Pages

18 February, 2014

[Cerpen] Rahasia Kiki



Rahasia Kiki
By meta morfillah

Ke arah selatan dari stasiun Tanah Abang, tepatnya di ujung jalan kolong jembatan yang berbatasan dengan kali banjir kanal barat. Di sana terletak sebuah kampung kardus. Puluhan rumah non permanen yang terbuat dari kardus dan terpal plastik seperti menjamur di pinggir batas kali. Tidak jelas berapa jumlah orang yang tinggal di sana, karena banyak yang datang dan pergi di tiap rumah kardus tersebut. Di seberang kali itu, terkenal sebuah tempat lokalisasi dunia malam dan para pelacur murahan yang disebut dengan Bongkaran. Tiap malam akan terdengar suara musik dangdut dengan lirik yang liar, binal dan lampu ajeb-ajeb sebagai pengantar tidur. Tempat mangkal para supir truk-truk besar yang datang dari berbagai kota.
Abaw, bocah sebelas tahun itu telah terbiasa dengan ritme kehidupan di kolong jembatan. Baginya, itu normal saja. Asal jangan pernah menginjakkan kaki di bongkaran itu. Tempat itu terkenal angkernya. Ia dan Mbak Kiki—tetangga perempuannya yang berusia lima belas tahun, menderita down syndrome. Memiliki rupa ‘kembar seribu’, dengan ciri fisik seperti orang Mongoloid. Wajah datar dengan mata agak sipit, hidung pesek, dan lidah tebal sehingga ketika berbicara seperti cadel dan kadang tidak jelas. Namun kulitnya putih bersih seperti lilin—selalu diingatkan akan hal itu oleh orang tua mereka. Abaw dan Mbak Kiki tidak mengambil pusing. Toh, mereka sudah cukup capek menjalani kehidupan mereka sendiri. Pergi sekolah lalu menjadi ‘Pak Ogah’ di jalan, putaran depan Museum Tekstil demi membantu orang tua mereka yang bekerja sebagai pemulung. Kehidupan di kampung kardus itu hampir seragam. Kebanyakan adalah pemulung, pengamen, joki three in one, atau paling keren tukang ojek.
**
“Baw, lo dipanggil Bu Intan, tuh!”
Pasti soal uang buku dan surat itu lagi.
Abaw menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal lalu berjalan dengan lunglai menuju ruang guru yang terletak di sudut kiri sekolah itu. Seperti biasanya, Ibu Intan—wali kelasnya—duduk di pojok samping angklung.
“Permisi, Bu. Ibu manggil saya?”
“Iya, Abaw. Sini,” dengan isyarat tangannya, Ibu Intan menyuruhnya duduk.
“Hmm… begini Abaw, ibu memanggil kamu karena tunggakan buku dan uang ujian nasional. Kamu sudah menunggak buku selama enam bulan dan belum mencicilnya sedikit pun. Surat-surat yang ibu berikan untuk disampaikan ke orang tuamu, apakah sudah benar kamu sampaikan?”
“Sudah, Bu.”
“Sebentar lagi kita akan ujian nasional. Jadi kalau tidak kamu lunasi juga, bilang ke orang tuamu kamu tidak bisa ikut ujian dan rapormu ditahan, ya. Sampaikan surat ini ke orang tuamu. Ini surat peringatan terakhir dari sekolah.”
Abaw mengambil surat itu dari atas meja, mengangguk lalu ke luar dari ruangan itu dengan muka lesu.
***
“Baw, lagi sakit?”
“Gak, Mbak.”
“Kok dari tadi diem aje?” Mbak Kiki bertanya dengan logat ‘r’ khasnya yang tebal sehingga terdengar seperti orang berkumur.
“Mobil tuh, Mbak!”
Sebuah mobil Nissan Sporty hendak memutar. Abaw bergegas mengarahkannya, sedang Mbak Kiki menahan laju mikrolet yang lewat untuk mempersilakan mobil itu memutar.
“Yak... terus… terus… lanjut bang! MONYET, lu!” umpat Abaw ketika ada motor yang menyalip, hampir saja menabrak tubuh kecilnya.
“BEGO!!” teriak Mbak Kiki.
“Blo’on banget tuh orang. Gak sabar banget sih!” Abaw masih mengumpat sembari memasukkan pundi receh yang diberikan pengemudi Nissan Sporty tadi ke saku celananya.
“Lo gak apa-apa kan, Baw?”
Mbak Kiki memastikan keadaannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Gak apa-apa, Mbak.”
Abaw kembali diam. Menatap jalanan yang lumayan lancar.
“Mbak Kiki, habis ini kita ngamen yuk!”
“Jangan, Baw. Nanti diomelin Bang Juki. Lapak kita kan di sini,”
“Hmm…, kalau gitu nanti sore kita ngejoki aja yuk!”
“Dih, nanti diomelin Luluth loh! Kan joki juga banyak saingannya. Anak baru katanya harus ijin dulu,”
Abaw diam. Semua yang dikatakan Mbak Kiki memang benar. Tidak bisa seenaknya saja mencari uang di jalanan. Ada penguasa masing-masing lapak. Harus minta ijin dan belum tentu diijinkan karena banyak sekali saingannya. Menjadi ‘Pak Ogah’ di jalanan ini saja diijinkan oleh Bang Komar karena dia suka dengan Mbak Kiki. Abaw cukup beruntung mendapatkan kemudahan itu, karena Mbak Kiki adalah tetangganya dan sudah menganggap dia adik sedari kecil. Walau Mbak Kiki bodoh, tapi dia baik. Sering mentraktir Abaw es teh dan bihun dari hasil ‘Pak Ogah’ mereka.
“Kenapa sih lo tiba-tiba pengen ngamen dan ngejoki? Emang duitnya kurang?”
“Iya, Mbak. Buku sekolah sama uang ujian gw belum lunas. Kalau gak dilunasi minggu depan, gw gak bisa ikut ujian. Rapor gw ditahan terus gw gak lulus dah. Padahal kan gw pengen cepat-cepat lulus. Biar ada ijazah terus gw ngelamar jadi tukang parkir kayak Bang Iwan,”
“Ooh…, emang butuh duit berapa lo, Baw?”
“Rp 350.000, Mbak,”
“Pinjam aja sama Bang Komar,”
“Udah dicoba sama bapak. Tapi pada bokek juga semuanya, Mbak.”
“Tar gw coba cariin deh. Udah lo jangan sedih gitu selama ada gw mah,”
“Haha…, lo mau nyari di mana, Mbak? Ngerayu Bang Komar?”
“Haha…, gampanglah.”
***
“Nih, uangnya. Kasih ke Bu Guru, ya. Hati-hati bawanya!”
“Wah, dapat juga Mak pinjaman?” Abaw yakin itu bukan uang tabungan Emak atau Bapaknya. Untuk makan sehari-hari saja mereka susah apalagi untuk menabung. Pasti hasil meminjam.
“Bukan pinjaman. Dikasih sama Kiki tadi subuh. Tapi lo jangan bilang-bilang ke yang lain katanya. Bilang makasih sono sama dia. Udah banyak bantu banget dia. Walau bego tapi baik.”
“Mbak Kiki tadi subuh ke sini, Mak? ”
“Iye…, udah sono jalan sekolah. Entar telat. Sekolah yang bener lo! Jangan main mulu,”
“Iya, Mak. Abaw jalan ya,” ujar Abaw sembari mencium tangan emaknya yang bau amis karena ikan asin yang sedang digorengnya.
Abaw tersenyum sepanjang jalan, merasakan kelegaan luar biasa karena tunggakan buku dan ujiannya akan dilunasi. Ia membayangkan cepat menyelesaikan kelas enam lalu mendapatkan ijazah dan bisa meniru jejak Bang Iwan. Menjadi tukang parkir di hotel dekat pasar. Bang Iwan sudah menjanjikannya, kalau ia memiliki ijazah SD semua akan lebih mudah. Sepulang sekolah nanti ia berencana menemui Mbak Kiki langsung di rumahnya, ingin mengucapkan terima kasih pada gadis itu.
***
Dua minggu kemudian…
Sudah beberapa hari, Kiki merasa tidak enak badan. Lelah sekali. Tapi ia tersenyum puas karena ia mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh Abaw. Ia sudah menyayangi Abaw seperti adiknya sendiri. Hanya Abaw yang benar-benar menghormatinya seperti kakak, tidak seperti orang lain yang menganggapnya bodoh dan hanya menyukai kulit putihnya saja.
“Ki, hari Kamis dua minggu yang lalu kamu ke main ke mana habis maghrib?” tanya ibunya.
“Ke lapangan, Bu,”
“Kok tumben gak sama Abaw?”
“Abaw lagi belajar, Bu,”
“Ooh…, mau ujian ya dia. Terus kamu main sama siapa di lapangan? Kok pulangnya malam gitu?”
“Kiki diam aja di lapangan, Bu,”
“Pantesan ibu perhatiin habis pulang malam itu, kamu sering gak enak badan. Masuk angin tuh, lagian bengong aja di lapangan. Besok-besok diam aja di rumah. Jangan ke lapangan, apalagi bongkaran. Bahaya anak cewek ke sana. Kamu dengar kan kata ibu?!”
“Iya, Bu.”
Kiki terdiam. Ada satu hal yang tidak ingin ia ceritakan pada ibunya. Ia telah berbohong. Dua minggu yang lalu ia ke Bongkaran untuk membantu Abaw melunasi tunggakan sekolahnya. Ia melakukan apa yang diajarkan Tante Nisa dari maghrib hingga pukul sembilan malam. Tiga lelaki membawanya ke sebuah kamar sempit. Lalu entah mengapa pagi ini, perutnya tiba-tiba terasa mual sekali.
***

4 comments:

  1. bagus ceritanya mengalir lancar, tetapi lebih bagus lagi kalo endingnya ga langsung dijelaskan dengan kata-kata yang "langsung" ke tujuan yang dimaksud. mending pake kata kiasan *maaf sedikit mengkritik" =))

    ReplyDelete
  2. Dear Meta (ala email2 di mknows)...

    asli kali ini gw udah baca..... ahahhaha...

    gw mao komentar ah....
    ceritanya agak berat.. seberat badan gw... ahahahhaha... soalnya di cerita ini kan ceritanya 2 anak ini si abaw sama kiki itu anak DS, kayanya anak DS klo bercengkrama ngga seberat itu bahasanya... jadi, klo menurut gw (sok tau) dialognya kurang masuk akal, Tha...

    ahahahahha... sok iye dah gw.... sabar ya Tha...
    lup yu.. muach muach... keep writing....

    ReplyDelete
  3. Siaapp.. Makasih dear Chatel untuk masukannya. Akhirnyaaa, nyampe juga ke rumah tha (blog meta). Hak..hak..hak..

    ReplyDelete

Text Widget