Gadis menatap keliling restoran cepat
saji yang penuh dengan orang-orang asing—yang tak dikenalnya—dengan antusias.
Mengamati perilaku manusia selalu menarik baginya. Bahkan dalam satu ruangan
dengan tujuan yang sama, tidak pernah ada perilaku yang sama dari seorang
individu. Ia merekam semua itu dalam kepalanya, agak gemas ketika mendapati ia
lupa membawa notes yang biasa dibawanya. Pun gadget yang biasa digunakan untuk menuliskan ide-ide, malah mati di
saat yang tidak tepat. Ya… ia senang menulis. Menulis gumaman-gumaman yang
lebih merupakan pertanyaan daripada pernyataan. Namun ia tak pernah
mengharapkan jawabannya. Karena ia tahu tidak semua hal membutuhkan jawaban. Ada
hal-hal yang hanya perlu kaunikmati. Semacam iman. Percaya saja.
Segelas air
jeruk di samping kirinya menanti kecupan bibirnya yang penuh. Mungkin bila sang
gelas dapat berbicara, ia akan memprotes Gadis. Bayangkan saja, sudah setengah
jam gelas itu hanya diam bertengger serupa pajangan di meja makan. Sejak
diambil dari kawanan gelas lainnya, sang gadis belum berniat untuk menyentuhnya
sedikit pun—tampaknya. Sayangnya, gelas itu tak berwajah sehingga tak dapat
menampakkan wajah cemberutnya karena diabaikan.
Kembali pada
sang gadis, posisinya masih sama. Hanya wajahnya yang berubah-ubah—seperti
bunglon. Kadang tersenyum, kadang alisnya mengerut serius, kadang bibirnya
mengerucut bingung—tiap menitnya. Hei, matanya menatap pada satu titik. Kalian lihat
titik itu? Ya, pada kakek berkulit putih yang tengah memakan burger dan kentang
di meja arah pukul satu. Alis Gadis mengernyit. Heran, mengamati tangan kiri
sang kakek yang masih berlumuran oli. Di restoran yang demikian bersih, di
negara yang demikian modern seperti ini, masih saja ada orang jorok. Apa tidak bisa cuci tangan dahulu? Eh,
mengapa aku jadi ikut campur masalah pribadi orang? Gadis menahan senyumnya
yang terbit karena pikiran bodohnya barusan.
Perhatian Gadis
kembali terpusat pada kakek berkulit putih itu. Kakek itu begitu menarik. Seperti
anomali di antara banyaknya pengunjung restoran cepat saji tersebut. Dengan rambutnya
yang panjang, diikat walau agak terurai di keningnya, bergaya seperti cowboy dengan topi yang begitu khas dan
jaket jeans yang kebesaran. Koran di sebelah kirinya tak dibaca, namun digelar
sedemikian rupa. Apa sebenarnya yang ada
dalam pemikiran kakek itu? Gadis membayangkan dunia yang ada di dalam
kepala kakek. Berapa usianya? Enam puluh?
Tujuh puluh? Mengapa ia duduk sendirian? Apa saja yang telah dilewatinya? Apakah
ia lebih sering memiliki takdir pada pertemuan? Ataukah perpisahan?
Melihat raut wajahnya
yang kurang ramah, Gadis menyimpulkan dengan sok tahu bahwa hidup kakek itu
demikian berat. Hingga tersenyum pun nampak sulit baginya. Mungkin lengkungan
setengah lingkaran tersebut tak cocok pada wajah lonjong persegi kakek
tersebut. Kali ini Gadis tertawa kecil sehingga badannya sedikit berguncang,
tanpa melepaskan tatapannya pada sang kakek. Tersadar dirinya diperhatikan,
kakek tersebut tiba-tiba mengangkat pandangan matanya menuju mata Gadis. Lurus.
Tepat sasaran. Tajam. Membuat Gadis cepat-cepat membuang pandangannya ke arah
jendela di sebelah kanannya. Hatinya berdebar. Takut. Dari ekor matanya yang
sebelah kiri, Gadis mengunci tatapannya pada sang kakek. Bersiap untuk kabur
bila ada pergerakan di sana. Satu… dua… tiga.. Selama tiga puluh detik yang
menegangkan, kakek tersebut akhirnya memandang kembali pada kentang di
hadapannya. Fyuuhh… tidak lucu bila di
negeri orang yang begitu asing ini, aku diomeli dengan bahasa yang bahkan tak
kukuasai! batin Gadis. Untunglah, tak lama kedua temannya kembali dari
berbelanja dan duduk pada dua kursi di hadapannya. Memperhatikan perilaku
manusia, selalu menarik bagi Gadis. Hingga ia lupa waktu yang terbunuh
karenanya.
**Iseng ikut permainan cerita gambar dari Mas Yayan
No comments:
Post a Comment