Pages

28 February, 2014

Review Buku: The Cuckoo's Calling

Judul: The Cuckoo's calling (dekut burung kukuk)
Pengarang: Robert Galbraith (nama pena lelaki dari J.K. Rowling)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, cetakan kedua Januari 2014
ISBN: 978-602-03-0062-7
Jml hal: 520 hlm, 23 cm

Sinopsis:
Ketika seorang supermodel jatuh dari ketinggian balkon di London yang bersalju, polisi menetapkan bahwa ini kasus bunuh diri. Namun, kakak korban meragukan keputusan itu, dan menghubungi sang detektif partikelir, Cormoran Strike, untuk menyelidikinya.
Strike seorang veteran perang yang memiliki luka fisik dan luka batin. Hidupnya sedang kisruh. Kasus ini memberinya kelonggaran dalam hal keuangan, tapi menuntut imbalan pribadi yang mahal. Semakin jatuh dia terbenam dalam kasus ini, semakin kelam kenyataan yang ditemuinya--dan semakin besar bahaya yang mengancam nyawanya.

Review tha sebagai pembaca:
Secara fisik, novel ini menggunakan font yang terlalu kecil, padat dan tebal sehingga agak malas membacanya di awal. Namun setelah memulai membaca dari awal, alur dan detail yang disajikan begitu menarik dan berhasil membuat saya penasaran untuk membaca terus-terusan. Melalui tokoh utama bernama Cormoran Strike (yang membuat saya teringat pada Sherlock) dan asisten temporernya, Robin Ellacott--yang cantik, cerdas dan memiliki ambisi menjadi detektif--Robert Galbraith mengajak kita memecahkan kasus pembunuhan Lula Landry yang dianggap bunuh diri. Penyelidikan itu bermula dari permintaan kakaknya, John Bristow yang tidak memercayai bahwa Lula akan bunuh diri dengan melompat. Setelah kurun waktu tiga bulan pasca kejadian, Strike memulai penyelidikan dan menemukan beragam fakta janggal yang luput dari perhatian polisi. Ada banyak nama yang terlibat di dalamnya. Mulai dari kekasih sang model, Evan Duffield; Produser & istrinya yang tinggal 2 lantai di bawah TKP, Mr & Mrs. Bestigui; dua pelari bertudung yang tertangkap rekaman CCTV saat kejadian, serta sederet nama lainnya.

Pembaca akan sibuk menduga-duga siapa pelaku utama pembunuhan dengan beragam motif dan tokoh yang tercipta dengan kuat. Walau semakin banyak tokoh yang dihadirkan, konflik utamanya tetap fokus pada pencarian pelaku pembunuhan dan konflik batin kehidupan sang detektif, Strike. Pada akhirnya, ending yang disajikan pun cukup mencengangkan. Walau sudah ada gambaran tentang pelaku, namun alur dan beragam praduga yang tercipta dari tokoh-tokoh peramai cerita ini sempat mengecoh dan meragukan tebakan saya mengenai pelaku utama.

Saya menghabiskan waktu seharian ketika sakit untuk membaca novel yang menarik ini. Ternyata novel ini berhasil mengalahkan rasa kantuk saya dari obat tidur. Maka saya berikan 5 bintang dari bintang yang ada. Mengapa sempurna? Karena inilah jenis novel kesukaan saya. Detektif, kriminal, kasus, konflik yang fokus, distractor dan penutup yang tak terduga.

26 February, 2014

Ceracau

Mimpiku, apakah akan menjadi milikmu juga? Bersama kita membaca kekurangan & kelebihan diri, lalu menulis cerita bersama :)

Aku selalu berharap, kelak kamu adalah orang yang suka membaca dan menulis. Sebab, dengan membaca kita semakin paham kebodohan diri dan semangat untuk belajar, serta rendah hati kian membumi. Sedangkan, dengan menulis kita berbagi segala hal tanpa harus membuat orang yang membaca tulisan kita, mengalami kejadian tak enak yang kita tuliskan. Atau bahkan mengajak mereka meresapi kejadian menyenangkan yang kita alami.

Namun, bila kamu tak suka membaca dan menulis... Dalam arti harfiahnya, maka aku berharap hatimu rebah seperti bumi, dengan pikiran seluas langit. Perlahan aku akan mengajakmu bermain ke dunia kata, mencumbu aksara denganku. Karena aku tetap menyimpan harapan, membagi mimpiku denganmu. Meleburkannya bersamamu.

Egoiskah? Entahlah..., bila menuju kesempurnaan adalah egois. Maafkan aku. Terlalu tinggikah? Kadar kriteria yang ketinggian itu seperti apa? Bukankah kita semua unik dan berbeda? Terlalu memaksakah? Hati-hati akan harapan. Sebab harapan adalah akar kekecewaan. Tak mengapalah, aku sudah terbiasa kecewa. Sebab aku sadari satu hal, bahwa kita semua adalah veteran penderitaan yang kemudian harus bersiap lagi menghadapi penderitaan selanjutnya.

Meta morfillah

Tentang Kecewa

Rasanya, kita semua rentan kecewa.
Kecewa pada kehidupan kita saat ini, kecewa pada keadaan finansial, kecewa pada pasangan, kecewa pada keluarga, kecewa pada perusahaan dan rekan kerja, dan banyak kecewa lainnya. Bukan tidak bersyukur, seringkali kecewa berasal dari faktor eksternal. Hanya saja, yang mengelola perasaan itu tetaplah internal kita. Pintar-pintar menjadi proaktif, bukan orang yang reaktif sehingga mudah goyah terpengaruh beragam hal di luar kuasanya (faktor eksternal).

Namun kita kan manusia? Sesekali, kita lelah berbaik hati terus. Sesekali kita lelah menjadi orang yang memahami terus, kapan giliran kita dipahami? Yaa.. Tidak ada yang salah. Sesekali kecewa pun perlu dibiarkan, agar orang lain sadar sikap kita yang berbeda terjadi karena dia. Tapi itu "kalau" orangnya peka. Kalau gak? Yaah.. Sama aja kayak demo ke tembok. Dikacangin iya, ngambek, diam, capek-capek, orangnya mah sebodo kodok wae.

Setelah saya memahami rasa kecewa, mencoba menelaah dari beragam sisi. Ujung-ujungnya selalu kembali ke diri kita. Semua keputusan, kendali ada di diri kita. Tinggal kita pilih, mau keputusan jangka pendek atau jangka panjang? Jangka pendek berarti, memenangkan ego kita, namun hubungan baik akan retak selamanya.. Dan di kemudian hari akan ada risikonya. Jangka panjang berarti, mengalah untuk menang. Di sisi luar, orang-orang menilai "Ah, pasti dia akan minta maaf. Dia mana bisa/tahan marah lama-lama. Pasti dia yang akan hubungi gue duluan." Lalu kita dianggap lemah dan selalu menjadi yang memulai meminta maaf--walaupun belum tentu/jelas-jelas kita yang salah. Tapi hubungan baik tetap terjaga. Di kemudian hari, ada kemungkinan ketika kita tiada, mereka akan menyadarinya. Tak sadar pun tak apa. Setidaknya kita memenangkan nurani dan menyelamatkan hubungan baik. Toh hidup dengan satu musuh itu tidaklah membuat nyaman, walau kau memiliki seribu teman.

Dengan ragam perasaan terganggu (sebal, kesal, bosan) yang kemudian mempengaruhi komunikasi serta koordinasi kita--membuat malas berbicara dengan orang yang menyebalkan bagi kita, karena hati yang sudah terlalu lelah--adalah situasi berbahaya dalam hubungan apa pun. Serius, tidak ada perubahan berarti jika kita atau pun orang yang mengecewakan kita sama-sama cuek terhadap hal ini. So, ambillah inisiatif itu, untuk menyelamatkan hubungan. Sebab, jika kita merasa tidak puas terhadap satu dan lain hal, bukan tidak mungkin orang yang mengecewakan kita pun sedang dilanda hal yang sama. Bicarakanlah bersama.

Rasa kecewa, hanya dapat diobati dengan memaafkan secara penuh, mengikhlaskan, dan lakukan semata dengan niat ibadah kepada Allah. Meluruskan dan mengoreksi lagi niat awal kita. Sebab, jika kita berharap orang yang mengecewakan kita akan menghargai, yang ada adalah rasa kecewa yang lebih, jika ternyata orang itu pun bahkan tidak ngeh dengan sikap kita yang telah berusaha ramah, senyum dan ikhlas.

Perasaan kecewa harus dibicarakan. Luka harus disembuhkan. Sebab perasaan kecewa dan luka yang masih hidup dalam hati, sering dijadikan excuse sebagai alasan wajar mengecewakan dan menyakiti orang lain lagi. Bukankah sudah sering korban berpotensi besar menjadi pelaku?

Sudahlah... Semua ada di tangan kita. Kitalah penentu. Bukan berarti kita pasrah diinjak. Kita melawan, dengan cara yang baik. Tak lupa doa terus-menerus. Semoga Tuhan sang pembolak-balik hati berkenan membalikkan hati orang yang telah mengecewakan kita. Semoga Tuhan tidak sampai hati meletakkan orang itu di tempat yang sama saat kita mengalami hal ini. Semoga semuanya terselesaikan tanpa ada yang tersakiti. Dengan cara baik-baik, walau mungkin hasilnya tak baik.

Ini sekadar rasa dan pengalamanku tentang kecewa. Bagaimana denganmu?

Meta morfillah

21 February, 2014

Curhat Kerjaan

“Kalau kerja cuma sekadar kerja, kera di hutan juga bekerja.” – Buya HAMKA-

Kerja seperti apakah yang kamu inginkan? Impikan?

Menjelang satu tahun bekerja di perusahaan yang saat ini sedang saya tekuni, seberapa berarti dan berkontribusi saya bagi perusahaan?

Apa saya hanya karyawan yang tidak berKARYA sebagaimana mestinya? Sadar kan? Karyawan adalah orang yang menghasilkan banyak karya. Maluuu… kalau ternyata hanya jadi beban. Bagi saya pribadi, kerja adalah ibadah, sekaligus aktualisasi diri. Berkali saya diingatkan, “Jangan sampai kau gigit tangan orang yang memberimu makan.”

Tapi tak lantas juga orang itu kau tuhankan. Dia tetaplah hanya perantara, pun pekerjaanmu.

Sudah lama konsep “kerja keras” tidak lagi saya tanamkan dalam otak saya. Semenjak saya membaca beragam buku, mengadaptasi ilmu-ilmu dari cerita orang hebat. Mengapa? Seringkali, orang yang bekerja keras lupa akan efektifnya sebuah tim atau teknologi. Bekerja terlalu keras atau berlebihan pun tak baik. Sudah diingatkan, segala sesuatu yang berlebihan memang tidak baik. Jadilah umat yang tengah-tengah. Itu sabda Nabi…

Seharusnya, kita bekerja cerdas. Cerdas memanfaatkan beragam sumber belajar dan fasilitas yang ada, sehingga sinergisitas terbangun lebih cepat. Apalagi jika memiliki tim… manfaatkan. Jadi semua saling mendukung, bekerja cerdas pun berakhir menjadi kerja yang ikhlas. Hanya saja, semua konsep tentulah lebih mudah dikatakan, praktiknya yaa… banyak faktor yang harus ditelaah. Tentu saja, sebelum menyalahkan banyak faktor tersebut, sudahkah kita menelaah diri kita sendiri? Capek-capek bekerja, menghabiskan waktu, sebenarnya apa saja sih yang telah dilakukan?

Mari kita analisa diri kita sendiri…

Contoh mudah analisa diri saya sekarang ini, dengan kondisi menjelang satu tahun bekerja (Maret nanti) memakai analisa SWOT.

Strength (Kekuatan):

  1. Satu tahun, membuat saya menjadi orang nomor dua di divisi saya yang memiliki pengalaman lebih (entah ini anugerah atau kutukan, sebenarnya saya paling tidak suka bila senior atau dianggap paling tahu hanya karena lama waktu bekerja).
  2. Kemauan belajar saya yang masih bisa ditingkatkan dan cepat menyadari kesalahan untuk belajar kembali dari kesalahan tersebut.
Weakness (Kelemahan):

  1. Emosi saya masih fluktuatif, beberapa kepergian anggota tim membuat saya agak kehilangan dan sempat demotivasi. Egonya masih besar dan mudah marah apabila ada suatu hal yang tak pada tempatnya, tidak sesuai prinsip saya. Katanya sih karena masih darah muda, padahal saya darah rendah dan darah manis.
  2. Masih kurang paham beragam industri klien dan istilah bisnis seluruh perusahaan. Hal ini berdampak pada kualitas pekerjaan saya yang sepertinya belum bagus. Dari kuantitas banyak, tapi ga berkualitas, bukankah percuma saja?
  3. Kadang berimbas dari emosi yang kurang stabil, saya agak malas mempelajari detail perusahaan yang menurut saya tidak penting untuk diri saya. Saya lebih suka meempelajari soft skills dibanding technical, dan sedang mendalami dunia perbukuan, tulisan. Mungkin kemauan saya kurang kuat.
Opportunity (Peluang):

  1. Apa peluang saya ya? Entahlah saya bingung.
Threat (Ancaman):

  1. Kepergian dan ketidaknyamanan dari tim sendiri dan atasan, memungkinkan saya untuk pergi. Jika sudah tidak nyaman dan tidak dibutuhkan lagi, untuk apa saya bertahan?
Sebenarnya apa sih yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini?

Cuma ingin bilang, kerja jangan kayak robot. Gak ada inisiatif, proaktif, dan suasana menjadi tidak positif. Saat menuliskan ini saya sedang demotivasi, kecewa pada hal sekitar dan terutama kecewa pada diri saya sendiri yang sepertinya hanya menjadi polutif, bukan solutif. Saya ingin maju bersama, seperti keluarga. Namun, sepertinya banyak yang merasa saya terlalu dominan (apakah ini asumsi? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Secara tidak sadar ada yang pernah mengucapkan hal ini pada saya, keceplosan). Saya terlalu cerewet dan bawel, menuntut semuanya berusaha sempurna. Tapi… mereka tidak suka. Maka saat ini, saya memilih diam apatis saja. Toh, dalam pekerjaan keberadaanmu akan mudah tergantikan. Lebih baik fokus pada prioritas utama saja. Keluarga, cita-cita dan impian. Kemungkinan, saya tidak akan lama di sini. Saya selalu berpikiran, saya akan pergi dari kota ini. Kota yang saya cintai, namun semakin individualis dan hedonis. Entahlah…. Apa sih yang saya tuliskan ini?


19 February, 2014

Mudahkah menjadi orang yang tak peduli?


Mudah sekali menjadi orang yang tidak peduli
Tinggal cuek dalam segala urusan
Tidak ikut campur dan memilih diam
Diam yang apatis
Tak usah terlalu inisiatif apalagi proaktif
Sangat nyamankah?

Aku mencoba seperti itu,
Tapi tak bisa…
Rasanya seperti mematah-matahkan hatiku
Perlahan-lahan..
Merepihnya menjadi potongan-potongan hati yang kusam
Tiap hari potongan itu meluruh meninggalkan sebongkah liang di dalam dadaku
Sakit?
Tentu saja sakit!
Eskalasi rasa sakitnya bertambah seiring hitungan hari

Tapi mengapa kalian bisa?
Tetap santai, seakan tak ada yang kehilangan.
Tak penting…

Begitu mudahkah menjadi orang yang tak peduli?
Benarkah tak ada sedikit pun sisa hatimu yang sakit saat kau mencoba tak peduli?
Atau hanya aku manusia bodoh yang berlebihan peduli?

Meta morfillah

18 February, 2014

[LBBK] Sebuah tempat penyimpanan “Rekam Jejak Peradaban” bernama Museum

Sebuah tempat penyimpanan “Rekam Jejak Peradaban” bernama Museum

Salah satu pintu yang dapat menguak rekam jejak peradaban bangsa adalah Museum. Di sana banyak sekali menyimpan berbagai benda berupa koleksi bernilai tinggi karena memiliki hubungan yang sangat erat dengan peradaban masyarakat pada masa-masa yang lalu.Benda-benda tersebut bisa merupakan produk seni (lukisan,patung,peralatan musik,naskah lagu), peralatan kerja (kampak dari batu},dokumen pemerintahan ( teks proklamasi,naskah perjanjian) ,bangunan (bangunan cagar budaya) dan masih banyak lagi benda-benda yang dapat memberi gambaran kepada kita tentang apa-apa saja yang pernah terjadi atau berlangsung di negri ini. Tinggalan sejarah tersebut sangat perlu diketahui oleh banyak pihak terutama bagi yang perduli dengan masa depan, baik masa depan sendiri, masyarakat maupun bangsa. Dengan melihat,mempelajari,kemudian mengerti dan memahami benda-benda bersejarah yang tersimpan di museum-museum, minimal dapat lebih mengetahui apa-apa saja yang telah dikerjakan serta dihasilkan oleh generasi sebelum kita. Dari fakta-fakta itu akhirnya kita dapat membandingkan dengan apa-apa yang sedang dilakukan dan dihasilkan oleh generasi yang sedang eksis, untuk membuat penilaian tentang plus dan minusnya. Dengan fakta-fakta tersebut kita dapat menarik kesimpulan tentang bidang apa saja yang pada masa kini telah mengalami kemajuan yang pesat dan mana yg sebaliknya,tanpa mengabaikan cara pandang yg lain.Sampai tahap ini minimal dapat kita ketahui apa yang telah kita capai dibandingkan apa yang telah dicaoai pendahulu-pendahulu kita. Nah, selanjutnya apa saja yang masih menjadi impian kita semua supaya apa-apa yang kita lakukan dan hasilkan dapat menjadi koleksi yang membanggakan generasi setelah kita ketika meraka-mereka berkunjung ke Museum. Dari uraian di atas sangat jelas kenapa Museum harus dikunjungi? Dengan sering mengunjungi Museum minimal kita akan mengenal sebagian rekam jejak pendahulu-pendahulu kita yang dapat kita pakai untuk bercermin diri guna menuju masa depan. Sekedar pengetahuan kita, bahwa lebih dari 60 museum ada di DKI Jakarta, satu diantaranya adalah Taman Arkeologi Onrust berdampingan dengan P.Kelor, P.Cipir dan P.Bidadari yang berada di wilayah Kepulauan Seribu. Museum yg lain tersebar diberbagai lokasi, al.Museum Sejarah, Meseum Wayang, Museum Senirupa,Museum Bahari (di kawasan Kotatua) Museum di kawasan TMII, Museum Gajah, M.Satria Mandala dll. Nah tunggu apalagi? mari kita kenali peradapan nenek moyang dan para pendahulu kita dengan mengunjungi Museum. ,


   1. Koreksi judul:
Menurut saya kurang menarik dan terlalu biasa. Deskriptif sekali. Saya mengubah judulnya menjadi “Pintu Rekam Jejak Peradaban”

   2. Koreksi tulisan:
a.    Tidak adanya penggalan berupa paragraf yang memisahkan pikiran utama tiap tulisan (ide pokok). Penceritaannya terlalu datar dan deskriptif, kurang interaktif.
b.    Masih terdapat beberapa typo, seperti: “dicaoai” yang seharusnya “dicapai”; “meraka-mereka” yang seharusnya “mereka-mereka”; “peradapan” yang seharusnya “peradaban”.
c.    Tata penulisan mengenai letak beberapa tanda baca yang masih kurang tepat dan sangat mengganggu saya sebagai pembaca. Beberapa contoh kalimatnya, sebagai berikut:
-          Dalam potongan kalimat “lalu.Benda-benda”. Tidak adanya tanda spasi setelah tanda titik (.) di akhir kalimat.
-          Dalam potongan kalimat “pemerintahan ( teks”. Seharusnya tidak memakai tanda spasi setelah tanda buka kurung.
-          Dalam potongan kalimat ” Museum. ,”. Seharusnya setelah ditutup tanda titik (.) di akhir kalimat, tidak perlu ditambahkan tanda koma (,) lagi.
-          Dan masih ada beberapa kesalahan peletakan tanda baca dengan kasus yang sama seperti di atas.
d.    Masih terdapat kata-kata yang tidak sesuai EYD. Misalnya: Tinggalan, negri, sekedar, dll.
e.    Penyingkatan kata yang tidak konsisten dan sebaiknya tidak perlu dilakukan. Seperti Pulau disingkat jadi P., antara lain disingkat a.l, Museum disingkat menjadi M.
f.     Beberapa kata ulang yang membuat kalimat tidak efektif. Misal:
-          “masih banyak lagi benda-benda”. Seharusnya setelah dijelaskan ‘banyak’, tidak perlu diulang kata ‘benda-benda’ karena artinya sudah jelas menyatakan banyak.
g.    Penggunaan di- sebagai prefiks (awalan) dan preposisi yang menandai tempat(kata depan) yang masih kurang tepat. Misal: “satu diantaranya adalah”. Seharusnya “di antaranya”.
h.    Pemakaian huruf kapital yang kurang tepat. Misal: “Salah satu pintu yang dapat menguak rekam jejak peradaban bangsa adalah Museum.” Seharusnya, penulisan museum tidak memakai huruf kapital, kecuali disertai dengan nama tempatnya seperti Museum Tekstil.

  3. Menulis Ulang

Pintu Rekam Jejak Peradaban

Tahukah kamu apa yang dimaksud pintu rekam jejak peradaban?

Tepat sekali! Kali ini kita akan berbicara tentang museum. Salah satu pintu yang dapat menguak rekam jejak peradaban sebuah bangsa. Di museum tersimpan berbagai benda yang memiliki hubungan erat dengan peradaban masyarakat di waktu lampau. Tak jarang, benda-benda tersebut merupakan koleksi yang bernilai tinggi. Jenisnya pun bermacam-macam. Ada yang berupa produk seni (lukisan, patung, peralatan musik, naskah lagu), peralatan kerja (kampak dari batu), dokumen pemerintahan (teks proklamasi, naskah perjanjian), bangunan (bangunan cagar budaya) dan masih banyak lagi. Semua benda itu memberikan gambaran kepada kita, tentang apa saja yang pernah terjadi atau berlangsung di negeri ini.

Peninggalan sejarah itu amatlah penting untuk diketahui oleh banyak pihak. Terutama mereka yang peduli dengan masa depan, baik masa depan sendiri, masyarakat maupun bangsa. Dengan melihat, mempelajari, kemudian mengerti dan memahami benda-benda bersejarah yang tersimpan di museum, minimal membuat kita mengetahui apa saja yang telah dikerjakan serta dihasilkan oleh generasi sebelum kita. Berdasarkan fakta tersebut, kita dapat membandingkannya dengan apa yang telah dihasilkan oleh generasi masa kini. Lalu membuat penilaian tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada setiap generasi. Dari data tersebut, kita dapat menarik kesimpulan tentang bidang apa saja yang pada masa kini telah mengalami kemajuan yang pesat dan mana yang sebaliknya, tanpa mengabaikan cara pandang yang lain. Nah, selanjutnya kita dapat mengukur apa saja yang ingin kita hasilkan, agar menjadi koleksi yang membanggakan generasi setelah kita ketika mereka berkunjung ke museum nantinya.

Bagaimana? Asyik kan mengunjungi museum? Dengan sering mengunjungi museum, minimal kita akan mengenal sebagian rekam jejak pendahulu kita.  Lalu kita dapat bercermin dari mereka guna memperbaiki masa depan. Sekadar informasi, ada lebih dari 60 museum di DKI Jakarta. Salah satunya adalah Taman Arkeologi Onrust yang berdampingan dengan Pulau Kelor, Pulau Cipir dan Pulau Bidadari di wilayah Kepulauan Seribu. Museum yang lain tersebar di berbagai lokasi, antara lain Museum Sejarah, Museum Wayang, Museum Seni Rupa, Museum Bahari (di kawasan Kota Tua), Museum di kawasan TMII, Museum Gajah, Museum Satria Mandala dan lainnya. Nah tunggu apalagi? Mari kita kenali peradaban para pendahulu kita dengan mengunjungi Museum!


by: Meta Morfillah

[Cerpen] Rahasia Kiki



Rahasia Kiki
By meta morfillah

Ke arah selatan dari stasiun Tanah Abang, tepatnya di ujung jalan kolong jembatan yang berbatasan dengan kali banjir kanal barat. Di sana terletak sebuah kampung kardus. Puluhan rumah non permanen yang terbuat dari kardus dan terpal plastik seperti menjamur di pinggir batas kali. Tidak jelas berapa jumlah orang yang tinggal di sana, karena banyak yang datang dan pergi di tiap rumah kardus tersebut. Di seberang kali itu, terkenal sebuah tempat lokalisasi dunia malam dan para pelacur murahan yang disebut dengan Bongkaran. Tiap malam akan terdengar suara musik dangdut dengan lirik yang liar, binal dan lampu ajeb-ajeb sebagai pengantar tidur. Tempat mangkal para supir truk-truk besar yang datang dari berbagai kota.
Abaw, bocah sebelas tahun itu telah terbiasa dengan ritme kehidupan di kolong jembatan. Baginya, itu normal saja. Asal jangan pernah menginjakkan kaki di bongkaran itu. Tempat itu terkenal angkernya. Ia dan Mbak Kiki—tetangga perempuannya yang berusia lima belas tahun, menderita down syndrome. Memiliki rupa ‘kembar seribu’, dengan ciri fisik seperti orang Mongoloid. Wajah datar dengan mata agak sipit, hidung pesek, dan lidah tebal sehingga ketika berbicara seperti cadel dan kadang tidak jelas. Namun kulitnya putih bersih seperti lilin—selalu diingatkan akan hal itu oleh orang tua mereka. Abaw dan Mbak Kiki tidak mengambil pusing. Toh, mereka sudah cukup capek menjalani kehidupan mereka sendiri. Pergi sekolah lalu menjadi ‘Pak Ogah’ di jalan, putaran depan Museum Tekstil demi membantu orang tua mereka yang bekerja sebagai pemulung. Kehidupan di kampung kardus itu hampir seragam. Kebanyakan adalah pemulung, pengamen, joki three in one, atau paling keren tukang ojek.
**
“Baw, lo dipanggil Bu Intan, tuh!”
Pasti soal uang buku dan surat itu lagi.
Abaw menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu berjalan dengan lunglai menuju ruang guru yang terletak di sudut kiri sekolah itu. Seperti biasanya, Ibu Intan—wali kelasnya—duduk di pojok samping angklung.
“Permisi, Bu. Ibu manggil saya?”
“Iya, Abaw. Sini,” dengan isyarat tangannya, Ibu Intan menyuruhnya duduk.
“Hmm… begini Abaw, ibu memanggil kamu karena tunggakan buku dan uang ujian nasional. Kamu sudah menunggak buku selama enam bulan dan belum mencicilnya sedikit pun. Surat-surat yang ibu berikan untuk disampaikan ke orang tuamu, apakah sudah benar kamu sampaikan?”
“Sudah, Bu.”
“Sebentar lagi kita akan ujian nasional. Jadi kalau tidak kamu lunasi juga, bilang ke orang tuamu kamu tidak bisa ikut ujian dan rapormu ditahan, ya. Sampaikan surat ini ke orang tuamu. Ini surat peringatan terakhir dari sekolah.”
Abaw mengambil surat itu dari atas meja, mengangguk lalu ke luar dari ruangan itu dengan muka lesu.
***
“Baw, lagi sakit?”
“Gak, Mbak.”
“Kok dari tadi diem aje?” Mbak Kiki bertanya dengan logat ‘r’ khasnya yang tebal sehingga terdengar seperti orang berkumur.
“Mobil tuh, Mbak!”
Sebuah mobil Nissan Sporty hendak memutar. Abaw bergegas mengarahkannya, sedang Mbak Kiki menahan laju mikrolet yang lewat untuk mempersilakan mobil itu memutar.
“Yak... terus… terus… lanjut bang! MONYET, lu!” umpat Abaw ketika ada motor yang menyalip, hampir saja menabrak tubuh kecilnya.
“BEGO!!” teriak Mbak Kiki.
“Blo’on banget tuh orang. Gak sabar banget sih!” Abaw masih mengumpat sembari memasukkan pundi receh yang diberikan pengemudi Nissan Sporty tadi ke saku celananya.
“Lo gak apa-apa kan, Baw?”
Mbak Kiki memastikan keadaannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Gak apa-apa, Mbak.”
Abaw kembali diam. Menatap jalanan yang lumayan lancar.
“Mbak Kiki, habis ini kita ngamen yuk!”
“Jangan, Baw. Nanti diomelin Bang Juki. Lapak kita kan di sini,”
“Hmm…, kalau gitu nanti sore kita ngejoki aja yuk!”
“Dih, nanti diomelin Luluth loh! Kan joki juga banyak saingannya. Anak baru katanya harus ijin dulu,”
Abaw diam. Semua yang dikatakan Mbak Kiki memang benar. Tidak bisa seenaknya saja mencari uang di jalanan. Ada penguasa masing-masing lapak. Harus minta ijin dan belum tentu diijinkan karena banyak sekali saingannya. Menjadi ‘Pak Ogah’ di jalanan ini saja diijinkan oleh Bang Komar karena dia suka dengan Mbak Kiki. Abaw cukup beruntung mendapatkan kemudahan itu, karena Mbak Kiki adalah tetangganya dan sudah menganggap dia adik sedari kecil. Walau Mbak Kiki bodoh, tapi dia baik. Sering mentraktir Abaw es teh dan bihun dari hasil ‘Pak Ogah’ mereka.
“Kenapa sih lo tiba-tiba pengen ngamen dan ngejoki? Emang duitnya kurang?”
“Iya, Mbak. Buku sekolah sama uang ujian gw belum lunas. Kalau gak dilunasi minggu depan, gw gak bisa ikut ujian. Rapor gw ditahan terus gw gak lulus dah. Padahal kan gw pengen cepat-cepat lulus. Biar ada ijazah terus gw ngelamar jadi tukang parkir kayak Bang Iwan,”
“Ooh…, emang butuh duit berapa lo, Baw?”
“Rp 350.000, Mbak,”
“Pinjam aja sama Bang Komar,”
“Udah dicoba sama bapak. Tapi pada bokek juga semuanya, Mbak.”
“Tar gw coba cariin deh. Udah lo jangan sedih gitu selama ada gw mah,”
“Haha…, lo mau nyari di mana, Mbak? Ngerayu Bang Komar?”
“Haha…, gampanglah.”
***
“Nih, uangnya. Kasih ke Bu Guru, ya. Hati-hati bawanya!”
“Wah, dapat juga Mak pinjaman?” Abaw yakin itu bukan uang tabungan Emak atau Bapaknya. Untuk makan sehari-hari saja mereka susah apalagi untuk menabung. Pasti hasil meminjam.
“Bukan pinjaman. Dikasih sama Kiki tadi subuh. Tapi lo jangan bilang-bilang ke yang lain katanya. Bilang makasih sono sama dia. Udah banyak bantu banget dia. Walau bego tapi baik.”
“Mbak Kiki tadi subuh ke sini, Mak? ”
“Iye…, udah sono jalan sekolah. Entar telat. Sekolah yang bener lo! Jangan main mulu,”
“Iya, Mak. Abaw jalan ya,” ujar Abaw sembari mencium tangan emaknya yang bau amis karena ikan asin yang sedang digorengnya.
Abaw tersenyum sepanjang jalan, merasakan kelegaan luar biasa karena tunggakan buku dan ujiannya akan dilunasi. Ia membayangkan cepat menyelesaikan kelas enam lalu mendapatkan ijazah dan bisa meniru jejak Bang Iwan. Menjadi tukang parkir di hotel dekat pasar. Bang Iwan sudah menjanjikannya, kalau ia memiliki ijazah SD semua akan lebih mudah. Sepulang sekolah nanti ia berencana menemui Mbak Kiki langsung di rumahnya, ingin mengucapkan terima kasih pada gadis itu.
***
Dua minggu kemudian…
Sudah beberapa hari, Kiki merasa tidak enak badan. Lelah sekali. Tapi ia tersenyum puas karena ia mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh Abaw. Ia sudah menyayangi Abaw seperti adiknya sendiri. Hanya Abaw yang benar-benar menghormatinya seperti kakak, tidak seperti orang lain yang menganggapnya bodoh dan hanya menyukai kulit putihnya saja.
“Ki, hari Kamis dua minggu yang lalu kamu ke main ke mana habis maghrib?” tanya ibunya.
“Ke lapangan, Bu,”
“Kok tumben gak sama Abaw?”
“Abaw lagi belajar, Bu,”
“Ooh…, mau ujian ya dia. Terus kamu main sama siapa di lapangan? Kok pulangnya malam gitu?”
“Kiki diam aja di lapangan, Bu,”
“Pantesan ibu perhatiin habis pulang malam itu, kamu sering gak enak badan. Masuk angin tuh, lagian bengong aja di lapangan. Besok-besok diam aja di rumah. Jangan ke lapangan, apalagi bongkaran. Bahaya anak cewek ke sana. Kamu dengar kan kata ibu?!”
“Iya, Bu.”
Kiki terdiam. Ada satu hal yang tidak ingin ia ceritakan pada ibunya. Ia telah berbohong. Dua minggu yang lalu ia ke Bongkaran untuk membantu Abaw melunasi tunggakan sekolahnya. Ia melakukan apa yang diajarkan Tante Nisa dari maghrib hingga pukul sembilan malam. Tiga lelaki membawanya ke sebuah kamar sempit. Lalu entah mengapa pagi ini, perutnya tiba-tiba terasa mual sekali.
***

Text Widget