yang berkecimpung dalam organisasi malah bisa cepat lulus karena bisa membagi waktu dan tidak membiarkan waktu yang dilalui terbuang percuma tanpa diisi dengan kegiatan yang berarti. Banyak pula diantara mereka justru semakin bersemangat dan tekun dalam belajar karena banyak orang yang mendorong mereka dan memotivasi untuk lebih maju dan menghargai waktu. Dan biasanya akan timbul suatu titik jenuh dalam kehidupan kita. Maka untuk mengatasi kejenuhan itu kala datangnya, dapat dilakukan dengan beralih focus atau kegiatan. Bagi mereka yang aktif di organisasi tentunya kejenuhan itu akan dapat dilalui dengan mudah, bahkan tidak terasa karena mereka selalu bertemu dengan hal-hal baru di tiap harinya. Ada saja teman yang menginspirasi dan membuat mereka bersemangat kembali.

Pertanyaannya adalah, apakah cukup mahasiswa dikenalkan hanya pada satu dimensi kehidupan perkuliahan, yaitu dimensi akademik. Apa tanggungjawab sosial, intelektual, dan politik mahasiswa bisa didapatkan dari pahamnya ia akan dimensi akademik? Apakah sensitivitas sosial dapat diasah dari diktat-diktat akademik? Apakah loyalitas pada almamater, kekeluargaan dengan kakak kelas, kehangatan sosial dengan dosen dan segenap civitas akademika kampus lain dapat terbangun dari doktrin-doktrin akademik? Apakah adaptasi dan rasa memiliki almamater dapat diindoktrinasikan secara akademik? Bagi saya, tidak mungkin.

Jadi tidak bijaksana jika organisasi dijadikan kambing hitam karena telah menghambat studi mahasiswa. Bukankah mestinya mahasiswa sebagai aktivis dalam arti luas dapat membumi dan memancarkan sisi intelektualitasnya untuk semua, tak hanya berguna untuk komunitasnya saja. Dan melalui organisasi itulah kita berkarya dan berbagi agar lebih berguna bagi kehidupan dan memecahkan problem sosial seperti yang tertuang dalam tri dharma perguruan tinggi di bidang pengabdian masyarakat.

Oleh sebab itu, tanamkanlah dalam diri kita bahwa organisasi akan membawa kita ke arah perbaikan sikap dan keterampilan, bukan menjadi salah satu faktor kegagalan studi seseorang. Takut nilai IP jeblok dan studi terganggu bukanlah alasan untuk tidak berorganisasi. Karena seyogyanya hidup kita tak dapat terlepas dari organisasi. Secara tak sadar pun kita telah menjadi sebuah bagian dari organisasi terkecil, yaitu Keluarga. Jadikan organisasi sebagai sarana kita untuk berkreatif dan menyumbangkan ide dan pemikiran kita karena ide tidak akan terlaksana jika tidak ada yang menampung aspirasi dari ide tersebut. Dengan pemikiran tersebut, bukan hal yang sulit lagi bagi kita, sebagai mahasiswa untuk mengembangkan diri agar dapat berprestasi baik dalam akademik maupun organisasi. Atau dalam perenungan yang lebih dalam lagi, “Selama hidup kita di kampus ini, kita akan menghargai waktu yang diberikan oleh Tuhan tersebut dengan karya apa?” Kita ingin menjadi mahasiswa yang seperti apa? Dan semuanya kembali pada diri kita sendiri untuk menjawab itu semua. Wallahu a’lam bishsawab.

Text Widget