Pages

08 May, 2014

[Cerpen] Dunia di Kepala Kakek


Meta morfillah


Gadis menatap keliling restoran cepat saji yang penuh dengan orang-orang asing—yang tak dikenalnya—dengan antusias. Mengamati perilaku manusia selalu menarik baginya. Bahkan dalam satu ruangan dengan tujuan yang sama, tidak pernah ada perilaku yang sama dari seorang individu. Ia merekam semua itu dalam kepalanya, agak gemas ketika mendapati ia lupa membawa notes yang biasa dibawanya. Pun gadget yang biasa digunakan untuk menuliskan ide-ide, malah mati di saat yang tidak tepat. Ya… ia senang menulis. Menulis gumaman-gumaman yang lebih merupakan pertanyaan daripada pernyataan. Namun ia tak pernah mengharapkan jawabannya. Karena ia tahu tidak semua hal membutuhkan jawaban. Ada hal-hal yang hanya perlu kaunikmati. Semacam iman. Percaya saja.
Segelas air jeruk di samping kirinya menanti kecupan bibirnya yang penuh. Mungkin bila sang gelas dapat berbicara, ia akan memprotes Gadis. Bayangkan saja, sudah setengah jam gelas itu hanya diam bertengger serupa pajangan di meja makan. Sejak diambil dari kawanan gelas lainnya, sang gadis belum berniat untuk menyentuhnya sedikit pun—tampaknya. Sayangnya, gelas itu tak berwajah sehingga tak dapat menampakkan wajah cemberutnya karena diabaikan.
Kembali pada sang gadis, posisinya masih sama. Hanya wajahnya yang berubah-ubah—seperti bunglon. Kadang tersenyum, kadang alisnya mengerut serius, kadang bibirnya mengerucut bingung—tiap menitnya. Hei, matanya menatap pada satu titik. Kalian lihat titik itu? Ya, pada kakek berkulit putih yang tengah memakan burger dan kentang di meja arah pukul satu. Alis Gadis mengernyit. Heran, mengamati tangan kiri sang kakek yang masih berlumuran oli. Di restoran yang demikian bersih, di negara yang demikian modern seperti ini, masih saja ada orang jorok. Apa tidak bisa cuci tangan dahulu? Eh, mengapa aku jadi ikut campur masalah pribadi orang? Gadis menahan senyumnya yang terbit karena pikiran bodohnya barusan.
Perhatian Gadis kembali terpusat pada kakek berkulit putih itu. Kakek itu begitu menarik. Seperti anomali di antara banyaknya pengunjung restoran cepat saji tersebut. Dengan rambutnya yang panjang, diikat walau agak terurai di keningnya, bergaya seperti cowboy dengan topi yang begitu khas dan jaket jeans yang kebesaran. Koran di sebelah kirinya tak dibaca, namun digelar sedemikian rupa. Apa sebenarnya yang ada dalam pemikiran kakek itu? Gadis membayangkan dunia yang ada di dalam kepala kakek. Berapa usianya? Enam puluh? Tujuh puluh? Mengapa ia duduk sendirian? Apa saja yang telah dilewatinya? Apakah ia lebih sering memiliki takdir pada pertemuan? Ataukah perpisahan?
Melihat raut wajahnya yang kurang ramah, Gadis menyimpulkan dengan sok tahu bahwa hidup kakek itu demikian berat. Hingga tersenyum pun nampak sulit baginya. Mungkin lengkungan setengah lingkaran tersebut tak cocok pada wajah lonjong persegi kakek tersebut. Kali ini Gadis tertawa kecil sehingga badannya sedikit berguncang, tanpa melepaskan tatapannya pada sang kakek. Tersadar dirinya diperhatikan, kakek tersebut tiba-tiba mengangkat pandangan matanya menuju mata Gadis. Lurus. Tepat sasaran. Tajam. Membuat Gadis cepat-cepat membuang pandangannya ke arah jendela di sebelah kanannya. Hatinya berdebar. Takut. Dari ekor matanya yang sebelah kiri, Gadis mengunci tatapannya pada sang kakek. Bersiap untuk kabur bila ada pergerakan di sana. Satu… dua… tiga.. Selama tiga puluh detik yang menegangkan, kakek tersebut akhirnya memandang kembali pada kentang di hadapannya. Fyuuhh… tidak lucu bila di negeri orang yang begitu asing ini, aku diomeli dengan bahasa yang bahkan tak kukuasai! batin Gadis. Untunglah, tak lama kedua temannya kembali dari berbelanja dan duduk pada dua kursi di hadapannya. Memperhatikan perilaku manusia, selalu menarik bagi Gadis. Hingga ia lupa waktu yang terbunuh karenanya.

**Iseng ikut permainan cerita gambar dari Mas Yayan

No comments:

Post a Comment

Text Widget