Pages

13 February, 2014

Tentang sabar

Mama selalu bilang jadi wanita itu harus super sabar. Apalagi nanti ketika jadi istri & ibu. Batas kesabarannya harus semakin diturunkan tiap saat, bahkan kalau bisa dihilangkan. Benar-benar sabar di atas sabar, tiada batas kesabaran itu. Dulu sih, aku selalu menyanggah bahwa itu hanya berlaku di zaman mama. Zaman sekarang mah, semua udah lebih pintar, maju dan memahami hak-hak wanita, setidaknya sabarnya ga sampe segitu ngoyonya lah. Soalnya udah pada ngerti bagaimana memperlakukan wanita, istri atau ibu dengan adil. Hukum pun mendukung. Kecuali lelaki yang keterlaluan begonya dan ga pekanya. Mama hanya tersenyum dan bilang bahwa suatu saat aku akan mengerti dan paham apa yang ia maksud.

Dan omongan mama terbukti saat ini. Sebenarnya sih pernah juga saat kuliah, sampai aku membuat tulisan "menggugat ikhwan" karena ketidakadilan itu. Kupikir hal itu hanya akan terjadi sekali di hidupku, saat kuliah saja. Dalam pikiranku yang naif dan bodoh ini, dengan yakinnya dunia kerja tidak akan meminta batas kesabaranku hingga sebegitu tingginya. Daaan... Semua salah. Untuk kali pertama, aku menumpahkan air mata. Bukan karena padatnya pekerjaan dan beban lain, melainkan karena menyayangkan sikap individu di dalamnya. Ketidakadilan begitu terasa bagiku. Mengapa semua harus dimengerti olehku? Sedang diriku tidak perlu dimengerti? Mengapa mereka memintaku untuk menjadi saint seiya tanpa mengajarkan caranya seperti apa, dan mencontohkan pun tidak! Helloooo... Aku memang diam, memperhatikan, tapi ketika saatnya aku terus tertekan dan merasa ini sudah tidak adil, aku bisa meradang dan mengamuk. Bahkan semut yang badannya kecil saja, diinjak ia menggigit, memberikan perlawanan. Apalagi aku?

Seberapa berat pun masalah, beban, insyaa allah aku terima. Yang tidak aku terima adalah caranya. Aku masih belum bisa mentolerir cara yang tidak sopan, cenderung tak peduli, ketika sebagian orang sedang membutuhkannya, isa malah seenaknya berbuat sesuka hati. Tak peduli ia sedang dirundung duka atau masalah pribadi. Setidaknya cobalah, posisikan diri di tempat orang lain sesekali. Tak puas jugakah ia dimengerti? *yaa.. Catatan untukku, harus sering bercermin lagi. Mungkin saja bila selama ini aku bercermin dengan cermin yang buram karena dosaku yang menghalanginya*

Memang tak bisa disalahkan, tapi aku tetap akan menuntutmu. Bertindaklah sebagaimana harusnya kamu bertindak. Aku memang bawel dan terlalu ceroboh dalam inisiatif bertindak. Tapi itulah kodratku sebagai wanita. Harus terus mengingatkan dan menuntutmu untuk menjadi pribadi yang (mendekati) sempurna. Bila kuturuti terus, kamu hanya akan menjadi bocah yang bersembunyi di badan orang dewasa. Sampai kapan?

Masalah konsekuensi, kukira kamu harusnya paham. Segala tindakanmu pasti akan menimbulkan konsekuensi. Kalau kamu lelah, kehabisan waktu, tandanya ada yang salah dengan manajemen waktu, pengenalan dan pengendalian dirimu. Saat ini aku kecewa berat, kecewaaa, kadung kecewa. Semoga saja, bukan memilih untuk tidak peduli, melainkan menurunkan batas kesabaranku. Antara dua pilihan itu, semoga Tuhan memberikan arahNya padaku.


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget