Pages

25 March, 2015

Anak kecil dan hal yang belum selesai

Selalu kupikir bahwa aku tegar, aku tak pernah menyangka akan begini. Ternyata, ada hal-hal yang belum selesai. Tepatnya belum berhasil kuselesaikan. Anak kecil di dalam diriku kini meraksasa. Kecemasannya, ketakutannya, keraguannya pada dunia kian mengkhawatirkan. Kali ini, aku tak mampu membendungnya. Ia meronta hebat.

"Bagaimana kalau aku kehilangan lagi? Aku sudah tahu rasanya kehilangan bapak! Sekarang, aku tidak mau kehilangan mama dengan penyesalan karena aku tak mampu menghadiahkan waktu dan diriku dalan versi terbaik untuknya!"

Bahkan orang dewasa dalam diriku yang begitu positif dan memiliki banyak ungkapan bijak, tak mampu melerai amarah dan ketakutan anak kecil tersebut.

"Aku tak punya apa-apa. Aku hanya punya waktu dan diriku. Itulah hidupku. Aku merupakan penggalan pagi, siang dan malam. Bukan uang. Diriku, hidupku adalah kumpulan helai nafas. Hidupku berpacu dengan waktu. Bukan uang. Jadi, menjauhlah dariku bila kau mengukur kesuksesan dari banyaknya uang. Sebab, bagiku kekayaan adalah saat waktumu berkah dan bermanfaat untuk banyak hal."

Anak kecil itu terus meronta dan berteriak. Kata-katanya begitu bijak, membuat orang dewasa dalam diriku terdiam.

Ternyata, saat bapaknya meninggalkan dia di usia muda... ia yang terlihat begitu tegar dan berhasil menahan rintik air mata, menyimpan luka. Ia tak menyadarinya, hingga Tuhan menguji dengan ibunya yang ditimpa sakit. Seberapa pun sering ia melakukan simulasi dalam bayangannya, akan suatu hari di mana ia akan ditinggalkan ibunya selamanya, nyatanya tetap berbeda. Ia tak mampu menjadi waras saat kenyataan ada di hadapannya. Pikirannya tertutup awan hitam tebal. Segalanya menghilang. Yang ia pikirkan hanya satu, bagaimana mengabdi pada ibunya. Mengenai kebutuhannya yang lain, ia merasa masih bisa hidup tanpa itu semua. Asal ibunya tetap menemani. Sesungguhnya, dirinya masihlah tetap anak kecil di dalam tubuh yang menua.

Anak kecil itu sadar... ia tahu. Tapi, hati dan emosinya ingkar. Ia bertindak spontan. Bagi orang-orang tindakannya cenderung emosional dan tanpa pikir panjang. Tapi, baginya... apa yang ia putuskan selalu sudah ia pikirkan lama dan begitu panjang. Hingga ia berani mengeksekusinya. Sebodo kodok dengan pemikiran orang lain. Hanya dirinya yang tahu, apakah saat ia tertawa... ia benar-benar bahagia. Pun saat ia menangis... apakah ia benar-benar sedih.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget