Pages

13 May, 2014

[Cerpen] Punggung

Ini adalah kisah tentang punggung seseorang.
Gambar diambil dari siini


Seseorang yang kuimani sebagai masa depanku. Tanpa tahu, apakah dia mengimaniku sebagai masa depannya juga atau tidak. Bukankah iman tanpa pamrih? Demikian saja percaya, satu arah? Maka begitulah kusebut rasa ini, iman.

Jika kalian memulai mencintai seseorang dari wajahnya, suaranya, senyumnya, humornya, atau lainnya, tidak demikian halnya yang terjadi padaku. Aku mulai mencintainya dari punggung. Ya... Punggungnya. Ia selalu berada tepat di depanku. Persis seperti seorang imam. Walau aku hanya melihat punggungnya saja, tapi aku merasakan nyaman dan yakin bahwa ia mampu mengayomi, melindungi dan memberikan rasa aman, nyaman serta tenang padaku.

Aku jarang mengamati wajahnya. Selalu aku terpaku pada punggungnya, dan suaranya yang menjadi latar. Kami sering bertukar cerita dengan duduk berdampingan. Posisi yang kusukai. Sebab, ia akan duduk menatap lurus ke depan sembari bercerita. Dan aku akan memutar tubuhku sembilah puluh derajat ke arah jam sembilan. Tidak menatap wajahnya, tapi puas memandangi punggungnya, merekam bulat-bulat tanpa ia tahu. Ia mengira, aku melihat kejauhan, sesuatu di balik punggungnya. Dari mana aku tahu hal itu? Sebab, ia pernah menanyakan langsung padaku.

Kalian pasti bingung, mengapa aku begitu puas menatap punggungnya saja?

Sebab, saat ia bertemu denganku, sebuah cincin emas melingkari jari manis tangan kanannya. Yaa.. Ia sudah menjadi milik wanita lain.

Lantas, mengapa aku masih berani mengimaninya sebagai jodohku?

Sebab, sedikit pun tak kurasakan cinta pada nada suara, mimik wajah dan perilakunya saat menceritakan wanita itu. Ia hanya bertahan memakai cincin itu, sebagai konsekuensi atas keputusannya untuk tidak akan pernah menceraikan, kecuali istrinya menggugat cerai--yang menurutnya begitu bodoh. Lalu wanita itu--istrinya--juga tak berani menggugat. Sehingga hubungan mereka mendingin. Status quo. Masing-masing tak berani melangkah. Menyedihkan. Dan lebih menyedihkan adalah diriku, yang terpaku pada sosok punggung di hadapanku ini.

Tapi itu dulu. Tidak akan lagi ada aku yang bodoh setelah hari ini. Aku telah memutuskan, semua harus dicukupkan sampai sini saja. Aku akan kembali tanpa pernah menatap punggung itu lagi.


*NB: Adegan melepas kepergian di bandara itu memang klise. Tapi, untuk saat ini, aku sangat menginginkan hal klise itu terjadi padaku. Nyatanya, masih saja aku berharap di antara punggung-punggung yang berlalu lalang di bandara ini, ada satu punggung yang kuhafal lekat di luar kepalaku. Punggungnya.


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget