Pages

17 February, 2014

17 Februari ketiga belas milik Bapak

“Selamat mengulang 17 Februari ketiga belas!” 

Biasanya aku melewatkan 16 Februari malam dengan mengenangnya dalam kesakitan, kepedihan dan keengganan. Menangisinya dalam sujud panjang yang mengingatkanku pada wajahnya yang selalu terbayang. Tapi, untuk kali pertama, hari ini aku tidak menangis. Sebagian karena memang aku lelah menangis. Sebagian karena aku sedang berdamai melalui senyum dan penerimaan atas kepergiannya. Jika boleh jujur, sampai kapan pun aku akan selalu berharap di suatu waktu agar ia tetap ada di sisiku. Tapi aku tak boleh egois bukan? Ketakwaan ialah menjalankan semua perintahNya, baik sukarela, senang hati atau pun terpaksa. Maka, walau terpaksa, dipaksa biasa tanpa kehadirannya selama tiga belas tahun ini, aku harus legowo.

Tahun ini, semakin banyak peristiwa yang mengingatkanku akan sosoknya. Beragam masalah yang memolesku untuk bersikap dewasa membuatku semakin merindu nasihatnya. Ada hal-hal yang tak dapat digantikan oleh sosok lain—pun mama—selain dirinya. Ada topik-topik yang hanya dimengerti olehnya. Dan aku butuh tahu itu, dari sudut pandang seorang ayah. Kamu tahu? Perasaan seperti ini sungguh menyiksa. Ingin sekali bercerita, namun tak ada tempatnya. Tapi tak mengapa, anak bapak semua hebat. Itulah caraku menghibur diri sendiri.

Pak… aku sedikit bergembira. Tahun ini suatu kemajuan pesat bagiku. Aku berhasil menerbitkan buku bersama lima belas penulis muda lainnya. Diriku layak dihargai, diapresiasi, walau kritikan pastilah datang bertubi. Tapi aku tak peduli. Aku harus terus menyayangi diri ini, membuatnya nyaman menjalani kehidupan bersama jiwaku ini. Tidak boleh sakit,,, itulah sugesti utamaku selama ini. Masih banyak hal yang harus kulakukan untuk memenuhi janjiku padamu. Menunaikan mimpi-mimpi yang belum tertuntaskan. Entah mimpi apa…, hanya kita yang mengerti.

Tiga belas tahun. Bahkan melebihi usiaku saat ditinggal pergi olehmu. Harusnya aku sudah tak secengeng dulu lagi ya Pak! Harusnya aku sudah menjadi furi, anakmu yang didoakan berjaya dan sukses di masa depannya. Apakah aku sudah sukses menurut kriteriamu, Pak? Aah… pertanyaan yang selalu akan menjadi pertanyaanku di tiap tahun. apakah aku sudah membanggakanmu? Atau justru aku semakin menyusahkanmu di sana? Ibadahku semakin tak ikhlas, tulus dan lebih asyik dengan duniaku?

Hari ini spesial, Pak. Kali pertama aku berhenti menangis dan mulai tersenyum mengenang kepergianmu tiga belas tahun lalu…. Bapakku sayang.


With love,
Meta morfillah  

No comments:

Post a Comment

Text Widget