Pages

21 May, 2014

Bulan (per)cobaan

Bulan ini benar-benar bulan ujian. Allah mengujiku secara fisik dan psikis. Secara fisik, berkali-kali aku dibuat jatuh sakit di luar kuasaku. Sedemikian ketatnya menjaga pola makan, tapi sakit kambuhan, sakit wanita, kaki terlindas mobil dan terakhir sakit mata karena saya bersentuhan fisik saat memakaikan obat pada penghuni rumah. Semoga saja setelahnya, tidak ada lagi penyakit. Sembuh sesembuhnya. Sebab, sakit itu amat tidak enak. Saya sangat tidak betah beristirahat, dipaksa bed rest, berkali-kali tidak masuk kantor, sementara pikiran saya mengembara ke sana. Seperti mendua. Dan saya sangat membenci perilaku mendua. Tubuhmu di sini, namun pikiranmu di sana.

Secara psikis, Allah menguji kontrol diri, emosi dan sikap saya terhadap ragam karakter dan orang-orang terdekat. Beberapa kasus terjadi, yang tak pernah saya bayangkan akan menimpa atau berasal dari orang-orang terdekat, nyatanya mewujud. Ternyata hidup saya jauh lebih sinetron dibandingkan script sinetron. Semakin saya meminta kebijakanNya untuk masalah yang saya hadapi, anehnya, Allah memberikan jalan untuk saya menjadi pendengar. Bukan menyelesaikan masalah saya, namun menyadarkan saya dengan mempertemukan ragam manusia yang juga dipenuhi masalah. Ada yang jauh lebih berat masalahnya, ada pula yang sebenarnya tidak masalah, hanya saja individu tersebut belum mampu menyelesaikan persoalan hidupnya. Membukakan mata saya--walau saat mengetikkan kalimat ini, mata saya setengah memejam karena bengkak dan sedang memakai salep, jadi tidak dapat melihat/membuka dengan jelas.--bahwa kedewasaan tiap orang berbeda kadarnya. Memaksa saya berpikir, pernah ada masa-masa bagi saya sesuatu itu begitu sulit, namun di lain masa, sesuatu itu menjadi terlalu mudah dan konyol bila saya melihat dari sudut pandang saya berdiri kini.

"Nak, matamu sedang sakit begitu, jangan memaksa membaca atau menulis, apalagi memikirkan pekerjaan." Bunda gemas melihat tingkahku seharian, yang begitu sibuk memohon kesembuhan, dan tetap melakukan aktivitas--walau tidak berat--yang sebenarnya tak boleh dilakukan saat matamu sedang bengkak, belekan, merah dan sulit membuka, seperti ditonjok dan lebam.

"Bunda, bagaimana aku bisa santai dan bersenang hati dalam keadaanku. Apa Bunda ingat, dari mana kekeraskepalaanku ini berasal?"

"Huuff..." Bunda menyerah, "Ya, memang kalau sudah tanggung jawab, akan selalu terpikir dan rasanya ingin menuntaskan. Sebab pekerjaanmu itu adalah amanah. Kita bekerja karena ibadah, dan tak ingin mengecewakan orang lain. Jangan sampai menggigit tangan orang yang memberi kita makan."

"Nah, itulah Bunda. Dan aku sangat tidak ingin membuat pemakluman sakit untuk diriku. Aku sangat tidak ingin mengecewakan orang lain, meski arti hadirku tidak begitu bernilai bagi mereka. Ingatlah Bunda, darahmu mengalir padaku. Sebagian sifatmu, keteguhanmu, kekeraskepalaanmu pun menurun padaku, tanpa aku dan kau sadari."

"Istirahatlah, agar besok kamu bisa memaksa dirimu kembali pada rutinitasmu. Teruslah seperti itu, meski menyebalkan. Sebab itulah pembeda kita dengan manusia lain. Sampai titik darah penghabisan. Itulah batas kesabaranmu."

Pandangan mataku semakin kabur karena salep mata ini. Mungkin Bunda benar, sebaiknya aku lekas menuruti reaksi CTM dan obat lain yang baru saja kuminum lima belas menit lalu. Reaksi yang memaksaku memasuki gerbang mimpi.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget