Rahasia
Kiki
By meta morfillah
Ke
arah selatan dari stasiun Tanah Abang, tepatnya di ujung jalan kolong jembatan
yang berbatasan dengan kali banjir kanal barat. Di sana terletak sebuah kampung
kardus. Puluhan rumah non permanen yang terbuat dari kardus dan terpal plastik
seperti menjamur di pinggir batas kali. Tidak jelas berapa jumlah orang yang
tinggal di sana, karena banyak yang datang dan pergi di tiap rumah kardus
tersebut. Di seberang kali itu, terkenal sebuah tempat lokalisasi dunia malam
dan para pelacur murahan yang disebut dengan Bongkaran. Tiap malam akan
terdengar suara musik dangdut dengan lirik yang liar, binal dan lampu ajeb-ajeb sebagai pengantar tidur.
Tempat mangkal para supir truk-truk besar yang datang dari berbagai kota.
Abaw, bocah sebelas tahun itu telah
terbiasa dengan ritme kehidupan di kolong jembatan. Baginya, itu normal saja.
Asal jangan pernah menginjakkan kaki di bongkaran itu. Tempat itu terkenal
angkernya. Ia dan Mbak Kiki—tetangga perempuannya yang berusia lima belas
tahun, menderita down syndrome.
Memiliki rupa ‘kembar seribu’, dengan ciri fisik seperti orang Mongoloid. Wajah
datar dengan mata agak sipit, hidung pesek, dan lidah tebal sehingga ketika
berbicara seperti cadel dan kadang tidak jelas. Namun kulitnya putih bersih
seperti lilin—selalu diingatkan akan hal itu oleh orang tua mereka. Abaw dan
Mbak Kiki tidak mengambil pusing. Toh, mereka sudah cukup capek menjalani
kehidupan mereka sendiri. Pergi sekolah lalu menjadi ‘Pak Ogah’ di jalan,
putaran depan Museum Tekstil demi membantu orang tua mereka yang bekerja
sebagai pemulung. Kehidupan di kampung kardus itu hampir seragam. Kebanyakan
adalah pemulung, pengamen, joki three in
one, atau paling keren tukang ojek.
**
“Baw, lo dipanggil Bu Intan, tuh!”
Pasti
soal uang buku dan surat itu lagi.
Abaw menggaruk-garuk kepalanya yang
tidak gatal lalu berjalan dengan lunglai menuju ruang guru yang terletak di
sudut kiri sekolah itu. Seperti biasanya, Ibu Intan—wali kelasnya—duduk di pojok
samping angklung.
“Permisi, Bu. Ibu manggil saya?”
“Iya, Abaw. Sini,” dengan isyarat
tangannya, Ibu Intan menyuruhnya duduk.
“Hmm… begini Abaw, ibu memanggil
kamu karena tunggakan buku dan uang ujian nasional. Kamu sudah menunggak buku selama
enam bulan dan belum mencicilnya sedikit pun. Surat-surat yang ibu berikan
untuk disampaikan ke orang tuamu, apakah sudah benar kamu sampaikan?”
“Sudah, Bu.”
“Sebentar lagi kita akan ujian
nasional. Jadi kalau tidak kamu lunasi juga, bilang ke orang tuamu kamu tidak
bisa ikut ujian dan rapormu ditahan, ya. Sampaikan surat ini ke orang tuamu.
Ini surat peringatan terakhir dari sekolah.”
Abaw mengambil surat itu dari atas
meja, mengangguk lalu ke luar dari ruangan itu dengan muka lesu.
***
“Baw, lagi sakit?”
“Gak, Mbak.”
“Kok dari tadi diem aje?” Mbak Kiki
bertanya dengan logat ‘r’ khasnya yang tebal sehingga terdengar seperti orang
berkumur.
“Mobil tuh, Mbak!”
Sebuah mobil Nissan Sporty hendak
memutar. Abaw bergegas mengarahkannya, sedang Mbak Kiki menahan laju mikrolet
yang lewat untuk mempersilakan mobil itu memutar.
“Yak... terus… terus… lanjut bang!
MONYET, lu!” umpat Abaw ketika ada motor yang menyalip, hampir saja menabrak
tubuh kecilnya.
“BEGO!!” teriak Mbak Kiki.
“Blo’on banget tuh orang. Gak sabar
banget sih!” Abaw masih mengumpat sembari memasukkan pundi receh yang diberikan
pengemudi Nissan Sporty tadi ke saku celananya.
“Lo gak apa-apa kan, Baw?”
Mbak Kiki memastikan keadaannya dari
ujung kepala hingga ujung kaki.
“Gak apa-apa, Mbak.”
Abaw kembali diam. Menatap jalanan
yang lumayan lancar.
“Mbak Kiki, habis ini kita ngamen
yuk!”
“Jangan, Baw. Nanti diomelin Bang
Juki. Lapak kita kan di sini,”
“Hmm…, kalau gitu nanti sore kita
ngejoki aja yuk!”
“Dih, nanti diomelin Luluth loh! Kan
joki juga banyak saingannya. Anak baru katanya harus ijin dulu,”
Abaw diam. Semua yang dikatakan Mbak
Kiki memang benar. Tidak bisa seenaknya saja mencari uang di jalanan. Ada penguasa
masing-masing lapak. Harus minta ijin dan belum tentu diijinkan karena banyak
sekali saingannya. Menjadi ‘Pak Ogah’ di jalanan ini saja diijinkan oleh Bang
Komar karena dia suka dengan Mbak Kiki. Abaw cukup beruntung mendapatkan
kemudahan itu, karena Mbak Kiki adalah tetangganya dan sudah menganggap dia
adik sedari kecil. Walau Mbak Kiki bodoh, tapi dia baik. Sering mentraktir Abaw
es teh dan bihun dari hasil ‘Pak Ogah’ mereka.
“Kenapa sih lo tiba-tiba pengen
ngamen dan ngejoki? Emang duitnya kurang?”
“Iya, Mbak. Buku sekolah sama uang
ujian gw belum lunas. Kalau gak dilunasi minggu depan, gw gak bisa ikut ujian.
Rapor gw ditahan terus gw gak lulus dah. Padahal kan gw pengen cepat-cepat
lulus. Biar ada ijazah terus gw ngelamar jadi tukang parkir kayak Bang Iwan,”
“Ooh…, emang butuh duit berapa lo,
Baw?”
“Rp 350.000, Mbak,”
“Pinjam aja sama Bang Komar,”
“Udah dicoba sama bapak. Tapi pada
bokek juga semuanya, Mbak.”
“Tar gw coba cariin deh. Udah lo
jangan sedih gitu selama ada gw mah,”
“Haha…, lo mau nyari di mana, Mbak?
Ngerayu Bang Komar?”
“Haha…, gampanglah.”
***
“Nih, uangnya. Kasih ke Bu Guru, ya.
Hati-hati bawanya!”
“Wah, dapat juga Mak pinjaman?” Abaw
yakin itu bukan uang tabungan Emak atau Bapaknya. Untuk makan sehari-hari saja
mereka susah apalagi untuk menabung. Pasti hasil meminjam.
“Bukan pinjaman. Dikasih sama Kiki
tadi subuh. Tapi lo jangan bilang-bilang ke yang lain katanya. Bilang makasih
sono sama dia. Udah banyak bantu banget dia. Walau bego tapi baik.”
“Mbak Kiki tadi subuh ke sini, Mak? ”
“Iye…, udah sono jalan sekolah.
Entar telat. Sekolah yang bener lo! Jangan main mulu,”
“Iya, Mak. Abaw jalan ya,” ujar Abaw
sembari mencium tangan emaknya yang bau amis karena ikan asin yang sedang digorengnya.
Abaw tersenyum sepanjang jalan,
merasakan kelegaan luar biasa karena tunggakan buku dan ujiannya akan dilunasi.
Ia membayangkan cepat menyelesaikan kelas enam lalu mendapatkan ijazah dan bisa
meniru jejak Bang Iwan. Menjadi tukang parkir di hotel dekat pasar. Bang Iwan
sudah menjanjikannya, kalau ia memiliki ijazah SD semua akan lebih mudah. Sepulang
sekolah nanti ia berencana menemui Mbak Kiki langsung di rumahnya, ingin
mengucapkan terima kasih pada gadis itu.
***
Dua
minggu kemudian…
Sudah beberapa hari, Kiki merasa
tidak enak badan. Lelah sekali. Tapi ia tersenyum puas karena ia mampu
memberikan apa yang dibutuhkan oleh Abaw. Ia sudah menyayangi Abaw seperti
adiknya sendiri. Hanya Abaw yang benar-benar menghormatinya seperti kakak,
tidak seperti orang lain yang menganggapnya bodoh dan hanya menyukai kulit
putihnya saja.
“Ki, hari Kamis dua minggu yang lalu
kamu ke main ke mana habis maghrib?” tanya ibunya.
“Ke lapangan, Bu,”
“Kok tumben gak sama Abaw?”
“Abaw lagi belajar, Bu,”
“Ooh…, mau ujian ya dia. Terus kamu
main sama siapa di lapangan? Kok pulangnya malam gitu?”
“Kiki diam aja di lapangan, Bu,”
“Pantesan ibu perhatiin habis pulang
malam itu, kamu sering gak enak badan. Masuk angin tuh, lagian bengong aja di
lapangan. Besok-besok diam aja di rumah. Jangan ke lapangan, apalagi bongkaran.
Bahaya anak cewek ke sana. Kamu dengar kan kata ibu?!”
“Iya, Bu.”
Kiki terdiam. Ada satu hal yang tidak
ingin ia ceritakan pada ibunya. Ia telah berbohong. Dua minggu yang lalu ia ke
Bongkaran untuk membantu Abaw melunasi tunggakan sekolahnya. Ia melakukan apa
yang diajarkan Tante Nisa dari maghrib hingga pukul sembilan malam. Tiga lelaki
membawanya ke sebuah kamar sempit. Lalu entah mengapa pagi ini, perutnya
tiba-tiba terasa mual sekali.
***