Pages

04 February, 2014

Tentang film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

https://pbs.twimg.com/profile_images/378800000534446057/d71774adbfae707a93540752db1347e1.jpeg
diambil dari sini

Ini bukan review film, tapi lebih kepada kesan saya terhadap film tersebut. Sedari film itu dirilis, saya tidak terlalu antusias. Mengapa? Karena seringkali saya kecewa ketika sebuah novel diadaptasi menjadi sebuah film. Terutama film Indonesia. Walau rasanya kurang adil menyamaratakan penilaian yang jelas berbeda. Tidak akan pernah bisa kita bandingkan dua hal yang memang berbeda, itu bodoh namanya. Novel dalam rangkaian kata, media tulisan dibandingkan dengan film rangkaian acting, media visual/gambar. Jelaslah tak akan pernah sama. Ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Well, pada akhirnya saya memutuskan menonton film ini bukan karena cerita atau tertarik pada artis pemainnya. Melainkan karena ada seorang teman yang tergila-gila pada karakter tokoh utama cerita itu, dan dia sering mengutip dialognya. Dialog sastra di zamannya yang terasa lebay di zaman kini. Tapi menarik.

Sayangnya, tidak semua teman saya tertarik diajak menonton film klasik ini. Rasa penasaran saya menguat ketika saya dapati bahwa film ini hanya tersisa di satu bioskop Jakarta yakni Blok M square dan satu bioskop di Bogor yakni BTM. Wow! Hampir kecil kemungkinan untuk saya menontonnya. Tapi Tuhan maha baik, diijinkannya saya menonton di kota kedua yang saya sebut di atas. Ditemani sahabat lama semasa kuliah yang jarang saya temui karena kesibukan masing-masing. Wow! Sungguh indah skenario Tuhan ya...

Berbagai komentar kurang bagus banyak saya terima tentang film ini. Dari durasinya yang terlalu lama (hampir 3 jam), jalan ceritanya yang membosankan, bahasanya yang kaku, terlalu picisan, dan lainnya. Semua itu relatif menurut saya. Hanya saja, pada saat saya menonton film ini suasana, waktu, dengan siapa saya menonton mungkin memengaruhi. Bagi saya, film ini tidak membosankan karena saya fokus pada konflik tokoh utama, dialognya dan penggambaran setting di zamannya. Semua terasa pas. Saya larut dalam konflik batin yang dirasakan tokoh utama. Di usia saya saat ini, semua konflik itu terasa lebih nyata. Bahkan pemahaman tentang setting tahun 1930-an begitu menguatkan pada dialog dan sinematografinya. Bagi yang tidak memahami kurun waktu tersebut di Indonesia, tentulah tak akan mengerti dan merasa film ini terlalu lebay dan picisan. Menurut saya, dari rating 5 film ini layak mendapat 4.5.

Pelajaran yang saya dapatkan dari film ini pun lumayan banyak. Mengenai rasis kesukuan, makna persatuan, agama, dan tentunya yang mendominasi adalah cinta. Saya mengenali tanah kelahiran almarhum ayah saya yang belum pernah saya jejaki dalam hidup saya. Ada kebanggaan dan kemirisan tersendiri terhadap ranah Minang yang terkenal sebagai Serambi Madinah itu. Tempat lahirnya buya-buya yang hebat, salah satunya ya Buya HAMKA, penulis cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini. Betapa semakin besarnya rasa ingin menjejaki ranah Minang. Sebagian darah saya berasal dari sana, walau kadang saya tak mau mengakuinya.

Penokohan Hayati pun tak luput dari pandangan saya sebagai wanita. Betapa cantik itu luka, seperti judul novel Eka Kurniawan. Masih saja, perempuan hanya sebagai makmum, penurut, tak memiliki hak suara. Hayati oh hayati... Masih saja ada dirimu di zaman ini. Sangat disayangkan, saya agak gemas sebenarnya. Berilah Hayati hak bersuara. Terlalu egois bila semua harus mengikuti kata tetua tanpa mengindahkan kata hatimu sendiri.

Film Titanic versi Indonesia--menurut saya--ini saya apresiasi. Tak menyesal menontonnya.. Tak menyesal perjuangan memaksakan diri menonton film ini sebelum dicabut dari jadwal tayang bioskop.

Ah.. Sebagai penutup, saya kutip dua kalimat yang saya sukai di film Ini.
"Jangan kau kecewakan hati yang berlindung padamu." dialog Zainuddin pada Hayati ketika akan berpisah karena diusir.
"Percayalah, di dalam jiwaku ada suatu kekayaan yang kau perlukan. Belum pernah kekayaan ini kuberikan pada siapa pun. Termasuk pada Aziz, suamiku." Dialog dalam surat terakhir Hayati pada Zainuddin sebelum menaiki Kapal Van Der Wijck yang karam.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget