Masihkah kau ingat, awal perjumpaan kita?
Di bawah pohon yang rindang, dedaunan yang menguning berguguran,
aku menemukan hati yang terjatuh. Kupungut dan kugenggam hati itu. Kuedarkan pandangan
ke sekitar. Tak kulihat orang lain selain dirimu dan diriku di taman itu. Maka,
kutanyakan padamu “Hatimukah yang jatuh ini?”
Kau menjawab dengan tersipu, mengangguk.
Lalu kita berkenalan, menjadi dekat, lebih dekat, dan
melebur. Tak pernah aku ingin menjadi yang sempurna. Tapi denganmu, aku
berusaha menjadi sempurna. Tidak lagi tetap seperti apa adanya. Menjadi yang
terbaik, melebur dalam kawananmu, mewujudkan ambisimu. Semua demi dirimu. Hingga akhirnya diriku mengabaikanmu. Sebuah alasan
yang sungguh sempurna untuk meninggalkanmu.
Sampai akhirnya kita lupa menikmati hidup. Tiada lagi waktu
yang sempat kita habiskan di taman. Bahkan aku sudah lupa aroma petrichor yang biasa kita nikmati
sebelum berdansa di bawah hujan. Perlahan kita menjadi asing. Sibuk masing-masing.
Ketika selamanya pun harus berakhir, aku ingin mengakhiri
kisah ini dengan indah. Kita harus relakan setiap kepingan waktu dan kenangan. Ketika
pelukanku pun tak lagi bisa menenangkan hatimu yang sedih. Aku memilih untuk mengakhiri
ini dengan indah.
Engkau mencoba menahan isak tangis yang dalam, dengan
sisa-sisa ketegaran yang masih kau simpan. Kita berpisah dengan senyuman. Mendustai
nurani yang masih mencinta. Sebab, kita tahu bahwa bukan hanya cinta yang mampu
merekatkan kita selamanya.
No comments:
Post a Comment