Pages

31 March, 2015

Gadis dan hujan (8)

Semenjak kantornya pindah ke gedung berupa mall, gadis itu tak lagi menikmati sajian langit. Ia tak tahu pergantian suasana langit, hingga waktunya pulang. Suara teman akrabnya pun--sang hujan--tak lagi terdengar. Teredam tembok kokoh mall tersebut. Tak lagi ia dapat menikmati petrichor apalagi berbincang mesra dengan sang hujan. Maka, saat ia menemui hujan di kotanya, betapa berbahagianya ia. Disapanya dengan semangat sahabat lama yang sudah jarang bersua.

"Hai, aku rindu."

Belum sempat hujan menjawab, gadis sudah melanjutkan celotehnya.

"Ada banyak hal yang ingin kuceritakan padamu. Ada banyak hal yang terjadi selama kita tak bertemu. Ada banyak hal yang kurenungkan, kusadari, dan kuputuskan. Kembali aku diuji dengan keputusan-keputusan cepat dan tepat. Tanpa memikirkan egoku. Tanpa mencari pembenaran. Pada hal-hal yang kusukai, aku mulai mencari-cari hal buruknya. Pada hal-hal yang tidak aku sukai, aku mulai membayangkan hal-hal baik tentangnya. Begitulah."

Hujan paham. Kawannya sedang butuh telinga. Cukup dengarkan saja. Ini adalah pembicaraan monolog. Ia hanya menjadi saksi. Bahkan tak heran, bila temannya asyik mencerocos hingga lega perasaannya, tanpa memerlukan pendapat hujan.

"Kautahu, terkadang menjadi bungsu perempuan tak pernah kuinginkan. Berkali mereka mengingatkanku bahwa aku adalah penjaga rumah, mama dan kakakku yang luar biasa. Terlebih karena aku masih sendiri, belum menikah. Masalahku belumlah pelik, kata mereka. Dulu, aku keras kepala. Menertawakan kata-kata mereka. Merasa bahwa orang tua, keluargaku tak seperti anggapan mereka. Aku tetap akan bebas, tak peduli aku bungsu, wanita, dan belum menikah. Hingga kusadari, saat lelaki itu datang dan menawarkan kehidupan baru di tanah baru. Tanah yang belum pernah kujejak dan kukenali. Keluargaku memang tak menolak tegas. Tetapi... berbagai pertimbangan masuk akal dan pada akhirnya aku harus memilih surgaku di telapak kaki mama. Tak jauh dari Jakarta. Sejak saat itu, aku paham... aku harus mencari yang dekat."

Suara sang gadis agak tercekat. Berhenti sejenak, mengambil nafas untuk melanjutkan.

"Kukira, sampai di sana saja hal yang harus kusadari. Tapi ternyata... masih ada kejutan besar menantiku. Aku kembali dihadapkan, memilih karir sebagai aktualisasi diri ataukah keluarga yang hanya sekali dalam hidup kumiliki. Berkali, aku merasa masih bisa normal seperti wanita kota pada umumnya. Hingga mamaku jatuh sakit. Sebuah kesadaran besar menggodam kepalaku. Apakah aku siap untuk kehilangan lagi? Meski sejatinya, aku tak pernah memiliki apa-apa. Kucoba mencari jalan terbaik. Hanya saja, terbaik itu belum tentu baik bagi diri kita. Maka, keputusannya adalah aku harus membaktikan diri dan hijrah secara kaffah. Menyeluruh. Tidak setengah-setengah. Meski godaan kembali ke kota kelahiran semakin banyak. Tuhan seperti sedang mengujiku, dengan memvalidasi niatku. Aku seperti mainannya. Dipantul-pantulkan ke arah yang Tuhan inginkan. Hingga detik ini, aku tak mengerti apakah keputusanku tepat atau kembali emosional seperti kata orang? Tapi, sejak kapan aku peduli kata orang? Toh... mereka tak membantuku saat aku butuh dan susah. Ini hidupku. Mereka hanya bisa mengintervensi, keputusan tetap padaku. Meski ada sebagian diriku berontak dan belum ikhlas..."

Mata sang gadis berkaca-kaca. Lalu hening yang cukup membuat jengah. Hingga hujan memecahnya dengan berkata, "Mari pulang."

Meta morfillah

25 March, 2015

Anak kecil dan hal yang belum selesai

Selalu kupikir bahwa aku tegar, aku tak pernah menyangka akan begini. Ternyata, ada hal-hal yang belum selesai. Tepatnya belum berhasil kuselesaikan. Anak kecil di dalam diriku kini meraksasa. Kecemasannya, ketakutannya, keraguannya pada dunia kian mengkhawatirkan. Kali ini, aku tak mampu membendungnya. Ia meronta hebat.

"Bagaimana kalau aku kehilangan lagi? Aku sudah tahu rasanya kehilangan bapak! Sekarang, aku tidak mau kehilangan mama dengan penyesalan karena aku tak mampu menghadiahkan waktu dan diriku dalan versi terbaik untuknya!"

Bahkan orang dewasa dalam diriku yang begitu positif dan memiliki banyak ungkapan bijak, tak mampu melerai amarah dan ketakutan anak kecil tersebut.

"Aku tak punya apa-apa. Aku hanya punya waktu dan diriku. Itulah hidupku. Aku merupakan penggalan pagi, siang dan malam. Bukan uang. Diriku, hidupku adalah kumpulan helai nafas. Hidupku berpacu dengan waktu. Bukan uang. Jadi, menjauhlah dariku bila kau mengukur kesuksesan dari banyaknya uang. Sebab, bagiku kekayaan adalah saat waktumu berkah dan bermanfaat untuk banyak hal."

Anak kecil itu terus meronta dan berteriak. Kata-katanya begitu bijak, membuat orang dewasa dalam diriku terdiam.

Ternyata, saat bapaknya meninggalkan dia di usia muda... ia yang terlihat begitu tegar dan berhasil menahan rintik air mata, menyimpan luka. Ia tak menyadarinya, hingga Tuhan menguji dengan ibunya yang ditimpa sakit. Seberapa pun sering ia melakukan simulasi dalam bayangannya, akan suatu hari di mana ia akan ditinggalkan ibunya selamanya, nyatanya tetap berbeda. Ia tak mampu menjadi waras saat kenyataan ada di hadapannya. Pikirannya tertutup awan hitam tebal. Segalanya menghilang. Yang ia pikirkan hanya satu, bagaimana mengabdi pada ibunya. Mengenai kebutuhannya yang lain, ia merasa masih bisa hidup tanpa itu semua. Asal ibunya tetap menemani. Sesungguhnya, dirinya masihlah tetap anak kecil di dalam tubuh yang menua.

Anak kecil itu sadar... ia tahu. Tapi, hati dan emosinya ingkar. Ia bertindak spontan. Bagi orang-orang tindakannya cenderung emosional dan tanpa pikir panjang. Tapi, baginya... apa yang ia putuskan selalu sudah ia pikirkan lama dan begitu panjang. Hingga ia berani mengeksekusinya. Sebodo kodok dengan pemikiran orang lain. Hanya dirinya yang tahu, apakah saat ia tertawa... ia benar-benar bahagia. Pun saat ia menangis... apakah ia benar-benar sedih.

Meta morfillah

24 March, 2015

Cinta yang begitu dekat

Bagaimana ya, rasanya menjadi orang tua kala melihat anaknya sakit. Terutama menjadi seorang ibu. Sebab, katanya kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah.

Sesayang-sayangnya anak, masih saja ada ketakrelaan, keengganan dan mungkin ketaktulusan saat merawat orang tuanya yang mulai renta dan sakit-sakitan. Itu yang kadang saya alami. Keluhan tak jarang suka terlontar, meski tetap dilakukan apa yang harus dilakukan.

Kali ini, mama diuji dengan penyakit muntaber. Semalaman beliau tak tidur. Saya memergoki dua kali, beliau di kamar mandi dengan muka pucat, badan lemas, kuyu, dingin dan begitu tersiksa karena sakitnya. Saya hanya mampu membalurkan minyak tawon ke sekujur tubuhnya, menghangatkan dengan kaos kaki dan jaket. Lalu saya tinggal tidur lagi. Hingga subuh, tak reda gejalanya. Barulah saya mulai khawatir. Memaksanya ke rumah sakit.

Saat melakukan itu semua, hingga menunggui mama di rumah sakit, saya mendapati bahwa keadaan saya begitu berantakan. Hanya memakai daster, tanpa sempat mencuci muka. Di pikiran saya pun, hanya satu. Menjaganya. Kadang logika menjadi tumpul. Beruntunglah, masih bisa dikondisikan untuk izin dari pekerjaan, menegosiasikan ulang meeting. Bila tidak bisa, saya mungkin tak peduli dengan pekerjaan saya. Uang yang ada pun saya rela habiskan sekejap agar melihat mama sembuh lagi.

Begitulah... tanpa pikir panjang. Kalut. Melihat orang yang saya sayangi, tiba-tiba tak berdaya. Rasanya apa saja yang bisa saya lakukan untuk meringankan penderitaannya, akan saya lakukan.

Lalu, terbayang oleh saya... bagaimana rasanya mama saat melihat anak-anaknya sakit. Anak-anak yang sempat tumbuh menyatu dalam dirinya. Tak jarang, bahkan ia akan menyalahkan dirinya sendiri, sebab merasa tak becus menjaga kesehatan anaknya sehingga sakit. Pantaslah, jika seorang anak sakit, ibunya jauh lebih sakit.

Hari ini, saya berpikir kembali tentang sebuah makna cinta yang tulus dan sejati. Cinta yang begitu dekat. Cinta orang tua kita sendiri. Jagalah, selagi bisa menjaganya.

Meta morfillah

15 March, 2015

[Review buku] Rindu

Judul: Rindu
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Republika
Dimensi: ii + 544 hlm; 13,5 x 20,5 cm; cetakan I oktober 2014
ISBN: 978 602 8997 90 4

"Setiap perjalanan selalu disertai oleh pertanyaan-pertanyaan.

...sayangnya, lazimnya sebuah pertanyaan, maka tidak otomatis selalu ada jawabannya. Terkadang, tidak ada jawabannya. Pun penjelasannya." (Hlm. 222)

"Perjalanan hidupmu boleh jadi jauh sekali. Hari demi hari, hanyalah pemberhentian kecil. Bulan demi bulan, itu pun sekadar pelabuhan sedang. Pun tahun demi tahun, mungkin bisa kita sebut dermaga transit besar. Tapi, itu semua sifatnya adalah pemberhentian. Dengan segera, kapal kita berangkat kembali, menuju tujuan yang paling hakiki. Maka jangan pernah merusak diri sendiri. Jangan rusak kapal kehidupan milikmu, hingga ia tiba di pelabuhan terakhirnya." (Hlm. 284)

"Lihatlah seorang yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Lihatlah seorang yang selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tak pernah bisa bijak untuk dirinya sendiri. Sungguh boleh jadi dialah orang paling munafik..." (Hlm 316)

"Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami? Apalah arti kehilangan, ketika kami sebenarnya menemukan banyak saat kehilangan, dan sebaliknya, kehilangan banyak pula saat menemukan? Apalah arti cinta, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami tertunduk patah hati atas sesuatu yang seharusnya suci dan tak menuntut apa pun? Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tidak terbilang keinginan melupakan saat kami rindu? Hingga rindu dan melupakan jaraknya setipis benang saja."

Seperti biasa, khas tere liye dalam semua novelnya... selalu membahas tentang pemahaman hidup yang baik. Prinsip-prinsip kehidupan dengan diksi yang bertuah, mendekati puitis. Dan tak lupa, happy ending tentunya.

Kali ini, dalam novel RINDU, tere liye menampilkan lima pertanyaan besar dalam hidup, yang masing-masing dibawakan lima tokoh dengan masa lalu yang berbeda. Bonda Ape, dengan masa lalunya yang kelam. Daeng Andipati, dengan kebenciannya yang mendalam pada ayahnya. Mbah kakung, dengan kehilangan kekasih hati. Ambo Uleng, dengan melepaskan cinta sejati. Terakhir Gurutta Ahmad Karaeng, dengan pergumulan batinnya akan dakwahnya dan kemunafikan. Lima kisah, lima pertanyaan, dalam sebuah perjalanan panjang kerinduan... menuju rumah Allah. Berlatar belakang tahun-tahun pergolakan dan perjuangan kemerdekaan.

Novel tere liye, selalu ringan dan memakai bahasa yang mudah dicerna, sehingga saya hanya membutuhkan waktu 6 jam menyelesaikannya.

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

Meta morfillah

14 March, 2015

[Review buku] Pearl of China

Judul: Pearl of China
Penulis: Anchee Min
Penerbit: Qanita
Dimensi: 406 hlm; 14 x 21 cm; Cetakan I, februari 2011
ISBN: 978 602 8579 62 9

"Aku adalah bagian dari china karena aku tinggal di sana dari kanak-kanak hingga dewasa. Sungguh menyenangkan bagiku, alih-alih kehidupan konvensional dan sempit yang dijalani orang kulit putih di Asia, aku hidup bersama masyarakat china dan berbicara dengan bahasa mereka sebelum berbicara dengan bahasaku sendiri, dan anak-anak mereka adalah teman-temanku yang paling awal."

Itulah ungkapan cinta Pearl S. Buck, putri seorang misionaris asal amerika, terhadap china. Dia begitu memuja china dan menganggap amerika sebagai tanah yang asing. Beragam upaya ia lakukan agar ia bisa seutuhnya menjadi orang china. Seperti memakan biji wijen hitam agar rambutnya berubah warna menjadi hitam. Lalu akhirnya menyerah, dan memilih menutupi rambut pirangnya dengan menggunakan topi khas china.

Dari sudut pandang Willow Yee--sahabatnya yang asli china dan awalnya ia pergoki mencuri, lalu kemudian menjadi sahabat yang begitu rekat hingga kematian memisahkan mereka--kehidupan Pearl dikisahkan. Kisah persahabaran sejati yang menembus ruang dan waktu, meski pernikahan, politik hingga maut mencoba mengguncang persahabatan mereka, mereka tetap setia dan bertahan.

Novel ini memang fiksi, tokoh willow hanya rekaan. Tetapi, beragam fakta mengenai Pearl S. Buck yang memenangkan nobel sastra adalah nyata. Betapa saya belajar mengenai ketulusan persahabatan, semangat berdakwah, dan cinta tanah air yang sebenarnya dari tokoh-tokoh di novel ini. Kurun waktu dan beberapa fakta sejarah dalam novel ini tak membuat saya bosan, sehingga saya berhasil menyelesaikannya dalam waktu 8 jam.

Saya mengapresiasi novel ini 5 dari 5 bintang.


Meta morfillah

11 March, 2015

[Cerita Lirik] Ibu

Sebening tetesan embun pagi...
Secerah sinarnya mentari...
Bila ku tatap wajahmu oh ibu...
Ada kehangatan di dalam hatiku...


Boleh setuju, boleh tidak... bila saya membuat pernyataan bahwa obat dari segala obat adalah wajah ibu yang teduh, pelukan ibu yang hangat dan menenteramkan. Terlebih bagi mereka yang terpisah jarak dengan ibunya. Bahkan kehadiran ibu saja, bisa mengali-lipatkan kekuatan dan semangatmu. Menatap wajahnya, membuat hangat hati yang resah dan menghilangkan cemas yang merona.

Air wudhu' selalu membasahimu...
Ayat suci selalu dikumandangkan...
Suaramu penuh keluh dan kesah...
Berdoa untuk putra putrinya...


Satu hal yang paling kuingat tentang ibuku adalah saat ia beribadah pada Allah. Ibu senantiasa terbasuh wudhu, dan tak henti mengumandangkan ayat suciNya. Terlebih di waktu isya dan tahajjud malam. Saat terbangun dari tidurku, sering kudapati ia berdoa dengan suara penuh keluh dan kesah. Memohon mesra pada Rabb. Bahkan pernah kudengar ia menyebut nama lengkapku binti nama ayahku, mendoakan kelancaran urusanku tanpa kupinta. Doanya, adalah untaian kasih sayang yang mewujud keberuntungan bagiku. Semakin dewasa, semakin sering kukatakan ini padanya, saat mencium mesra tangannya yang bengkok dan penuh keriput
“Ma, doain yaa..”
Meski aku tahu ia akan senantiasa mendoakanku. Itu kulakukan semata untuk menegaskan penguatan dan menumbuhkan semangatku mendengar jawabannya “Iya, Mama doain. Semoga lancar urusannya.”

Oh ibuku...
Engkaulah wanita...
Yang kucinta selama hidupku...
Maafkan anakmu bila ada salah...
Pengorbananmu tanpa balas jasa...


Pernah suatu ketika, seorang kawan berkata padaku “Kelak, saat kau jadi ibu, kau akan jauh lebih mencintai ibumu. Setelah kautahu apa yang harus dilewati seorang ibu. Ibu yang mengurusmu dengan mengharapkan kehidupanmu, sementara kau mengurusnya dengan mengharapkan kematiannya.”
Mungkin memang benar. Tapi, tak perlu menunggu menjadi ibu... saat usia bertambah, aku semakin jauh mencintai ibuku. Membayangkan di usia sekian, ibu harus bekerja sekaligus menjadi istri dan ibu. Banyak peran yang ia jalani, dan tak satu pun dalam ingatanku yang muncul tentang ibu mengeluhkan pekerjaannya. Ibu selalu tampak tak ada beban. Sesekali ia terlihat sibuk terbenam dalam tumpukan kertas. Namun bila aku mengganggu dan menyita perhatiannya, ia tak menolakku dan tak mengeluh sedang ada kerjaan. Ia hanya mengalihkan perhatianku, tanpa membuatku merasa dinomorduakan. Akhir-akhir ini, aku semakin sering menangis. Menyadari bahwa waktuku dengan ibu semakin berkurang. Sebab bertambahnya usiaku menunjukkan berkurangnya jatah kebersamaanku dengan ibu. Sementara aku bertumbuh, ibuku bertambah lemah, renta, dan tua.

Ya Allah ampuni dosanya...
Sayangilah dia seperti menyayangiku...
Berilah dia kebahagiaan...
Di dunia juga diakhirat...


Di sela tangisanku, aku hanya bisa lirih memeluknya dalam doa. Memohon pada Rabb, agar ibuku disayangiNya sebagaimana ibu menyayangiku. Agar Rabb mengampuninya dan mengizinkan aku membahagiakan ibuku dengan usahaku sendiri. Mewujudkan kebahagiaannya di dunia dan akhirat, dengan beragam prestasi dan tetap menjaga akhlak. Berharap semoga di akhirat kami diperkenankan bersama kembali. Betapa kematian adalah niscaya, yang begitu menohok kesadaran tentang diri yang tak ada artinya.

*cerita lirik lagu Ibu - Sakha
Meta morfillah

07 March, 2015

[Review buku] Sang Pemenang Berdiri Sendirian

Judul: Sang pemenang berdiri sendirian (The winner stand alone)
Penulis: Paulo Coelho
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Dimensi: 472 hlm, 20 cm, cetakan kelima Januari 2014
ISBN: 978 979 22 9962 5

Berbeda dengan alchemist yang "lebih berat" dan filosofis, di novel ini coelho menyajikan cerita yang lebih ringan. Melalui Festival Film Cannes  yang menjadi latar tempat dan waktu, Coelho menyisipkan nilai-nilai spiritual yang sejati. Membuat kita tercengang dan berpikir ulang, apakah apa yang selama ini kita lakukab sudah benar? Apakah ini yang benar-benar kita inginkan, setelah segala pencapaian dan jerih payah yang dilalui?

Pertanyaan-pertanyaan menohok tentang definisi kesuksesan, kebahagiaan dan cinta dihadirkan beberapa kali dari tiap tokoh sebagai penguatan. Apakah standar kesuksesan yang identik dengan kemewahan menjadi begitu utama, sehingga kita seringkali menulikan telinga dari suara hati kita? Apakah kesuksesan merupakan racun yang manis atau menggoda? Berapa harga sebuah kesuksesan?

Itulah yang diungkapkan melalui tokoh Igor, si jutawan rusia yang berusaha mendapatkan cintanya kembali dengan menghancurkan dunia yang lain, yakni membunuh. Juga beragam definisi sukses di mata Hamid, kaisar dunia mode dari Timur Tengah; Gabriella, aktris amerika yang sangat menginginkan peran utama; Savoy, detektif kriminal yang ambisius dan berharap akan tenar bila berhasil menguak kasus pembunuhan di Festival Film Cannes; dan Jasmine, model yang hampir meraih sukses. Mereka berusaha mengenali mimpinya sendiri dan mewujudkannya, di antara sekian banyak mimpi yang bukan miliknya.

Novel ini menarik. Saya membelinya karena agak kaget mengetahui bahwa coelho bisa menulis genre crime. Saya kira, hanya tentang hal-hal puitis dan diksi indah saja... hahah...

Saya menamatkan novel ini dalam delapan jam. Endingnya masih berbekas dan membuat saya berharap dilanjutkan... haha

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

Meta morfillah

04 March, 2015

Akhiri dengan indah

Masihkah kau ingat, awal perjumpaan kita?

Di bawah pohon yang rindang, dedaunan yang menguning berguguran, aku menemukan hati yang terjatuh. Kupungut dan kugenggam hati itu. Kuedarkan pandangan ke sekitar. Tak kulihat orang lain selain dirimu dan diriku di taman itu. Maka, kutanyakan padamu “Hatimukah yang jatuh ini?”

Kau menjawab dengan tersipu, mengangguk.

Lalu kita berkenalan, menjadi dekat, lebih dekat, dan melebur. Tak pernah aku ingin menjadi yang sempurna. Tapi denganmu, aku berusaha menjadi sempurna. Tidak lagi tetap seperti apa adanya. Menjadi yang terbaik, melebur dalam kawananmu, mewujudkan ambisimu. Semua demi dirimu.  Hingga akhirnya diriku mengabaikanmu. Sebuah alasan yang sungguh sempurna untuk meninggalkanmu.

Sampai akhirnya kita lupa menikmati hidup. Tiada lagi waktu yang sempat kita habiskan di taman. Bahkan aku sudah lupa aroma petrichor yang biasa kita nikmati sebelum berdansa di bawah hujan. Perlahan kita menjadi asing. Sibuk masing-masing.

Ketika selamanya pun harus berakhir, aku ingin mengakhiri kisah ini dengan indah. Kita harus relakan setiap kepingan waktu dan kenangan. Ketika pelukanku pun tak lagi bisa menenangkan hatimu yang sedih. Aku memilih untuk mengakhiri ini dengan indah.

Engkau mencoba menahan isak tangis yang dalam, dengan sisa-sisa ketegaran yang masih kau simpan. Kita berpisah dengan senyuman. Mendustai nurani yang masih mencinta. Sebab, kita tahu bahwa bukan hanya cinta yang mampu merekatkan kita selamanya.


Meta morfillah

[Review buku] Api tauhid

Judul: Api Tauhid
Penulis: Habiburrahman el shirazy
Penerbit: Republika
Dimensi: xxxvi + 588 hal; 13.5 x 20.5 cm; cetakan kelima, januari 2015
ISBN: 978 602 8997 95 9

"Sesungguhnya yang layak dicintai adalah cinta itu sendiri. Dan yang layak dimusuhi adalah permusuhan itu sendiri."

Itu adalah salah satu kalimat yang dilontarkan Said Nursi dalam menumbuhkan api tauhid di kelamnya kekhalifahan utsmaniyyah di Turki.

Adalah Fahmi, tokoh sentral dalam novel ini, yang menelusuri jejak Said Nursi demi memulihkan luka hatinya. Firdaus Nuzula, seorang gadis yang dinikahinya secara sirri, terpisah jarak karena Fahmi harus menyelesaikan kuliahnya di Madinah dan Nuzula di Jakarta. Belum lama berselang dari pernikahan mereka, Nuzula menggugat cerai. Apakah yang sebenarnya terjadi?

Kesedihan yang teramat dalam itulah, yang membawa Fahmi bertekad i'tikaf dan khatam empat puluh kali di Masjid Nabawi. Hingga ia membuat khawatir para sahabatnya: Hamza, Ali, dan Subki. Di hari kelima belas i'tikafnya, Fahmi pingsan. Untuk memulihkan kondisi Fahmi, sahabat-sahabatnya menggagas sebuah perjalanan menapaktilasi kisah hidup orang saleh di Turki, yakni Said Nursi. Sebab, hanya kecintaan pada ilmu dan khususnya sejarah lah, yang mampu mengalihkan perhatian Fahmi dari masalah yang sedang dihadapinya.

Novel ini, pada dasarnya adalah novel sejarah yang menjelaskan tokoh bernama Said Nursi. Namun dikemas dengan kisah cinta Fahmi, Nuzula dan lainnya yang lebih kontemporer. Fakta dan data tentang tokoh yang dibahas di novel ini sungguh membuka wawasan. Saya begitu asyik larut dalam cerita. Membayangkan saya yang menjelajahi turki. Mengunjungi kota-kota yang disebutkan. Juga, membuat saya membuka Al Quran saya, untuk mencari tahu apa terjemah dari surat yang membuat tokoh Fahmi dan Emel menangis: surat al hadid ayat 16.

Haha... novel hadiah dari Ka Rolan, yang dibelikan tanggal 28 februari 2015, namun baru saya 'jemput' hari ini, tanggal 3 maret 2015 berhasil saya tuntaskan selama lima jam. Mulai pukul 19.00 dan berakhir tepat di pukul 00.00. Antusiasme saya seperti ini, cukup membuat saya ingin merekomendasikan novel ini untuk kalian yang suka cerita sejarah, namun tak ingin membaca teks sejarah yang bikin mumet!

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

Meta morfillah

01 March, 2015

[Review buku] Tips mudah membaca karakter orang dari wajahnya

Judul: Tips mudah membaca karakter orang dari wajahnya
Penulis: Dwi sunar prasetyono
Penerbit: Flashbooks
Dimensi: 95 hlm, cetakan pertama, april 2011
ISBN: 978 602 978 545 6

"Wajah Anda adalah buku, yang dengannya orang bisa membaca persoalan-persoalan ganjil." --William Shakespeare

Buku ini cukup ringan, membahas seni membaca wajah (fisiognomi) yang dilengkapi ilustrasi. Secara garis besar, buku ini membagi instrumen wajah menjadi tiga bagian, yaitu ungkapan ide terletak dari alis ke dahi; ungkapan hati dan perasaan terletak dari mulut sampai alis; ungkapan semangat dan kemauan mencakup dagu dan rahang.

Membaca buku ini, membuat saya sebentar-sebentar mematut diri di depan cermin, memastikan pernyataan di buku ini, dengan karakteristik wajah saya. Apakah benar? Sebagian iya, sebagian lagi agak membingungkan. Karena walau pun ada ilustrasi, saya masih kurang paham... hahah...

Tapi, secara keseluruhan... buku ini lumayan membantu untuk mengenali orang lain dengan membaca wajahnya.

Saya apresiasi 3 dari 5 bintang.

Meta morfillah

[Review buku] Ayah...

Judul: Ayah...
Penulis: Irfan Hamka
Penerbit: Republika
Dimensi: xxviii + 324 hlm. ; 13.5 x 20.5 cm, cetakan keempat, november 2013
ISBN: 978 602 8997 71 3

Rangkaian kisah tentang buya hamka di mata anak kandungnya (yang kelima), Irfan Hamka. Mulai dari masa kecil, remaja, dewasa, berkeluarga, berdakwah hingga meninggal. Buku ini dibagi menjadi sepuluh bab. Bab pertama menceritakan nasihat buya hamka. Bab kedua menceritakan buya hamka di masa kecil anak-anaknya. Bab ketiga, bagaimana buya hamka berdamai dengan jin di rumahnya. Bab keempat dan kelima, tentang perjalanan buya hamka, istri dan penulis (anaknya yang kelima) menunaikan ibadah haji dan perjalanan maut yang menyertainya. Bab keenam, buya hamka sebagai sufi di mata penulis. Bab ketujuh, tentang pendamping buya hamka, istri pertama dan ibu dari penulis, selama mendampingi hidup buya hamka. Bab kedelapan, tentang si kuning, kucing kesayangan buya yang setia hingga buya wafat. Bab kesembilan, buya hamka dan beberapa kisah terkait hasil karyanya. Bab sepuluh, saat buya hamka meninggal.

Mungkin buku ini tak lepas dari kesubjektifan penulis, tapi secara garis besar, buku ini mengenalkan kita pada sosok buya hamka yang belum terpublish ke publik. Saya paling suka bab kesembilan, yang membuat saya tahu dari mana sumbu semangat buya hamka lahir. Serta bagaimana buya menyikapi musuh politik, kritik dan beragam tuduhan. Betapa penyelesaiannya sungguh menyentuh.

Seperti hubungan buya dengan soekarno. Buya ditahan selama dua tahun dengan alasan yang tidak jelas. Namun itu tak menyebabkan ia dendam. Bahkan, buya memenuhi permintaan akhir musuhnya tersebut.

"Saya ingin bila wafat kelak, Hamka bersedia mengimami salat jenazahku." --Soekarno

Juga sikapnya pada pramoedya ananta toer.

"Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk diislamkan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik." --Pramoedya Ananta Toer

Betapa sosok buya begitu menginspirasi, dan kehilangannya adalah suatu kedukaan bagi segenap penjuru negeri.

Saya mengapresiasi buku ini 4 dari 5 bintang.

Meta morfillah

Text Widget