Pages

30 May, 2014

Pilihan dan rasa

Ini tentang pilihan dan rasa...
Ketika mendua itu menyulitkan
Dan diduakan itu menyakitkan
Apakah sebuah kecenderungan, ketika hidup menawarkan banyak pilihan?
Mengapa tidak pernah hanya satu, sebuah pilihan?
Monogami.
Lalu kita kebingungan.
Tiada pilihan, membuat kita resah dan mencari-cari
Terlalu banyak pilihan, membuat kita pening dan lelah menyeleksi

Di sebuah lagu dibilang
Hati-hati berkata cinta
Harus pakai hati
Sebab, semua orang bisa bilang cinta
Sehari sepuluh cinta
Tapi bila cinta tak hati-hati
Hati pun tak punya cinta

Ah.. Resahku...
Resah jiwa merindu
Rindu akan ketulusan
Bukan cinta yang menipu
Tak mengapa bukan, bila aku menuliskan sebuah puisi tentang kamu?

Sapardi Joko Damono, Kahlil Gibran hingga Rumi pun berpuisi kala mengenal cinta,
Bagaimanalah aku, yang hanya seorang kurang berdaya di hadapan cinta?


Meta morfillah

[Cerita Lirik] Terpukau

Aku memang belum beruntung
Untuk menjatuhkan hatimu
Aku masih belum beruntung
Namun tinggi harapanku
Tuk hidup berdua denganmu

"Gw jatuh cinta, Tha!"

Aku menyelidik matanya. Ada kesungguhan terpancar di sana.

"Iya, Tha! Kali ini beneran. Gw udah gak mau main-main lagi."

Mataku masih fokus menatap matanya seraya mengaduk-aduk ice lemon teaku. Mencari, apakah ada setitik keraguan di sana. Nampaknya tidak.

"Rasanya, unbeliveable banget! Gw jatuh cinta sama lelaki yang biasa aja. Dan lebih menyebalkannya, dia mirip banget sama lo tingkahnya, Tha! Cueknya, asik sama dunia sendiri, doyan banget baca, menulis dan berimajinasi. Tapi karena itu pula, gw jatuh cinta sama dia. Wawasannya luas banget kalau udah diajak diskusi. Tampangnya kalem padahal. Hahaha.. Ga nyangka, gw bakal jatuh cinta sama nerd or geek semacam itu."

"Sompret... Jadi maksud lo, gw nerd or geek gitu?"

Dia terbahak. Aku manyun. Lalu tiba-tiba raut mukanya berubah serius. Dia memajukan badannya dan menatap mataku lurus.

"Tapi, Tha... Dia suka sama cewek lain."

Matanya berkabut. Seperti akan hujan.

"Bukankah perkara mudah, membuat lelaki jatuh hati sama lo? Lo kan cantik. Playboy aja pada memuja lo."

Semoga hujan di matanya tak merinai. Aku berpikir mencari kata-kata yang mampu membesarkan hatinya lagi.

"Iya, Tha. Tapi... Dia berbeda. Dia enggak peduli sama fisik gw. Gw bahkan tahu wanita yang disukainya. Dari skala 1 sampai 10, dia hanya dapat 5. Bahkan jauh lebih cantik lo, Tha!"

"Heeeiii... Maksud lo, skala gw bahkan ga mencapai 7 untuk ukuran standar atau cukup!? Issshh.. Nyebelin amat sih, lo! Huuuu..."

"Hahahah... Gak sih, Tha. Tapi gw demen aja ngeliat lo manyun. Sorry, dear. You're the best!" Dia menjawil pipiku yang kembali cemberut. "Tapi, kali ini walau gw belum beruntung untuk membuat dia jatuh cinta sama gw, gw masih tetap punya harapan tinggi sama dia, Tha. Bilang gw gila, Tha."

"Lo gila!"

"Issh, Tha! Lo mah ya, bukan nyemangatin gw, malah datar gitu nanggepinnya!"

"Lah, serba salah ya jadi gw. Tadi lo yang minta dibilang gila. Gw bilang gila, malah dimarahin. Njuk aku kudu piye, toh?"

"Hahaa.. Iya sih. Tha lucu, deh!"

Aku sempurna denganmu
Kuingin habiskan sisa umurku
Tuhan, jadikanlah dia jodohku
Hanya dia yang membuat aku terpukau

"Gw berharap dia jadi jodoh gw, Tha! Gw ngerasa he is my Mr. Right. Gw mau habiskan sisa umur gw sama dia. Tapi, apa gw Mrs. Rightnya dia, Tha? Aaarghh... Kayaknya, gw benar-benar gila sekarang."

Aku melongo. Perkara ini benar-benar serius nampaknya. Sahabatku yang satu ini, adalah orang yang sulit jatuh cinta. Mantannya memang banyak, mungkin bisa dibuat fans club. Tapi selama menjalani hubungan, dia hanya main-main. Tak pernah serius, apalagi patah hati. Sekadar jadi tukang ojek atau teman main. Pokoknya, dia ga bisa jomblo sedetik pun! Dia anti sendirian, apalagi kesepian. Sampai aku lelah menasihatinya. Tapi, sekarang... Dia benar-benar jomblo sejak kenal lelaki itu. Seperti terbentur tembok. Dia menjadi berbeda. Hebat sekali lelaki itu!

"Kenapa lo tiba-tiba suka sama dia?"

"Karena dia punya apa yang gw ga punya. Karena dia misteri bagi gw. Dia satu-satunya lelaki yang tulus berteman dengan gw, dan menjaganya dengan baik. Tanpa pernah sedikit pun tertarik sama gw. Gw bisa lihat itu dari matanya."

"Hahaa.. Penolakan awalnya. Selalu saja misteri yang membuat kita jatuh. Lo kayak lagi buka kotak pandora terlarang!"

"Yaah,, istilah lo, anomali. Ya, dia adalah anomali dalam hidup gw."

"Apa yang dia punya, tapi lo ga punya?"

"Kesederhanaan, mimpi dan ketulusan."

Aku sungguh sangat bermimpi
Untuk mendampingi hatimu
Aku masih terus bermimpi
Sangat besar harapanku
Tuk hidup berdua denganmu

"Apa gw salah, Tha, kalau gw begitu bermimpi untuk jadi pendamping hidup dia?"

"Siapalah gw, yang bisa ngejudge segala sesuatu itu salah atau benar?"

"Oh, come on! Jangan jadi filsuf deh. Gw beneran lagi butuh komentar lo, Tha. Lo, kan, bijak banget, apalagi masalah beginian."

"Enggak ada yang salah. Semua itu fitrah. Bahkan saat lo memungkiri, rasa itu akan semakin membesar. Semua hanya permainan jarak, waktu dan skenario Tuhan."

"Aaarghh.. Tha! Kata-kata lo pas banget! Memang, semakin gw menolak, semakin gw yakin bahwa gw pengen dia, Tha! Bahkan, satu hari dia gak ngechat sama gw, gw yang mulai negur dia duluan. Nyari-nyari topik obrolan. Padahal sama lelaki lain, gw mana pernah nyoba buka obrolan. Mereka yang jumpalitan SKSD sama gw!"

Denganmu, aku sempurna
Denganmu, kuingin habiskan sisa umurku
Tuhan, jadikanlah dia jodohku
Hanya dia yang membuat aku terpukau

"Gw ngerasa saat bareng dia, gw jadi wanita yang sempurna, Tha. Gw pengin partner hidup kayak dia. Pengertian, bisa membimbing dan seksi dengan luasnya pengetahuan yang dia miliki. Dia selalu punya solusi untuk masalah gw. Benar-benar, dia itu membuat gw terpukau, Tha!"

"Persis kayak lagu ini, ya?"

Dia mengangguk. Lantunan lagu Terpukau yang dipopulerkan Astrid semakin membuat dia mellow.

"Lagu ini, pas banget ngegambarin isi hati gw saat ini, Tha."

Dia terhanyut mendengarkan lirik lagu itu, sementara aku menerawang karena teringat sebuah kalimat. Aku lupa, pernah membaca di mana. Bunyinya seperti ini, "Kalau ada orang yang sedang jatuh cinta, cobalah tanya teman terdekatnya. Mereka yang paling tahu rasanya. Sebab, orang jatuh cinta itu mati rasa. Dia hanya tahu satu rasa, ya jatuh cinta saja. Mendadak logikanya tertimbun oleh rasa itu. Maka, yang paling waras, adalah teman terdekatnya yang mendengarkan ceritanya tiap saat."

"Hahaaa.. Benar sekali kalimat itu. Inilah yang lagi-lagi kualami." Batinku sembari tersenyum menatap sahabatku yang sedang bernyanyi mengikuti lirik lagu tersebut. Cepat juga dia menghafalnya. Sepertinya, Kekuatan orang jatuh cinta sedang menyihirnya. Mendadak dia jadi melankolis, romantik dan bergaya pujangga.

"Tha, buatkan cerita dari lirik lagu ini dong! Kan, lo jago menulis. Ya... Ya.. Ya.. Tentang gw, pakai backsound lagu ini. Oke?"

"What? Hmm... Nambahin kerjaan gw aja."

"Pleeeeeeeeeeeaaaaaseee....."

"Iya, iya..."

"Makasih, cantik!"


*ini cerita lirik astrid - terpukau as requested yaa... Hutang tha lunas (n_n)

Meta morfillah

[Cerita Lirik] Nak

Jauh jalan yang harus kau tempuh
Mungkin samar, bahkan mungkin gelap
Tajam kerikil setiap saat menunggu
Engkau lewat dengan kaki tak bersepatu

Apakah semua bapak di dunia ini memiliki pemikiran yang sama dengan lirik lagu di atas? Mereka sudah menerka jauh perjalanan untuk tiap anaknya, menerka betapa anaknya yang lugu akan terluka setiap saat. Persis seperti idiom melewati jalan yang dipenuhi kerikil tajam tanpa bersepatu. Seperti tak memiliki persiapan. Lebih tepatnya tak tahu. Lebih berat lagi, bila tak tahu arah jalan yang akan ditempuh. Mungkin akan samar, dipenuhi orang-orang bermuka dua yang menyesatkan. Mungkin akan gelap, hingga tersesat dan kehilangan cahaya. Apakah semua bapak di dunia memiliki visi sejauh itu dalam melihat jalan hidup tiap anaknya?

Duduk sini, Nak...
Dekat pada Bapak
Jangan kau ganggu ibumu...
Turunlah lekas dari pangkuannya 
Engkau lelaki, kelak sendiri.

Pada bapak, setiap anak mencari perlindungan. Belajar tentang ketangguhan, dari kerasnya hidup yang menjatuhkan. Pada ibu, setiap anak mencari kehangatan, kenyamanan yang melenakan dalam kelembutan. Pada akhirnya, setiap anak, baik lelaki maupun perempuan akan sendiri. Menjalani hidupnya sendiri, lebih tepatnya. Bapak dan ibu hanya mampu melihat dari jauh. Merasa sakit dan bahagia dua kali lipat dibandingkan perasaan setiap anak mereka. Tapi, itulah kodrat mereka. Hanya mengawasi. Sesekali menasihati. Tak boleh terus ikut campur dalam kehidupan setiap anaknya. Sebab, itu akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Persis seperti merusak hidup seekor kepompong yang sedang berusaha bermetamorfosis menjadi sebuah kupu-kupu cantik. Satu sentuhan saja dari ayah ibu karena rasa iba, akan menjadikan mereka cacat dan gagal menjadi kupu-kupu.

"Dari kemarin lusa kayaknya kamu lagi kangen sama bapak."

"Aku sebenarnya tiap hari kangen bapak," jawabku dengan mata yang menerawang pada langit. "Apalagi tiap ada lelaki yang dekat sama aku. Suka membayangkan, bagaimana rasanya kalau masih ada bapak. Pasti aku bisa ngobrol tentang karakter berbagai laki-laki, mana yang baik dan kurang baik menurutnya. Aku ingin mendengar pendapatnya, tentang mereka yang bersinggungan dengan hidupku."

"Kamu tahu, kan, karakter bapakmu?"

"Tidak. Aku rasa, aku tak terlalu mengenalnya dengan baik. Hanya sebelas tahun bersamanya, dengan kesibukanku terhadap masa kecil. Aku luput mempelajari karakternya. Tapi aku kuat dalam mengingat detil perilakunya. Bapak bukan orang yang suka berkata, atau bicara. Ia lebih banyak bertindak. Ia menyukai diskusi pribadi. Setiap mengingatnya, aku hanya ingat kebaikan pribadinya. Sekalinya dia marah dan membuatku menangis, hanya satu kali. Itu pun memarahiku dengan setangkai lidi. Memukul dengan setangkai lidi itu satu kali. Tidak sakit. Tapi aku merasa berdosa sekali telah menyakiti dan membuatnya marah. Hanya itu."

"Sama sepertimu, dong. Berarti kita sama, hanya saja kamu lebih lama bersama bapakmu dibandingkan diriku."

"Hehe.. Iya.. Bakal berasa banget mungkin ketika nanti mau nikah. Aku tidak punya wali. Ini menyedihkan sekali bagi aku (wanita). Selalu ada yang kosong. Tak tergantikan lah, Posisi bapak bagi anak perempuannya."

"Iya... sedih banget ya. Kita yang sudah tak akan bertemu dengannya. Sangat merindukannya. Tapi di luar sana... ada yang brani menentang bahkan bertengkar dengannya."

"Tapi kadang aku bersyukur dikasih makna kehilangan di usia 11 tahun. Berkat kepergian bapak, aku jadi belajar mandiri, dan dewasa sendiri. Walau bungsu, merasa harus jadi pelindung keluarga. Berubah lebih baik, berhijab demi bapak. Agar beliau tak disiksa di neraka. Allah membuka dan memberikan pelajaran lewat caranya yang indah. Belum tentu, kalau bapak masih ada, aku akan seperti sekarang. Mungkin, aku akan menjadi anak manja yang tidak menghargai keberadaan orang tua."

"Hehe.. Iya, sama. Aku juga begitu. By the way, kamu kalau teringat bapak, menenangkan hatinya bagaimana?"

"Menulis... Berdoa... Menangis..."

"Hehehe... iya terapi yang paling pas memang menulis."

"Yaa, sama seperti tulisan ini. Hasil dari percakapan kita, dan renungan dari lirik sebuah lagu."


*Cerita lirik lagu iwan fals - Nak

Meta morfillah

28 May, 2014

Tentang partner

"Komunikasi kami gak intens, bahkan ketemu pas dia lembur. Aku bantuin kerjaan dia. Baru kita makan bareng. Paling banter bbm doang, nanya udah sampai rumah atau belum. Kagak ada kata-kata romantis dibandingkan dulu sama pacar-pacar aku. Ngantar jemput juga gak. Dan aku sendiri bukan tipikal wanita manja yang menuntut prianya untuk selalu ada. Tapi aku nyaman dan aku suka cara dia merhatiin dan membimbing aku. Dia tahu mau ke arah mana. Itu baru namanya lelaki."

Dialog di atas, adalah intisari sebuah percakapan saya dengan seorang kawan. Agak saya modif, namun itulah intinya. Menarik!

Mendengar curhatan dia seperti itu, tiba-tiba saja otak saya menyimpulkan satu hal dan mengucapkannya tanpa sadar melalui mulut saya. Sering sekali saya seperti ini, berucap dan menulis sesuatu hal begitu saja. Seperti ada kekuatan lain yang lebih berkuasa menuntun saya.

"Di usia kita yang hampir seperempat abad seperti ini, romantis bukanlah lagi mengenai kata-kata, atau pun seberapa intens kamu berkomunikasi dengannya. Seperti, tiap jam harus lapor, makan harus diingatkan, dan lainnya. Mungkin kita sudah bosan dan kurang perlu hal-hal dangkal seperti itu. Yang kita cari adalah partner dalam segala hal. Partner yang sebenar-benarnya. Memahami load pekerjaan kita, life style hidup kita, kebiasaan kita, cara kita menghadapi masalah, atau mencari hiburan. Bahkan, kadang kita ingin tetap ada kebebasan sebagai individu dan tetap memiliki waktu dengan teman-teman tanpa melupakan ada haknya pasangan. Itulah yang kadang dilupakan. Intinya adalah kepekaan. Bahkan, bila terlalu dikekang erat, itu hanya membuat sesak. Membosankan bila seumur hidup hanya tahu tentangnya. Padahal kita butuh partner dalam segala hal. Partner in love, partner in crime, partner in doing silly things, partner to laugh together, etc."

Temanku terdiam. Alisnya bertaut, agak mengerut. Matanya menerawang jauh. Dengan suara lirih, dia berkata, "Yaa... Sepertinya kamu benar. Itulah yang kita cari. Seseorang yang peka pada kebutuhan kita. Saat sedang jenuh, stress, dia tahu bagaimana bersikap. Mungkin dengan sedikit memberi waktu bagi kita untuk merenung. Tak memaksa dan terlalu mengontrol."

"Persis seperti layang-layang. Sebuah hubungan harus ada tarik-ulur. Terlalu kencang, akan putus. Terlalu diulur, akan menjauh dan digaet layangan lain."

"Yeah.. Lagi-lagi kamu benar."

Saya hanya tersenyum simpul. Bahkan, saya sendiri takjub akan apa yang barusan saya katakan. Sering sekali seperti itu. Mulut dan jari saya seperti bukan milik saya. Entah, kekuatan apa yang menggerakkan mereka untuk berujar dan menuliskan hal-hal hebat.

"Hei, padahal kulihat kamu tak pernah punya pengalaman membangun hubungan lelaki-wanita. Tetapi, mengapa kamu paham sekali semua jenis hubungan, seperti kamu sudah mengalaminya?"

"Hahaha... Mungkin sama dengan analoginya orang saleh yang menggambarkan surga dan neraka, padahal ia belum pernah mati."

"Wow... Kamu seperti sudah mengalami ribuan jenis hubungan dan masalah di dalamnya."

"Spongebob bilang, itu adalah kekuatan IMAJINASI."

"Hahaha.. Spongebob? Tokoh kartun konyol yang bahkan tidak lucu itu! Saat seperti ini, barulah aku percaya ini dirimu. Dengan keluguanmu yang seperti bocah."

Bocah, dia bilang? Huuff... Lebih baik saya melanjutkan makan saja. Percakapan selesai.

Meta morfillah

23 May, 2014

Penjaja harapan palsu & cintanometer

"Harapan palsu, harapan palsuuuu..."

"Sayang hati, sayang pikiran, belilah harapan palsu untuk hiburaaaan!"

Bersahut-sahutan penjaja harapan palsu mendatangiku. Zaman semakin gila, siapa sangka bahkan harapan dapat dipalsukan dan diperjualbelikan!

Aku tertarik mewawancarai seorang penjaja harapan palsu yang tersenyum dari tadi. Mengintai dengan matanya, tanpa berkoar-koar. Aku memanggilnya dengan lambaian tangan. Menyuruhnya duduk di sampingku.

"Berapa harga harapan palsumu?"

"Tergantung durasi yang Anda butuhkan, Nona"

"Memang ada berapa jenis?"

"Aku menyediakan per jam, per hari, per bulan dan per tahun."

"Sebenarnya, aku tidak membutuhkan itu semua. Aku hanya ingin berbincang denganmu. Bagaimana kalau kubayar satu jam saja?"

"Boleh, Nona."

Aku membayarkan nominal yang ia minta.

"Mengapa kamu menjadi penjaja harapan palsu?"

"Sebab bisnis ini besar sekali peluangnya, Nona. Begitu banyak wanita yang membutuhkan harapan palsu. Terlebih didukung oleh infrastruktur dan media sosial. Menjadikan bisnis ini begitu menjanjikan. Mudah."

"Mengapa wanita yang lebih membutuhkan harapan palsu? Atas dasar apa kamu berkata seperti itu?"

"Hahaa... Nona ini lucu. Dari jumlah antara lelaki dan wanita saja sudah jauh perbandingannya. Wanita yang begitu banyak dan kurang beruntung mendapatkan kesempatan untuk merasakan indahnya hubungan asmara, mereka butuh sebuah hiburan. Mereka butuh akan sebuah harapan, bahwa mereka pun merasakan hal itu. Untuk itu, muncullah kami. Penjaja harapan palsu."

"Dari mana asalnya harapan palsu? Apakah seperti CD bajakan? Kamu mengcopynya dari CD asli?"

"Harapan palsu yang kami jajakan, hanyalah perilaku yang diharapkan terjadi atau diinginkan oleh pembeli. Semua itu kami riset dari pengalaman-pengalaman orang yang memiliki harapan. Kami survey, apa saja yang diinginkan. Misal, wanita itu suka digombalin. Dia mengharapkan ada seorang lelaki memujanya, mengirimkan sms berisi puisi untuknya setiap pagi. Maka, kami modif hal itu. Kami berikan, apa yang dia mau. Tentunya dengan kualitas yang bergantung pada bayaran dia kepada kami. Masalah rasa, sensasi, memang berbeda. Karena kami tidak memakai hati. Namun, rata-rata klien kami senang dan puas. Setidaknya, dalam hidup, ia merasa telah mengalami. Itulah intinya, Nona."

"Seperti simulasi?"

"Ya.. Seperti itu."

"Padahal, tak semua penjaja tampan sepertimu. Mengapa tetap laku, ya?"

"Hahaa.. Nonaa... Klien kami tak mementingkan tampang. Yang penting keinginannya terpenuhi. Mereka hanya fokus pada perlakuan kami."

"Apa bedanya dengan playboy?"

"Beda, Nona. Kami tidak pernah menjanjikan sebuah ikatan. Kalau pun ada beberapa dari kami yang terikat, mereka harusnya sadar, bahwa itu tak mungkin menjadi selamanya. Kami tak pernah menyakiti, sedang playboy selalu menyakiti. Playboy benar-benar memainkan wanita, kami tidak."

"Setelah harapan palsu yang demikian marak, apakah nanti cinta pun akan palsu?"

"Bisa jadi, Nona. Bahkan sedang ada riset alat untuk mengukur seberapa tulusnya cinta seseorang. Namanya cintanometer."

"Gila!"

"Ya, dunia memang sudah gila, Nona. Hmm... Nona, apakah nona tidak mau menghabiskan hari bersamaku? Aku rasa, aku menyukai Anda, Nona."

"Hahaa... Kamu begitu lucu! Bagaimana mungkin seorang penjaja harapan palsu jatuh cinta! Sudahlah, pergi sana. Terima kasih atas satu jamnya."

Meta morfillah

Dia?

"Temukanlah dia yang kamu tak bisa hidup tanpanya. Bukan dia yang bisa menjalani hidup bersamamu."

"Jadi, ketika aku merasa bahwa dia belum mampu mengalihkan diriku dari sesuatu selain dirinya, it means, he is not my Mr. Right?"

"Itu adalah salah satu tandanya."

"Dan bila aku tidak dapat menemukannya?"

"Pasti kamu akan menemukannya. Dalam pasanganmu yang kurang sempurna, ketika kamu bayangkan ketiadaan dirinya dan hatimu tidak terketuk, maka ciptakanlah rasa itu. Ada yang beruntung menemukannya langsung. Ada yang harus berjuang untuk menemukannya, dengan menciptakan."

"Bagaimana aku tahu, bila itu adalah dia? Bagaimana aku yakin, bila aku tak sanggup hidup tanpanya, tanpa mengira itu hanyalah emosi sesaatku?"

"Kedewasaanmu dalam menyikapi dan kejernihan hatimu yang akan bekerja. Ada hal-hal yang tak mampu dijawab secara logika, namun dijelaskan dalam hatimu. Akan ada interkoneksi perbuatannya dengan rasa di hatimu serta dukungan semesta. Ini sesungguhnya mudah. Hanya saja, demikian mudah terkadang menjadi begitu sulit karena kita yang mempersulitnya. Dengan tak mempercayai atau mengingkari tandanya, hanya karena angan-angan kita yang begitu tinggi terhadap Mr. Right."

"Apakah sama analoginya, dengan pencinta buku yang menyimpan rahasia tentang satu buku yang selalu diinginkannya. Namun ia tak pernah memberitahukannya pada orang lain. Lalu suatu waktu, seseorang membawakannya. Apakah itu sebuah pertanda, bahwa seseorang itu 'dia'?"

"Hanya pencinta buku itu yang mampu menjawabnya. Tak semua hal dapat kita jawab, sama halnya tak semua orang dapat kita paksakan mengenakan kaus ukuran kita."

"Jadi... Apa yang sebenarnya kita bicarakan?"

*tersenyum*

Meta morfillah

Rahasia penjaja cerita cinta

Sebutkan satu kata! Apa saja, nama benda, sifat, rasa, terserah...
Aku akan merangkaikan sebuah cerita cinta dari kata yang kamu sebutkan. Sebab, itulah pekerjaanku. Penjaja cerita cinta. Dan dengan itulah aku dibayar.

Kata-kata sudah menjadi udara yang kuhela, debar yang selalu terpompa di jantungku. Ia menari-nari begitu lekat di dalam kepalaku. Membelukar serupa hutan di Kalimantan. Menghidupkannya tak sulit. Memberi ruh pada kata-kata yang merangkai cerita itu, hanya dengan mengandalkan imajinasiku. Beruntunglah pada sumber cerita yang tak pernah habis, mereka yang sering menceritakan curahan hatinya padaku. Hanya dengan memberikan telinga, aku akan merasakan sensasi sebuah rasa baru. Meski untuk sebuah cerita yang klise. Menimpa orang yang berbeda, akan memberikan rasa yang berbeda pula.

Aku akan tertawa bahak, bila berhasil mengecoh pembacaku. Membuat mereka berasumsi, bahwa itu adalah ceritaku, dan tokoh yang kuceritakan adalah diriku. Meski sering kugunakan sudut pandang pertama (aku), cerita itu belumlah tentu tentangku. Sering kali, kucomot penggalan hidup si A, ditambah detail hidup si B, dan diberi ending kehidupan si C. Jadilah ia sebuah cerita beragam warna dalam satu jalinan. Bahkan, bila aku sedang malas menceritakan sebuah tokoh, aku bercerita saja, tanpa mencipta wujud tokohnya. Dan hei...! Pembacaku bahkan lebih tahu dari diriku! Mereka bilang, tokohku nyata dan mereka pernah bertemu dengannya. Sementara aku di sini, tersenyum simpul, wong aku saja tidak tahu wujud tokoh yang kuceritakan. Absurd?

Apakah aku mengalaminya semua? Apakah kisah cintaku begitu ragam sebagaimana cerita-cerita cintaku padamu? Hahaha... Aku bahkan belum mengalami jatuh cinta. Terlebih patah hati. Untuk apa? Untuk siapa, lebih tepatnya? Mungkin kewarasanku masih melindungi. Sebab katanya cinta membuatmu gila, dan saat ini aku tidak sedang gila. Mungkin logikaku masih berfungsi. Sebab katanya cinta tak mengenal logika. Lalu apa bedanya dengan hewan? Cinta membuatmu melakukan hal-hal sebaliknya, bahkan hal-hal yang tak pernah kamu lakukan. Mungkin, ketika aku jatuh cinta, aku akan berhenti menjadi penjaja cerita cinta. Mengapa? Sebab, aku yang terbiasa bermain kata, menjadi tak bisa berkata-kata. Syarafku tumpul semua. Lalu, apakah cinta itu anugerah? Ketika semua itu terasa seperti kutukan bagiku?

Lalu, apakah kamu akan berhenti memintaku bercerita dan membayarku, ketika kamu tahu bahwa aku belum pernah mengalami apa yang aku ceritakan?

Sssttt... Ini rahasia! Jangan sampai ada yang tahu! Sekarang kamu tahu, aku memiliki sebuah rahasia. Lantas, apa rahasiamu?

*terinspirasi dari judul kumcer @edi_akhiles

Meta morfillah

21 May, 2014

Bulan (per)cobaan

Bulan ini benar-benar bulan ujian. Allah mengujiku secara fisik dan psikis. Secara fisik, berkali-kali aku dibuat jatuh sakit di luar kuasaku. Sedemikian ketatnya menjaga pola makan, tapi sakit kambuhan, sakit wanita, kaki terlindas mobil dan terakhir sakit mata karena saya bersentuhan fisik saat memakaikan obat pada penghuni rumah. Semoga saja setelahnya, tidak ada lagi penyakit. Sembuh sesembuhnya. Sebab, sakit itu amat tidak enak. Saya sangat tidak betah beristirahat, dipaksa bed rest, berkali-kali tidak masuk kantor, sementara pikiran saya mengembara ke sana. Seperti mendua. Dan saya sangat membenci perilaku mendua. Tubuhmu di sini, namun pikiranmu di sana.

Secara psikis, Allah menguji kontrol diri, emosi dan sikap saya terhadap ragam karakter dan orang-orang terdekat. Beberapa kasus terjadi, yang tak pernah saya bayangkan akan menimpa atau berasal dari orang-orang terdekat, nyatanya mewujud. Ternyata hidup saya jauh lebih sinetron dibandingkan script sinetron. Semakin saya meminta kebijakanNya untuk masalah yang saya hadapi, anehnya, Allah memberikan jalan untuk saya menjadi pendengar. Bukan menyelesaikan masalah saya, namun menyadarkan saya dengan mempertemukan ragam manusia yang juga dipenuhi masalah. Ada yang jauh lebih berat masalahnya, ada pula yang sebenarnya tidak masalah, hanya saja individu tersebut belum mampu menyelesaikan persoalan hidupnya. Membukakan mata saya--walau saat mengetikkan kalimat ini, mata saya setengah memejam karena bengkak dan sedang memakai salep, jadi tidak dapat melihat/membuka dengan jelas.--bahwa kedewasaan tiap orang berbeda kadarnya. Memaksa saya berpikir, pernah ada masa-masa bagi saya sesuatu itu begitu sulit, namun di lain masa, sesuatu itu menjadi terlalu mudah dan konyol bila saya melihat dari sudut pandang saya berdiri kini.

"Nak, matamu sedang sakit begitu, jangan memaksa membaca atau menulis, apalagi memikirkan pekerjaan." Bunda gemas melihat tingkahku seharian, yang begitu sibuk memohon kesembuhan, dan tetap melakukan aktivitas--walau tidak berat--yang sebenarnya tak boleh dilakukan saat matamu sedang bengkak, belekan, merah dan sulit membuka, seperti ditonjok dan lebam.

"Bunda, bagaimana aku bisa santai dan bersenang hati dalam keadaanku. Apa Bunda ingat, dari mana kekeraskepalaanku ini berasal?"

"Huuff..." Bunda menyerah, "Ya, memang kalau sudah tanggung jawab, akan selalu terpikir dan rasanya ingin menuntaskan. Sebab pekerjaanmu itu adalah amanah. Kita bekerja karena ibadah, dan tak ingin mengecewakan orang lain. Jangan sampai menggigit tangan orang yang memberi kita makan."

"Nah, itulah Bunda. Dan aku sangat tidak ingin membuat pemakluman sakit untuk diriku. Aku sangat tidak ingin mengecewakan orang lain, meski arti hadirku tidak begitu bernilai bagi mereka. Ingatlah Bunda, darahmu mengalir padaku. Sebagian sifatmu, keteguhanmu, kekeraskepalaanmu pun menurun padaku, tanpa aku dan kau sadari."

"Istirahatlah, agar besok kamu bisa memaksa dirimu kembali pada rutinitasmu. Teruslah seperti itu, meski menyebalkan. Sebab itulah pembeda kita dengan manusia lain. Sampai titik darah penghabisan. Itulah batas kesabaranmu."

Pandangan mataku semakin kabur karena salep mata ini. Mungkin Bunda benar, sebaiknya aku lekas menuruti reaksi CTM dan obat lain yang baru saja kuminum lima belas menit lalu. Reaksi yang memaksaku memasuki gerbang mimpi.

Meta morfillah

19 May, 2014

[Review Buku] Lontara Rindu

Judul: Lontara Rindu
Penulis: S. Gegge Mappangewa
Penerbit: Republika
ISBN: 978-602-7595-01-9
Dimensi: viii + 343 halaman; 13,5 cm x 20,5 cm

Buku ini saya mulai baca pada pukul 18.00 dan selesai 21.45. Tiga jam empat puluh lima menit diselingi beberapa interupsi. Membuktikan buku ini lumayan menarik, hingga saya selalu kembali dari ragam interupsi tersebut untuk menuntaskannya.

Novel ini bercerita tentang rindu seorang anak (Vito) pada ayahnya dan saudara lelaki kembarannya. Walau pusaran utamanya ada pada tokoh Vito, tapi novel ini juga mengupas kehidupan masa lalu orang tua vito bahkan leluhur desa yang Vito diami. Desa Sidenreng. Konflik yang hadir seputar rindu anak, kisah cinta yang terpisah karena beda keyakinan dan adat serta tekad sekelompok anak desa yang memiliki mimpi berkat guru yang tulus mendidik.

Dari judulnya, penulis begitu cerdik memilih kata dan diksi. Saya suka sekali dengan judul ini. Dari penokohan, begitu kuat dan seimbang antara tokoh sentral dengan pendukungnya. Dari setting, saya jatuh cinta! Penulis mampu meyakinkan saya tentang kearifan lokal, adat-adat suku Bugis dan mengupasnya perlahan bagaikan bawang. Alurnya pun begitu lincah, maju mundur tanpa cela. Diksi yang digunakan pun begitu indah. Sayangnya ending novel ini membuat saya penasaran. Dan saya paling tidak suka dibuat penasaran! Bisa jadi, novel ini dikembangkan menjadi sekuel, karena menurut saya, masih belum tuntas.. Hahaha

Hanya saja, entah mengapa ketika membaca novel ini mengingatkan saya pada gaya penulisan Tere Liye untuk serial anak-anak mamak dan juga Andrea Hirata untuk serial Laskar Pelanginya. Apakah karena tokoh sentralnya sekelompok anak di desa terpencil yang akhirnya menjadi lebih baik karena seorang guru dan sekolah sederhana yang tulus?

Kelebihan: pemaparan yang begitu lokal, membuat saya semakin mengenal tentang suku Bugis dan sedikit daerahnya. Cerita yang ditawarkan pun, terasa nyata dan tidak begitu klise.

Kekurangan: cukup mengecewakan ketika saya menemukan typo di beberapa bagian. Bahkan jauh lebih banyak dibandingkan novel pemenang kedua (novel ini adalah pemenang pertama lomba novel republika 2012).

Bintang: 4,5 dari 5.

Meta morfillah

A walk to remember

Untuk kali kesekian, saya menonton film ini. A walk to remember. Berawal dari novelnya yang saya baca saat SMP, lalu saya baca lagi saat SMA. Dan menonton filmnya kali kesekian. Klise. Klasik. Romantik. Yeah, but I've never bored with that story.

Mungkin, bila saya tak membaca bukunya terlebih dahulu, saya akan luput pada beberapa hal di filmnya. Yes, saya merasa bersyukur membaca bukunya terlebih dahulu sebelum menonton. Film ini hanya mendukung dan menguatkan imajinasi saya tentang visualisasi cerita. Kisah cinta remaja 17 tahun di era 1950, yang mungkin terasa membosankan untuk anak-anak sekarang. Tapi, Nicholas Sparks mengemasnya dengan manis, dan berhasil membuat saya menangis dengan membaca atau menonton film ini lagi.

Love is like the wind. I can see it, but I can feel it.
Bagaimana bisa, Tuhan membuat Landon Carter, troublemaker di sekolah menjalin cerita dengan Jamie Sullivan yang seperti santa dan terasing?

Bahkan, di otak Landon, Jamie adalah gadis terakhir yang akan ia kencani di kota Beaufort. Jamie amat aneh untuk gadis seusianya. Tidak populer, membawa kitab ke mana-mana, selalu menggunakan sweater yang sama, duduk di meja yang sama, dan belum pernah ada pria yang mengajaknya kencan.
 
Tapi, tuhan memang maha romantis. Mempertemukan Landon dan Jamie dalam bingkai yang apa adanya. SkenarioNYA selalu lebih indah. RencanaNYA bahkan jauh lebih besar dari rencana hidup Jamie Sullivan. Melalui Jamie, Tuhan mengubah Landon menjadi lebih baik dan mempercayai keajaiban, mempercayai kembali Tuhan. Melalui Landon, Tuhan membuat Jamie merasakan mukjizat, mengecap manis cinta, mewujudkan mimpi nomor satunya... Menikah.

Buku, film A walk to remember ini, tak akan lengkap tanpa lagunya.. Yang dinyanyikan oleh Mandy Moore (pemeran Jamie), Only Hope.

There's a song that inside of my soul.
It's the one that I've tried to write over and over again

Saya kira, semua orang memiliki lagunya masing-masing, yang tak pernah bosan mereka tuliskan dan coba wujudkan ke dunia nyata. Tentang jiwanya. Cerita yang tak pernah habis dari dalam dirinya.

When it feels like my dreams are so far,
Sing to me of the plans that you have for me over again

Saya kira, seperti lirik lagu di atas.. Kita semua memerlukan seseorang yang mendukung dan mengarahkan kita dalam pencapaian mimpi. Ketika mimpi-mimpi kita terasa begitu jauh, penghiburan darinya mengenai rencana-rencananya yang dimiliki untuk bersama kita, adalah lagu motivasi, penyemangat. Tak perlu menuntut, hanya dengarkan. Menyanyi, menghibur kala lelah. Pada akhirnya, kita jualah yang kembali berjuang. Di atas kaki kita sendiri.

I give you my destiny
I'm giving you all of me
I want your symphony
Singing in all that I am
At the top of my lungs
I'm giving it back

So I lay my head back down
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray
I know now, you're my only hope

Ketika seorang sudah mempercayakan takdirnya padamu, memberikan semuanya padamu. Yang ia inginkan hanyalah simfoni kejujuranmu. Dan ia akan mengembalikan itu semua padamu. Sebab, kamulah harapannya.

Oohh..oohh.. Klise nan romantis. Tapi, bukankah tidak ada hal yang baru di bawah matahari?

Cinta itu baik. Cinta tidak kasar dan menyakiti. Cinta tak dapat dihindari.
Tidak, bahkan ketika logikamu berkata TIDAK!

Seperti yang Jamie katakan pada Landon, "Satu syarat, kau tidak boleh jatuh cinta padaku."

Bahkan cinta tidak dapat dienyahkan begitu saja. Walau kau tahu ia memiliki dua sayap, satu sayap memabukkan yang berisi kesenangan, dan satu sayap menyakitkan yang berisi penderitaan. Kau tidak bisa menghalaunya, menjauh karena takut darinya.

Seperti yang Landon katakan pada Jamie,"Mengapa kau menghindariku? Itu tandanya, kamu juga takut karena kamu menyukaiku."

Intinya, begitu banyak hal yang saya pelajari dari hal-hal klise yang mungkin kurang menarik bagi sebagian orang.

Namun, fakta bahwa sang penulis novel ini pun begitu terhanyut dan sering menangis saat menuliskan novel ini... Membuktikan bahwa saya adalah manusia normal. Dan saya bukan satu-satunya orang yang menjadi cengeng.

Heii, asal kalian tahu saja, inspirasi Nicholas Sparks dalam melahirkan "A walk to remember" ini adalah kakaknya. Ya, kakak wanitanya yang begitu mirip dengan tokoh Jamie Sullivan. Manis, tidak populer, memiliki keyakinan penuh pada Tuhan, mempunyai keinginan terbesarnya untuk segera menikah, dan tentu saja, mengidap kanker (leukimia). Namun seperti Jamie, ia mendapatkan seorang lelaki baik yang menikahi dan menjadi suaminya hingga ia meninggal di usia 33 tahun.

That's a life. Full of tragedy, maybe little happiness, but still.. Life must go on. With or without.. all of it.  
C'est la vie.  
Dan ini adalah salah satu cara untuk mengingat kembali orang yang disayangi. Menuliskan kisahnya dan memberitahukan pada dunia. Atau menyelipkan kata kunci di antara cerita, benda atau apa pun yang mengaitkanmu padanya. Sekadar membuatmu mudah dalam memanggil kenangan yang membelukar di dalam kepalamu (a walk to remember).

Meta morfillah

13 May, 2014

Pada sebuah bangku taman

Bangku taman berwarna cokelat dengan pinggiran tangkainya yang putih, kerap menjadi temanku dalam hening. Bangku yang mampu menampung tiga orang di atasnya ini, sering kali kukuasai sendiri. Pengunjung taman lainnya, seakan paham tentang keenggananku berbagi. Mereka tak mengusikku. Sama seperti sore hari sebelumnya di Minggu yang cerah.

Di bangku taman ini, kerap kulakukan dialog dengan sosoknya. Sosok diriku yang terperangkap dalam jasadku. Dialog yang begitu berat, dan sering kali tak mencapai kesepakatan. Tanya yang kembali melahirkan tanya. Jarang sekali mendapatkan jawaban. Namun tetap kulakukan. Semata, karena aku ingin adil, sejak dalam pikiran.

Seperti halnya, masalah cita-cita. Apa yang sebenarnya ingin ia capai? Apa yang sebenarnya terjadi saat ini? Apakah ada yang menyimpang? Ataukah apa yang terjadi justru begitu jauh dari harapannya? Siapa yang bertanggung jawab? Begitu banyak daftar pertanyaan, yang melelahkan. Membuat kami sama-sama diam. Termenung. Meresapi dalam-dalam helai demi helai udara yang semilir di antara hela nafas.

Begitu pula tentang cinta. Benarkah akan ada suatu masa di mana cinta akan hadir dan mampu menerima kami? Mewadahi pikiran kami yang sering melangit, bahasa yang sering kali berasal jauh dari bumi? Mampukah mereka, tanpa lelah memaklumi? Menyadarkan kami bila terlalu melangit? Membumikan hati kami? Atau kami harus menekan dalam-dalam apa yang kami inginkan? Sekadar menjadi piring yang menerima diisi apa pun, tanpa bisa memilih? Hingga kadang dada terasa sesak membayangkan kemungkinan itu.

Juga tentang keluarga, persahabatan dan pertemanan. Apakah kami telah begitu menyakiti, tanpa kami sadari? Atau justru kami yang sering kali tersakiti, tanpa kami sadari? Mencoba berbaik sangka di tengah nyata bahwa kami tak disuka? Atau semua hanya fatamorgana? Apakah yang terdekat selalu berpotensi nomor satu dalam menyayat? Semakin sesak mencoba menjawab pertanyaan itu. Terasa udara menjadi lebih dingin, seiring senja yang telah dijemput malam.

Pada sebuah bangku taman, yang jauh lebih setia, aku sering melakukan perjalanan terbesarku. Berdialog dengan dia, yang mungkin kamu sebut hati nurani, jiwa, roh, atau apalah. Ini tak semakin mudah. Walau semakin sering kamu melakukannya. Jika tak kuat, hanya nelangsa yang kamu dapat. Lebih berat adalah perdamaian-perdamaian yang harus kamu lakukan setelahnya. Mewajarkan setiap kesalahan yang tak bisa kamu hindari. Semua yang berawal dari salah memilih. Salah memilih perkataan, salah memilih sikap, salah memilih pasangan, salah memilih pergaulan, salah memilih pekerjaan dan salah memilih lainnya.

Yaa.. Pada bangku taman ini, raut wajahku berubah-ubah. Lalu semua selesai. Dalam satu atau mungkin dua jam. Sebelum seminggu kemudian, aku kembali datang.


Meta morfillah

[Review Buku] Tales of terror and mystery

Judul: Tales of terror and mystery
Penulis: Sir Arthur Conan Doyle
Penerjemah: Airien Kusumawardani
Penerbit: Bukune
ISBN: 602-220-067-9
Dimensi: 340 hlm; 14 x 20 cm

Terdapat 12 cerita pendek yang dimuat dalam buku ini. Kisah-kisah tersebut dibagi menjadi dua bagian.

Kisah-kisah Teror
1. Corong kulit
Menceritakan alat penyiksaan berupa corong berbahan kulit, yang mampu merekonstruksi peristiwa kejam zaman dulu.

2. Ruang bawah tanah baru
Kematian Mr. Kennedy di dalam ruang bawah tanah yang baru ditemukan oleh sahabatnya, Dr. Julius Burger.

3. Kasus Lady Sannox
Sang wanita penggoda yang tiba-tiba memutuskan menjadi biarawati.

4. Teror Blue John Gap
Misteri mengenai makhluk yang mendiami Blue John Gap dan menjadi penyebab hilangnya domba-domba di kawasan desa sekitarnya.

5. Kucing Brazil
Sepupu jauh yang tiba-tiba mengundangnya ke rumah, dan memiliki kucing Brazil.

6. Teror di ketinggian
Upaya penerbang ahli dalam mengungkap adanya hutan-hutan angkasa dan keberadaannya yang misterius, tiba-tiba menghilang.

Kisah-kisah misteri
1. Hilangnya kereta khusus
Bagaimana bisa, sebuah kereta khusus menghilang hanya dalam hitungan menit?

2. Si pemburu kumbang
Lamaran pekerjaan yang mencantumkan persyaratan aneh.

3. Lelaki dengan banyak jam
Misteri kematian lelaki dengan banyak jam di sebuah kereta penumpang.

4. Misteri kotak berhias
Suara wanita yang sering kali terdengar di malam hari, padahal tak pernah ada wujudnya di menara selatan.

5. Dokter berkulit hitam
Terbunuhnya Dr. Aloysius Lana yang menyebabkan saudara laki-laki mantan calon istrinya menjadi tersangka.

6. Pelat dada yahudi
Kisah 12 permata urim dan thummim yang berada di bawah penjagaan museum inggris.

Dari segi tampilan, kurang kuat pencitraan misterinya. Walau sudah diusahakan dengan adanya setangkai mawar merah dan kelopaknya yang berhamburan ditambah sebuah kotak hias. Kurang menarik, kalau saja saya tidak melihat nama penulisnya! Hahaha...

Dari segi isi, ada beberapa bagian yang membosankan di awal (entah karena pengaruh novel terjemahan, atau memang gaya menulis Doyle yang seperti ini?), tapi Doyle selalu berhasil membuat saya tercengang untuk twistnya. Masih ada beberapa kesalahan penulisan, seperti tidak ada spasi di sebuah baris kalimat dan typo. Tapi itu tidak mengurangi esensi cerita ini.

PoV yang digunakan untuk setiap cerita berbeda-beda. Ada yang poV 1, ada yang pov 3, ada pula yang campuran.

Kelebihan: deskripsi tokoh, setting, alur dan argumentasinya yang detil dan kuat menjadi ciri khas Doyle dalam menuliskan sebuah kasus.

Kekurangan: ada beberapa penggambaran yang agak sulit saya imajinasikan.

Bintang: 4,5 dari 5.

Meta morfillah

Beda

Langit tidak perlu bercerita atau mengumbar bahwa dirinya tinggi.

Sama seperti halnya manusia. Tidak perlu mulutmu berbusa-busa menjelaskan siapa dirimu. Sebab, mereka akan mampu menilai apa yang sudah kamu perbuat, bukan apa yang kamu rencanakan. Karena hidupmu adalah apa yang sedang terjadi padamu saat ini, di saat kamu sibuk merencanakan masa depan.

Tapi ada kalanya, mereka tidak mampu melihat sebenarnya dirimu. Seperti lazuardi yang jelas biru, namun terlihat merah di matanya. Mengapa? Sebab ia memakai kaca mata berlensa merah. Apa kamu masih akan ngotot menjelaskan warna lazuardi sebenarnya, selama ia memakai kaca mata itu? Bila iya, maka kamu akan sia-sia. Bodoh, namanya. Buang-buang energi. Lebih baik diamkan, berdoa semoga kaca matanya rusak, sehingga ia bisa mengganti yang lebih baik. Atau berdoa agar ada orang baik hati yang memberikan kaca mata berlensa jernih untuknya.

Kalau sudah begitu lebih baik kamu berkata, "Aku adalah sebagaimana prasangkamu."
Selesai urusan.

Mengapa? Sebab, terkadang lebih mudah menjadi apa yang diprasangkakan mereka, dibanding mengeluarkan energi lebih untuk meyakinkan bahwa kita tidak sesuai prasangka tersebut. Toh, seperti kalimat pembuka tadi, bahwa kita tidak perlu berkata apa adanya tentang diri kita, bila memang itulah kenyataannya. Mereka hanya sedang memakai kaca mata yang salah. Itu saja.

Tak perlu pusing memaksakan kehendak, atau pendapat. Teruslah berfokus pada perbaikan dan peninggian derajatmu. Teruslah mengejar ilmu, melangitkan pikiran dan membumikan hatimu. Dan ragam bisik-bisik yang melintas, abaikan saja. Suara-suara itu akan semakin membesar, mencari perhatianmu. Dan bila kamu sempat menoleh sedikit saja, ia akan meruntuhkan sepenggal keyakinanmu, bahkan mungkin seluruh harimu. Jadi... Abaikan saja.

Beda, antara kritik dan cacian. Antara nasihat dan niat menjatuhkan karena kecemburuan. Beda. Perbedaan itu terletak pada CARA MENYAMPAIKANnya. Sebab, segala hal baik yang bila disampaikan dengan cara yang tidak baik, hanya akan menghasilkan hal yang tidak baik. Bedakan.


Meta morfillah

[Review Buku] Bidadari yang mengembara

Judul: Bidadari yang Mengembara
Penulis: A. S. Laksana
Penerbit: GagasMedia
ISBN: 979-780-699-5
Dimensi: iv + 160 hlm; 13 x 19 cm

Merupakan kumpulan cerpen yang terdiri dari dua belas karya A. S. Laksana. Bergenre surealis.

Saya akan menuliskan inti tiap cerpen:
1. Menggambar Ayah
Bercerita tentang seorang aku yang berusaha mencari ayahnya dari kecil hingga dewasa. Lalu ia mulai menciptakan imajinasi dengan menggambar ayah.

2. Bidadari yang mengembara
Bercerita tentang Alit dan tukang urut, yang dikira bidadari.

3. Seorang ibu yang menunggu atau Sangkuriang
Bercerita tentang anak yang dipenuhi rasa ingin tahu tentang "Dari mana bayi keluar?" dan seorang ibu yang kesulitan menjelaskannya.

4. Burung di langit dan sekaleng lem
Bercerita tentang "aku", yang hidup dan menahan lapar dari sekaleng lem.

5. Seekor ular di dalam kepala
Bercerita tentang suami istri, Rob dan Lin. Lin mendapati seekor ular di dalam kepalanya dan upaya Rob mengeluarkan ular tersebut.

6. Telepon dari Ibu
Bercerita tentang Yun yang sedang hamil dan ibunya yang sudah pikun.

7. Buldoser
Bercerita tentang ayahnya Alit, yang selama hidup hingga matinya selalu dikejar buldoser.

8. Seto menjadi kupu-kupu
Bercerita tentang Seto yang melahap beragam jenis buku demi memikat seorang wanita. Lalu ia berubah menjadi kupu-kupu.

9. Bangkai anjing
Bercerita tentang ayah yang ditinggalkan istri dan ketiga anak lelakinya. Dan salah satu anaknya menempuh jalan hidup sebagai banci.

10. Rumah unggas
Bercerita tentang Seto yang mengganti air embun pagi ayahnya dengan air kakus. Dan Jono (ayah seto) yang gemar mengawinsilangkan unggas-unggas

11. Peristiwa pagi hari
Bercerita tentang Alit yang mengharap ayahnya memahami dirinya sebagai seorang lelaki, di setiap pagi hari.

12. Cerita tentang ibu yang dikerat
Bercerita tentang "Aku" (kakak Alit) yang memiliki ingatan terbatas tentang keluarganya. Tanpa sadar, bahwa ia yang telah menghancurkan keluarganya.

Secara cover: saya kurang suka, karena dipenuhi dengan tulisan full halaman. Berlatar pink. Seperti buku yang membosankan.

Secara isi: saya amat menyukai ide-ide Sulak yang sebenarnya sehari-hari, namun dia berhasil mengemasnya dengan apik. Alurnya lincah, sudut pandangnya menarik. Ciri khas Sulak adalah pada pergantian PoV (sudut pandang) yang begitu halus. Tanpa sadar memainkan logika kita, dari tokoh "aku" ke Alit, lalu balik lagi ke "aku" sebagai pencerita si Alit. Campurannya pas! Bahkan banyak sekali cerpennya yang bercerita "aku" tanpa pernah diterangkan siapa "aku" di sini. Pun penokohannya. Yang menjadi ciri khas Sulak adalah Alit dan Seto. Terutama Alit, ia menggunakannya di beberapa cerpen, tanpa ada keterkaitan. Alit yang diceritakan di cerpen satu tidak sama dengan Alit di cerpen dua. Surealis sekali, tapi berhasil meyakinkan saya bahwa kesemua itu logis. Dan mungkin terjadi.

Ditambah nukilan-nukilan dari kitab suci, dan beragam tulisan lainnya yang disertakan sebagai foot note. Terasa tidak mengganggu, dan membuat saya agak tercengang, mendapati Sulak memaknai sebuah peristiwa dalam ayat suci. "Wow... Gila!" Itu ekspresi saya tiap kali tersadar apa yang ia maksud.

Kelebihan: saya sangat suka penokohan dan sudut pandang yang digunakan. Judul yang dibuat pun, seringkali membuat saya bertanya di awal dan memunculkan ketertarikan. Sulak selalu menyampaikan secara implisit keterkaitan judul dengan isi cerpennya.

Kekurangan: hanya pada segi tampilan tadi.

Bintang: 5 dari 5.

Meta morfillah

[Review Buku] Tahta Mahameru


Judul: Tahta Mahameru
Penulis: Azzura Dayana
Penerbit: Republika
ISBN: 978-602-7595-002
Dimensi: viii + 380 halaman; 13,5 x 20,5 cm

Novel ini merupakan novel peraih penghargaan terbaik kedua "Lomba Novel Republika 2011". Juri yang terlibat adalah Asma Nadia, Salman Aristo dan Priyantono Oemar.
Menceritakan tentang 3 tokoh utama. Faras, gadis kutu buku asal desa Ranu Pane. Raja Ikhsan, pendaki gunung asal Jakarta yang memiliki dendam membara di dalam dadanya. Mareta, adik tiri Ikhsan, sang lone traveler yang berasal dari keluarga mapan di Jakarta.

Novel ini dibuka dengan pencarian Faras terhadap Ikhsan, sahabatnya yang menghilang tiga tahun tanpa kabar. Lalu tiba-tiba mengirimkan email berupa foto dan secarik kalimat yang membuatnya resah. Faras merasa harus menemukan Ikhsan, untuk menjawab tiga pertanyaan yang belum dijawab olehnya. Untuk menenangkan dan mencegah Ikhsan berbuat hal yang kemudian hari akan disesalinya.

Perjalanan lintas pulau, dari Jawa hingga Sulawesi ia lakoni. Hingga takdir memainkan perannya, ia bertemu dengan Mareta, adik tiri Ikhsan.

Dari ide cerita, menurut saya novel ini sangat biasa. Namun penulis mampu membuat saya bertahan dan terus melanjutkan membaca, disebabkan alur yang lincah. Ia berhasil membuat saya kepo. Pembukaan, twist, serta alur maju mundurnya cukup lihai. Hanya saja, agak disayangkan masih ada beberapa kesalahan penulisan. Semacam, tidak ada spasi di sebuah kalimat percakapan halaman 68. Dan untuk tokoh Faras, saya merasa terlalu absurd. Terlalu malaikat. Apa iya, ada tokoh seperti itu? Puas dengan pertemanan yang hanya bertemu tiga kali. Apa iya, langsung merasa dekat? Tidakkah ia terlalu keGRan? Penasaran ya? Baca aja bukunya.. Hehe

Untuk bumbu cinta, hmm.. Gimana ya. Agak datar sih. Untuk ending, saya agak kesal.. Sebenarnya Faras menikah dengan siapa? Penulisnya PHP-in saya #eeh.

Secara pengemasan, segi cover cukup memikat. Font dan ukurannya pas.

Kelebihan: bahasa yang digunakan cukup santun dan puitis. Novel ini sangat kuat di setting. Beberapa daerah dijelaskan dengan detail beserta sedikit penjelasan sejarahnya. Bahkan, daerah-daerah yang sangat ingin saya jelajahi disebut di dalamnya. Beserta deskripsi sensasinya. Agak menyebalkan untuk saya, membuat saya semakin ingin mengunjungi daerah tersebut. Ahahhaa..

Kekurangan: bisa dibilang, penulisnya adalah jama'ah Kahlil Gibran lovers. Melalui tokoh Faras, ada banyak kutipan Kahlil Gibran. Agak membuat jenuh dan terkesan menggurui sebenarnya.

Bintang: 3,5 dari 5

Meta morfillah

Risiko menjadi baik

Gambar diambil dari sini
Bunda bilang, selama empat hari Bunda menemaniku tidur, aku selalu mengigau dan menahan tangis. Suhu badanku memanas dan tidurku tak tenang. Tapi itu semua hanya terjadi ketika aku tertidur. Saat mataku terbuka, yang mereka lihat adalah aku yang sehat. Ceria dan tidak mengalami kendala apa pun. Kalau pun sedang drop fisikku, mereka hanya tahu aku sedang terserang flu. Bunda bilang, aku pemain teater yang hebat. Hingga bisa menipu banyak orang seperti itu. Apa iya?

Sebenarnya, apa yang kuimpikan? Mimpi burukkah? Aku bahkan tak dapat mengingatnya lagi. Tapi, seorang kawan baikku yang merupakan psikolog berkata, bahwa sebaiknya aku memaki sesekali. Marah meledak-ledak sesekali. Tidak perlu menahan. Sebab, apa yang terjadi adalah akumulasi atas apa yang kubilang "mencoba baik dan tidak apa-apa". Kawanku bilang, stigma "aku rapopo" itu racun. Bisa membuat gila. Sebab, tidak semua orang bisa berempati pada si "aku rapopo" bila ia tak mengatakan dengan lugas dan tegas bahwa dirinya tersakiti. Tidak semua orang bisa mengambil pelajaran dari hal lembut. Terkadang mereka harus dilempari batu untuk tahu. Dunia ini semakin individualis dan berkedok humanis. Nyatanya... Mereka semua adalah makhluk pragmatis.

Apakah menjadi baik, selalu menyakiti hatimu sendiri? Seperti saat dia mengingkari janjinya, membuatmu menunggu dalam hening dan dingin yang menusuk tulang di bawah salju yang merintik. Lalu seenaknya bilang, tidak dapat datang. Tanpa tahu, bahwa hidungmu memerah, telingamu berdenging, tulangmu gigil. Hampir pingsan. Lalu kamu hanya dapat menarik nafas panjang. Ini bukan kali pertamanya. Sudah seharusnya kamu sadar, bahwa ia selalu memulai sebuah harapan untuk kemudian dihancurkannya lagi. Keesokan harinya, kamu hanya mampu menjawab "Aku tidak apa-apa" sambil tersenyum. Diam. Malas bicara. Tapi itu tidak bertahan lama, karena kamu tak tega. Walau maaf pun tidak terucap dari mulutnya.

Pun dengan perkataan-perkataan lain, yang berasal dari mereka yang merasa berhak mencampuri hidupmu. Pernah suatu ketika, kamu berkata, "Berhenti. Aku tak suka dengan pembicaraan ini." Tapi mereka tetap melanjutkan. Sampai akhirnya kamu benar-benar diam, dan tak menganggap keberadaan mereka. Akhirnya mereka diam. Apa harus selalu diam, untuk membungkam?

Bunda memaksamu ke dokter. Tapi kamu tak mau. Alih-alih menyembuhkan, dokter hanya semakin menambah daftar panjang racun yang harus kamu minum. Kamu sendiri yang mengetahui sakitmu. Sakit fisik ini, berasal dari seonggok daging yang begitu rentan. Dilukai bukan oleh pedang, melainkan kata-kata. Bunda tak tahu. Tak perlu tahu. Selamanya, kamu adalah anak Bunda yang tegar, kuat dan tak pernah--boleh--mengeluh. Sebab, Bunda yang mengajarkan begitu. Bahkan, memaki pun kamu tak mampu.

Begitulah, risiko menjadi baik.

Meta morfillah

Anugerah atau kutukan LED merah?

Gambar diambil dari sini
"Cling"

Kupilih mode silent untuk meredam bunyi berisik itu. Tapi lampu LED berwarna merah yang berkedip-kedip beberapa detik, nampak seperti tangan yang melambai. Memaksamu mendatanginya. Menyebalkan! Seperti raja sekali dia!

Bukan hanya sekali. Ini sudah berkali-kali dan semakin menjadi. Bahkan semakin ramai menjelang tengah malam. Bahkan memilih untuk menonaktifkannya, tetap saja tak membuat mati lampu itu. Ketika kuaktifkan kembali ponselku, serbuan pesan, informasi di beragam media sosial itu seperti hujan yang tiba-tiba dan begitu deras. Gila!

Komunikasi memang semakin mudah. Tanpa perlu harus sinkronisasi waktu yang sama. Ribuan pesan itu dapat dibaca kapan saja. Tapi yang menyebalkan adalah, ketika kamu butuh ketenangan. Ponsel--yang katanya--pintar ini malah seperti kutukan. Kalau kumatikan jaringan mobilenya, ia akan menjadi seonggok benda rongsokan tak berguna. Tak lagi menjelma fitrahnya sebagai alat komunikasi. Kalau kuhidupkan, aku yang menjadi seonggok kemanusiaan yang terkapar di tengah derasnya arus informasi. Terasa sekali ragam informasi yang bila tidak bijak kamu pilah dan pilih, akan membunuhmu perlahan.

Parahnya lagi, manusia lain merasa wajar saja menghubungimu kapan saja. Tidak ada batasan jam. Tidak ada toleransi jam tidur, waktu libur, mereka tetap gencar menghubungimu hingga mendapatkan apa yang mereka mau. Sadis! Tega! *segala judul lagu Afgan keluar*

Saat kamu beribadah pun, lampu LED berwarna merah tersebut tetap menyala-nyala. Tak ada matinya. Rasanya, kedamaian dunia sudah tak ada lagi. Semua orang merasa berhak mencampuri yang bukan urusannya. Membuat yang jauh terasa dekat, padahal bertemu muka pun tidak. Semua palsu. Topeng belaka. Yang dekat menjadi jauh, sebab tahu bahwa itu semua topeng. Lalu semua lebih asyik memakai topengnya, hingga lupa kembali ke dunia nyata.

Hingga aku bermimpi, dunia dipenuhi lampu LED yang berwarna merah. Berkedip-kedip. Menyesaki semesta. Dunia yang luas, kini semakin kecil terasa. Ini anugerah, atau kutukan?


Meta morfillah

Ada anak kecil di dalam diriku

Gambar diambil dari sini
Ada anak kecil di dalam diriku.

Apa kamu bisa menerimanya?

Bila aku sedang tertawa, ia memekik riang. Mengajakku melonjak-lonjak bersama. Sampai aku lupa, bahwa aku adalah pribadi dewasa. Akan nampak kurang elegan bila terlalu ekspresif. Tapi.. Dia lebih hebat mempengaruhiku. Aku memilih dia daripada perkataan teman-temanku.

Bila aku sedang bersedih, ia menghiburku. Dengan nyanyian-nyanyian khas anaknya. Mendorongku untuk terus percaya, bahwa badai pasti berlalu, walau mungkin memorak-morandakan hidupku.

Aku senang sekali berbincang dengannya. Temanku bilang, kadang aku agak aneh. Sering berbicara sendiri. Padahal, tidak. Anak kecil itu nyata. Selalu bersamaku. Terutama saat aku disakiti. Ia adalah pembelaku yang pertama. Ia ingin sekali marah, namun aku menahannya. Mengalihkan perhatiannya dengan cerita atau mainan lain. Hingga reda amarahnya, lalu ia lupa.

Tapi, pernah.. Beberapa kali. Kala aku sudah tak kuasa menahan rasa sakit itu. Aku menuruti nasihatnya untuk menunjukkan kemarahanku. Walau hanya dengan mendiamkan, kecuali ada yg memfitnah atau mengatakan yang tidak-tidak tentang diriku tanpa dasar yang kuat, aku berani mengajaknya bertengkar. Sampai mati kalau perlu. Berani karena benar, takut karena salah. Itu prinsip yang diajarkan keluargaku.

Lalu bila aku lelah, ia akan lebih sensitif. Hanya dua kemungkinan, tetap tinggal di tempat yang nyaman, atau pergi sejauh mungkin, hingga bahkan takkan kembali. Ini yang berbahaya.

Apa kamu mampu menahan dirimu untuk anak kecil itu? Memberinya kenyamanan di saat ia begitu menyebalkan? Atau mungkin kamu akan melepaskannya, lalu ia hilang?

Hei.. Tunggu... Apakah hanya aku saja yang memiliki anak kecil di dalam diriku?

Mungkin saja kamu juga.
Barangkali, anak kecil di dalam diri kita bisa berkawan baik bukan?


Meta morfillah

[Cerpen] Punggung

Ini adalah kisah tentang punggung seseorang.
Gambar diambil dari siini


Seseorang yang kuimani sebagai masa depanku. Tanpa tahu, apakah dia mengimaniku sebagai masa depannya juga atau tidak. Bukankah iman tanpa pamrih? Demikian saja percaya, satu arah? Maka begitulah kusebut rasa ini, iman.

Jika kalian memulai mencintai seseorang dari wajahnya, suaranya, senyumnya, humornya, atau lainnya, tidak demikian halnya yang terjadi padaku. Aku mulai mencintainya dari punggung. Ya... Punggungnya. Ia selalu berada tepat di depanku. Persis seperti seorang imam. Walau aku hanya melihat punggungnya saja, tapi aku merasakan nyaman dan yakin bahwa ia mampu mengayomi, melindungi dan memberikan rasa aman, nyaman serta tenang padaku.

Aku jarang mengamati wajahnya. Selalu aku terpaku pada punggungnya, dan suaranya yang menjadi latar. Kami sering bertukar cerita dengan duduk berdampingan. Posisi yang kusukai. Sebab, ia akan duduk menatap lurus ke depan sembari bercerita. Dan aku akan memutar tubuhku sembilah puluh derajat ke arah jam sembilan. Tidak menatap wajahnya, tapi puas memandangi punggungnya, merekam bulat-bulat tanpa ia tahu. Ia mengira, aku melihat kejauhan, sesuatu di balik punggungnya. Dari mana aku tahu hal itu? Sebab, ia pernah menanyakan langsung padaku.

Kalian pasti bingung, mengapa aku begitu puas menatap punggungnya saja?

Sebab, saat ia bertemu denganku, sebuah cincin emas melingkari jari manis tangan kanannya. Yaa.. Ia sudah menjadi milik wanita lain.

Lantas, mengapa aku masih berani mengimaninya sebagai jodohku?

Sebab, sedikit pun tak kurasakan cinta pada nada suara, mimik wajah dan perilakunya saat menceritakan wanita itu. Ia hanya bertahan memakai cincin itu, sebagai konsekuensi atas keputusannya untuk tidak akan pernah menceraikan, kecuali istrinya menggugat cerai--yang menurutnya begitu bodoh. Lalu wanita itu--istrinya--juga tak berani menggugat. Sehingga hubungan mereka mendingin. Status quo. Masing-masing tak berani melangkah. Menyedihkan. Dan lebih menyedihkan adalah diriku, yang terpaku pada sosok punggung di hadapanku ini.

Tapi itu dulu. Tidak akan lagi ada aku yang bodoh setelah hari ini. Aku telah memutuskan, semua harus dicukupkan sampai sini saja. Aku akan kembali tanpa pernah menatap punggung itu lagi.


*NB: Adegan melepas kepergian di bandara itu memang klise. Tapi, untuk saat ini, aku sangat menginginkan hal klise itu terjadi padaku. Nyatanya, masih saja aku berharap di antara punggung-punggung yang berlalu lalang di bandara ini, ada satu punggung yang kuhafal lekat di luar kepalaku. Punggungnya.


Meta morfillah

08 May, 2014

[Cerpen] Dunia di Kepala Kakek


Meta morfillah


Gadis menatap keliling restoran cepat saji yang penuh dengan orang-orang asing—yang tak dikenalnya—dengan antusias. Mengamati perilaku manusia selalu menarik baginya. Bahkan dalam satu ruangan dengan tujuan yang sama, tidak pernah ada perilaku yang sama dari seorang individu. Ia merekam semua itu dalam kepalanya, agak gemas ketika mendapati ia lupa membawa notes yang biasa dibawanya. Pun gadget yang biasa digunakan untuk menuliskan ide-ide, malah mati di saat yang tidak tepat. Ya… ia senang menulis. Menulis gumaman-gumaman yang lebih merupakan pertanyaan daripada pernyataan. Namun ia tak pernah mengharapkan jawabannya. Karena ia tahu tidak semua hal membutuhkan jawaban. Ada hal-hal yang hanya perlu kaunikmati. Semacam iman. Percaya saja.
Segelas air jeruk di samping kirinya menanti kecupan bibirnya yang penuh. Mungkin bila sang gelas dapat berbicara, ia akan memprotes Gadis. Bayangkan saja, sudah setengah jam gelas itu hanya diam bertengger serupa pajangan di meja makan. Sejak diambil dari kawanan gelas lainnya, sang gadis belum berniat untuk menyentuhnya sedikit pun—tampaknya. Sayangnya, gelas itu tak berwajah sehingga tak dapat menampakkan wajah cemberutnya karena diabaikan.
Kembali pada sang gadis, posisinya masih sama. Hanya wajahnya yang berubah-ubah—seperti bunglon. Kadang tersenyum, kadang alisnya mengerut serius, kadang bibirnya mengerucut bingung—tiap menitnya. Hei, matanya menatap pada satu titik. Kalian lihat titik itu? Ya, pada kakek berkulit putih yang tengah memakan burger dan kentang di meja arah pukul satu. Alis Gadis mengernyit. Heran, mengamati tangan kiri sang kakek yang masih berlumuran oli. Di restoran yang demikian bersih, di negara yang demikian modern seperti ini, masih saja ada orang jorok. Apa tidak bisa cuci tangan dahulu? Eh, mengapa aku jadi ikut campur masalah pribadi orang? Gadis menahan senyumnya yang terbit karena pikiran bodohnya barusan.
Perhatian Gadis kembali terpusat pada kakek berkulit putih itu. Kakek itu begitu menarik. Seperti anomali di antara banyaknya pengunjung restoran cepat saji tersebut. Dengan rambutnya yang panjang, diikat walau agak terurai di keningnya, bergaya seperti cowboy dengan topi yang begitu khas dan jaket jeans yang kebesaran. Koran di sebelah kirinya tak dibaca, namun digelar sedemikian rupa. Apa sebenarnya yang ada dalam pemikiran kakek itu? Gadis membayangkan dunia yang ada di dalam kepala kakek. Berapa usianya? Enam puluh? Tujuh puluh? Mengapa ia duduk sendirian? Apa saja yang telah dilewatinya? Apakah ia lebih sering memiliki takdir pada pertemuan? Ataukah perpisahan?
Melihat raut wajahnya yang kurang ramah, Gadis menyimpulkan dengan sok tahu bahwa hidup kakek itu demikian berat. Hingga tersenyum pun nampak sulit baginya. Mungkin lengkungan setengah lingkaran tersebut tak cocok pada wajah lonjong persegi kakek tersebut. Kali ini Gadis tertawa kecil sehingga badannya sedikit berguncang, tanpa melepaskan tatapannya pada sang kakek. Tersadar dirinya diperhatikan, kakek tersebut tiba-tiba mengangkat pandangan matanya menuju mata Gadis. Lurus. Tepat sasaran. Tajam. Membuat Gadis cepat-cepat membuang pandangannya ke arah jendela di sebelah kanannya. Hatinya berdebar. Takut. Dari ekor matanya yang sebelah kiri, Gadis mengunci tatapannya pada sang kakek. Bersiap untuk kabur bila ada pergerakan di sana. Satu… dua… tiga.. Selama tiga puluh detik yang menegangkan, kakek tersebut akhirnya memandang kembali pada kentang di hadapannya. Fyuuhh… tidak lucu bila di negeri orang yang begitu asing ini, aku diomeli dengan bahasa yang bahkan tak kukuasai! batin Gadis. Untunglah, tak lama kedua temannya kembali dari berbelanja dan duduk pada dua kursi di hadapannya. Memperhatikan perilaku manusia, selalu menarik bagi Gadis. Hingga ia lupa waktu yang terbunuh karenanya.

**Iseng ikut permainan cerita gambar dari Mas Yayan

06 May, 2014

Guru Terbaik

Apakah Anda ingat akan guru terbaik anda pada masa sekolah, guru yang memberi inspirasi bagi anda untuk belajar dan mengerjakan yang terbaik?

Guru tersebut memberi tantangan bagi anda untuk maju, lebih dari guru-guru lain. Awalnya, mungkin tantangan ekstra itu terasa tidak adil, atau malah kejam. Tetapi sekarang anda seakan memandang berbeda. Anda memandangnya dengan rasa hormat dan percaya, bahwa karena tantangan itulah anda bisa maju.

Saat ini ada guru hebat yang masih mengajar anda. Ia adalah “kehidupan”.

Kehidupan adalah guru yang terbaik. Tapi pelajarannya sering terasa keras, tajam, dan kadang kejam. Di sana ada kekecewaan, kesedihan, kebingungan, kesendirian, dan frustasi dalam setiap pengajarannya.

Pelajaran dari kehidupan adalah keras, tetapi karenanya kita memperoleh pelajaran dan pertumbuhan terbesar. Kehidupan menantang kita dan mendorong kita lebih tinggi. Ia membantu menyingkapkan karakter sejati kita, dan dengan cara itu mendorong kita membangun karakter yang lebih kuat.

Di luar segala pelajaran itu, renungkanlah. Guru yang paling mencintai dan memelihara kita itu telah membangun yang terbaik dari diri kita. Mungkin kita sekarang tidak menghargainya, tetapi akan tiba harinya anda akan bersyukur. Sama seperti kita bersyukur atas guru sekolah kita terdahulu.

Text Widget