Pages

26 February, 2014

Tentang Kecewa

Rasanya, kita semua rentan kecewa.
Kecewa pada kehidupan kita saat ini, kecewa pada keadaan finansial, kecewa pada pasangan, kecewa pada keluarga, kecewa pada perusahaan dan rekan kerja, dan banyak kecewa lainnya. Bukan tidak bersyukur, seringkali kecewa berasal dari faktor eksternal. Hanya saja, yang mengelola perasaan itu tetaplah internal kita. Pintar-pintar menjadi proaktif, bukan orang yang reaktif sehingga mudah goyah terpengaruh beragam hal di luar kuasanya (faktor eksternal).

Namun kita kan manusia? Sesekali, kita lelah berbaik hati terus. Sesekali kita lelah menjadi orang yang memahami terus, kapan giliran kita dipahami? Yaa.. Tidak ada yang salah. Sesekali kecewa pun perlu dibiarkan, agar orang lain sadar sikap kita yang berbeda terjadi karena dia. Tapi itu "kalau" orangnya peka. Kalau gak? Yaah.. Sama aja kayak demo ke tembok. Dikacangin iya, ngambek, diam, capek-capek, orangnya mah sebodo kodok wae.

Setelah saya memahami rasa kecewa, mencoba menelaah dari beragam sisi. Ujung-ujungnya selalu kembali ke diri kita. Semua keputusan, kendali ada di diri kita. Tinggal kita pilih, mau keputusan jangka pendek atau jangka panjang? Jangka pendek berarti, memenangkan ego kita, namun hubungan baik akan retak selamanya.. Dan di kemudian hari akan ada risikonya. Jangka panjang berarti, mengalah untuk menang. Di sisi luar, orang-orang menilai "Ah, pasti dia akan minta maaf. Dia mana bisa/tahan marah lama-lama. Pasti dia yang akan hubungi gue duluan." Lalu kita dianggap lemah dan selalu menjadi yang memulai meminta maaf--walaupun belum tentu/jelas-jelas kita yang salah. Tapi hubungan baik tetap terjaga. Di kemudian hari, ada kemungkinan ketika kita tiada, mereka akan menyadarinya. Tak sadar pun tak apa. Setidaknya kita memenangkan nurani dan menyelamatkan hubungan baik. Toh hidup dengan satu musuh itu tidaklah membuat nyaman, walau kau memiliki seribu teman.

Dengan ragam perasaan terganggu (sebal, kesal, bosan) yang kemudian mempengaruhi komunikasi serta koordinasi kita--membuat malas berbicara dengan orang yang menyebalkan bagi kita, karena hati yang sudah terlalu lelah--adalah situasi berbahaya dalam hubungan apa pun. Serius, tidak ada perubahan berarti jika kita atau pun orang yang mengecewakan kita sama-sama cuek terhadap hal ini. So, ambillah inisiatif itu, untuk menyelamatkan hubungan. Sebab, jika kita merasa tidak puas terhadap satu dan lain hal, bukan tidak mungkin orang yang mengecewakan kita pun sedang dilanda hal yang sama. Bicarakanlah bersama.

Rasa kecewa, hanya dapat diobati dengan memaafkan secara penuh, mengikhlaskan, dan lakukan semata dengan niat ibadah kepada Allah. Meluruskan dan mengoreksi lagi niat awal kita. Sebab, jika kita berharap orang yang mengecewakan kita akan menghargai, yang ada adalah rasa kecewa yang lebih, jika ternyata orang itu pun bahkan tidak ngeh dengan sikap kita yang telah berusaha ramah, senyum dan ikhlas.

Perasaan kecewa harus dibicarakan. Luka harus disembuhkan. Sebab perasaan kecewa dan luka yang masih hidup dalam hati, sering dijadikan excuse sebagai alasan wajar mengecewakan dan menyakiti orang lain lagi. Bukankah sudah sering korban berpotensi besar menjadi pelaku?

Sudahlah... Semua ada di tangan kita. Kitalah penentu. Bukan berarti kita pasrah diinjak. Kita melawan, dengan cara yang baik. Tak lupa doa terus-menerus. Semoga Tuhan sang pembolak-balik hati berkenan membalikkan hati orang yang telah mengecewakan kita. Semoga Tuhan tidak sampai hati meletakkan orang itu di tempat yang sama saat kita mengalami hal ini. Semoga semuanya terselesaikan tanpa ada yang tersakiti. Dengan cara baik-baik, walau mungkin hasilnya tak baik.

Ini sekadar rasa dan pengalamanku tentang kecewa. Bagaimana denganmu?

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget