"Komunikasi kami gak intens, bahkan ketemu pas dia lembur. Aku bantuin
kerjaan dia. Baru kita makan bareng. Paling banter bbm doang, nanya udah
sampai rumah atau belum. Kagak ada kata-kata romantis dibandingkan dulu
sama pacar-pacar aku. Ngantar jemput juga gak. Dan aku sendiri bukan
tipikal wanita manja yang menuntut prianya untuk selalu ada. Tapi aku
nyaman dan aku suka cara dia merhatiin dan membimbing aku. Dia tahu mau
ke arah mana. Itu baru namanya lelaki."
Dialog di atas, adalah intisari sebuah percakapan saya dengan seorang kawan. Agak saya modif, namun itulah intinya. Menarik!
Mendengar curhatan dia seperti itu, tiba-tiba saja otak saya
menyimpulkan satu hal dan mengucapkannya tanpa sadar melalui mulut saya.
Sering sekali saya seperti ini, berucap dan menulis sesuatu hal begitu
saja. Seperti ada kekuatan lain yang lebih berkuasa menuntun saya.
"Di usia kita yang hampir seperempat abad seperti ini, romantis
bukanlah lagi mengenai kata-kata, atau pun seberapa intens kamu
berkomunikasi dengannya. Seperti, tiap jam harus lapor, makan harus
diingatkan, dan lainnya. Mungkin kita sudah bosan dan kurang perlu
hal-hal dangkal seperti itu. Yang kita cari adalah partner dalam segala
hal. Partner yang sebenar-benarnya. Memahami load pekerjaan kita, life
style hidup kita, kebiasaan kita, cara kita menghadapi masalah, atau
mencari hiburan. Bahkan, kadang kita ingin tetap ada kebebasan sebagai
individu dan tetap memiliki waktu dengan teman-teman tanpa melupakan ada
haknya pasangan. Itulah yang kadang dilupakan. Intinya adalah kepekaan.
Bahkan, bila terlalu dikekang erat, itu hanya membuat sesak.
Membosankan bila seumur hidup hanya tahu tentangnya. Padahal kita butuh
partner dalam segala hal. Partner in love, partner in crime, partner in
doing silly things, partner to laugh together, etc."
Temanku terdiam. Alisnya bertaut, agak mengerut. Matanya menerawang
jauh. Dengan suara lirih, dia berkata, "Yaa... Sepertinya kamu benar.
Itulah yang kita cari. Seseorang yang peka pada kebutuhan kita. Saat
sedang jenuh, stress, dia tahu bagaimana bersikap. Mungkin dengan
sedikit memberi waktu bagi kita untuk merenung. Tak memaksa dan terlalu
mengontrol."
"Persis seperti layang-layang. Sebuah hubungan harus ada tarik-ulur.
Terlalu kencang, akan putus. Terlalu diulur, akan menjauh dan digaet
layangan lain."
"Yeah.. Lagi-lagi kamu benar."
Saya hanya tersenyum simpul. Bahkan, saya sendiri takjub akan apa
yang barusan saya katakan. Sering sekali seperti itu. Mulut dan jari
saya seperti bukan milik saya. Entah, kekuatan apa yang menggerakkan
mereka untuk berujar dan menuliskan hal-hal hebat.
"Hei, padahal kulihat kamu tak pernah punya pengalaman membangun
hubungan lelaki-wanita. Tetapi, mengapa kamu paham sekali semua jenis
hubungan, seperti kamu sudah mengalaminya?"
"Hahaha... Mungkin sama dengan analoginya orang saleh yang menggambarkan surga dan neraka, padahal ia belum pernah mati."
"Wow... Kamu seperti sudah mengalami ribuan jenis hubungan dan masalah di dalamnya."
"Spongebob bilang, itu adalah kekuatan IMAJINASI."
"Hahaha.. Spongebob? Tokoh kartun konyol yang bahkan tidak lucu itu!
Saat seperti ini, barulah aku percaya ini dirimu. Dengan keluguanmu
yang seperti bocah."
Bocah, dia bilang? Huuff... Lebih baik saya melanjutkan makan saja. Percakapan selesai.
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment