Pages

30 April, 2014

Sehelai daun

Pada sebatang pohon kecil, hiduplah beberapa daun yang tumbuh bersama. Di antara daun-daun tersebut terdapat sebuah daun yang sangat besar dan kuat. Daun itu diagung-agungkan karena kekuatannya. Dialah yang dianggap pelindung bagi daun-daun lainnya dari badai, hujan, panas matahari yang terik, dan bahaya lainnya.

 
Suatu ketika datanglah musim kemarau yang panjang. Daun-daun di pohon kecil itu mulai layu karena tidak mendapat air dan makanan. Daun besar yang tadinya kuat dan besar mulai terlihat keriput. Ia berusaha melindungi daun-daun lainnya dari matahari yang bersinar sangat terik sehingga daun-daun sahabatnya itu tidak kehilangan air lebih banyak lagi. Hari berganti hari, daun besar itu sudah sampai pada puncak usahanya. Ia mulai sobek-sobek sehingga sinar matahari mulai menembusnya. Ia mulai kehilangan kekuatannya dan daun-daun lainnya pun sudah mulai mengabaikannya karena ia tidak kuat lagi seperti dulu.

Beberapa hari kemudian daun besar itu merasa tidak kuat lagi akhirnya ia berkata kepada teman-temannya,
"Teman-teman, aku tidak lagi mempunyai kekuatan untuk melindungi kalian, aku akan gugur. Selamat tinggal."

Setelah berkata demikian akhirnya daun besar itu pun gugur. Musim kemarau terus berlanjut, daun-daun di pohon kecil itu saling bertahan untuk hidup. Mereka sama sekali sudah melupakan daun besar yang telah berjasa melindungi mereka sehingga mereka dapat bertahan sampai sekarang. Musim kemarau tidak juga berakhir. Daun-daun di pohon kecil itu sudah mulai kehilangan harapan. Mereka merasa sangat kelaparan, kehausan dan akan mati.

Di saat mereka putus asa, tiba tiba dirasakan adanya air dan makanan dari tanah. Mereka terheran-heran akan adanya keajaiban itu. Setelah lama mencari-cari, mereka menyadarinya. Mereka melihat bahwa daun besar itu sudah membusuk dan menghasilkan air dan sari makanan bagi mereka. Akhirnya dengan air dan sari makanan dari daun besar tadi, daun-daun di pohon kecil itu berhasil bertahan sampai musim hujan datang. Daun-daun di pohon kecil itu sangat menyesal karena telah melupakan daun besar itu. Padahal sampai akhir hayatnya daun besar itu tetap menjadi pahlawan bagi daun-daun lainnya.

Renungan bagi kita,
Janganlah menilai seseorang dengan penampilan dan kekuatannya. Tuhan memberikan bantuan kepada kita melalui siapa saja bahkan melalui orang yang kita anggap telah jatuh dan hina. Ingatlah rencana Tuhan itu ajaib dan tidak pandang bulu terhadap semua hambanya.


29 April, 2014

[Cerpen] Perayaan



Perayaan
Meta morfillah

“Di, ceritakan padaku kisah patah hati,”
Aku menatap wanita di hadapanku dengan kening sedikit berkerut. Heran.
            “Jangan menatapku seperti itu. Bercerita saja. Aku hanya ingin mendengar ceritamu. Bukankah kamu penulis yang pandai bercerita? Anggap saja aku lembaran putih di Microsoft Wordmu, dan saat ini kamu sedang mengetikkan cerita di lembaran itu.”
            Keningku semakin berkerut dan mataku memicing menatapnya. Memastikan.
            “Kumohon,”
            Matanya seperti anak kecil yang memohon dibelikan mainan. Ah, wanita. Selalu saja membuatku tak berkutik. Tak tega aku menolak permintaannya. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling cafĂ©. Memastikan suasananya cukup pas untuk mendukung ceritaku. Lalu, mulailah aku bercerita.
***
“Datanglah, demi penghormatan terhadap masa lalu kita.”
Kalimat gadis di hadapannya bagaikan nyanyian kematian. Sepucuk undangan berwarna ungu dikombinasikan perak menegaskan surat pengantar kematian hati pemuda itu. Desember. Penutup tahun yang sungguh tepat dipilihnya. Segala kisah yang teramu ternyata berakhir seperti ini. Desember datang dengan gontai, meranggaskan pucuk-pucuk harapan dalam diri pemuda itu. Yang tersisa hanyalah keletihan yang tak mampu ia hadapi sendiri, seakan hidup segan mati tak mau. Sementara bagi sang gadis, Desember membawa pucuk yang akan bersemai dan berbunga. Balutan gaun pengantin nan indah, para tamu yang bersulang demi kebahagiaannya, diiringi lagu “From this moment” seperti yang dicitakan sang gadis.
“Kau akan datang, kan?”
“Aku belum tahu.”
“Aku sangat mengharapkan kedatanganmu, Adri. Berbahagialah untukku.”
Undangan.
Haruskah ia berbahagia dan menarikan tarian perayaan atas kematian hatinya? Tiba-tiba saja pemuda bernama Adri itu mengagumi segala kehancuran yang tiba-tiba dibawakan gadis di hadapannya. Desember seketika menjadi sebuah kotak hadiah yang berisikan zonk baginya. Semacam lelucon. Terdengar koor kesedihan dari ruangan lain, yang berasal dari kepalanya. Ia terseret ke dalamnya. Adri seakan berada di sebuah gedung pertunjukan teater. Menjadi penonton satu-satunya. Tarian itu lahir tanpa iringan musik. Gadis itu menjadi pusatnya. Wajah berbinar bahagia. Senyum tak lepas dari bingkai wajahnya yang sempurna. Senyum yang telah memikatnya dahulu. Senyum yang mampu menciptakan ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya. Pemuda itu melihat sang gadis berdiri menggandeng tangan seorang lelaki, yang seharusnya adalah dirinya, namun bukanlah dirinya. Para tamu tertawa tanpa suara. Tiada yang mengindahkan kehadirannya. Ada ataupun tiada dirinya, pertunjukan akan tetap berlangsung. Lalu ia keluar dari gedung itu, disambut jalanan yang basah karena hujan. Ia berjalan dalam diam, tanpa payung. Tubuhnya tidak basah, tapi hatinya hujan. Aah… siapa pun harus tetap melangkah walau dalam diam. Keseimbangan hidup hanya akan terjadi jika kita tetap melangkah. Seperti halnya bersepeda. Kita akan jatuh bila tak melangkahkan kaki untuk mengayuh pedal. Bergerak.
Maka tergeraklah hatinya untuk datang di 22 Desember, menghadiri perayaan kematian itu. Sang gadis tersenyum hangat melihat kehadirannya. Menyangka semua usai dengan baik, tidak ada yang perlu dicemaskan. Sementara bagi pemuda itu, waktu terhenti di tanggal 22 Desember. Ia tidak akan pernah menjadi pemuda yang sama lagi. Hingga akhir hidupnya.
***
            “Adri yang malang…”
            “Menurutmu begitu?”
            “Tentu saja. Waktu beranjak tua, namun ia tidak. Ia selalu terpaku pada 22 Desember di tahun pernikahan kekasihnya. Mantannya.”
            “Hmm… bagaimana kalau kukatakan kisah Adri ternyata belum berakhir?”
            “Loh? Bukankah tadi sudah selesai?”
            “Aku ini penulis. Bisa saja aku kembangkan cerita itu menjadi lebih panjang. Anggap saja, itu baru bab pertama,” aku menyeruput kopiku yang sudah dingin.
            “Tapi ceritamu tadi sudah bagus. Endingnya pas, mengapa harus kamu panjang-panjangkan lagi?”
            “Sebab hidup manusia penuh kejutan. Kukira cerita itu pun akan berakhir seperti itu. Namun nyatanya, Adri menemukan sebuah kesempatan kedua. Percayakah kamu?”
            “Wah, kalau begitu ini bukanlah kisah patah hati?”
            “Belum tentu juga,”
            Keningnya berkerut. Mulutnya mengerucut. Cemberut. Tandanya dia sebal akan kalimatku barusan. Aku tersenyum. Menikmati tiap detik bersamanya. Wajahnya semakin lucu.
            “Lalu ending seperti apa yang akan kamu berikan untuk Adri?” Ia mendengus sebal.
            “Itu semua bergantung padamu,”
            “Loh? Mengapa aku? Siapakah aku, hingga mampu menetapkan ending bagi Adri? Mengenalnya saja, tidak.”
            “Bagaimana jika kukatakan padamu, bahwa Adri adalah diriku. Dan kamu adalah wanita yang memberikan kesempatan kedua padaku. Maka ending cerita itu, akan bergantung padamu. Bila kamu menerima lamaranku, maka endingnya akan bahagia. Tidak lagi menjadi kisah patah hati. Tapi bila kamu menolakku, maka Adri akan kembali patah hati. Pulang dan memeluk gulingnya lagi. Berandai bahwa yang sedang dipeluknya itu adalah wanita yang baru saja menolaknya. Lalu ia akan terhenti pada kenangan hari ini. Bagaimana? Apakah kamu menerima lamaranku?”
            “A-apa? Apa baru saja kamu melamarku?”
***

*Tugas Keempat Kampus Fiksi 7
Membuat cerita dengan dua sudut pandang. Dalam cerita ini, saya memakai sudut pandang orang pertama (aku) dan sudut pandang orang ketiga.

28 April, 2014

[Cerpen] Bulan Jarak



Bulan Jarak
Meta morfillah

Bila bulan dua selalu disebut sebagai bulan penuh cinta, bulan merah muda—karena begitu maraknya perayaan kasih sayang di minggu kedua bulan itu—maka bulan tujuh adalah bulan jarak baginya. Bulan tujuh, bulan di mana cuaca mulai tak menentu. Kadang panas mentereng, kadang hujan lebat. Bulan kelahirannya. Bulan yang tidak terlalu dinantikannya. Sebab di bulan itu, ia mendapati beragam perpisahan, beragam jarak yang membuat dirinya semakin sepi. Bila dibolehkan, ia ingin menghapus bulan tujuh dari kalender hidupnya. Atau mungkin menghapus hidupnya? Sebab ia lahir di bulan tujuh itu.
***
Jarak pertama yang ia rasakan adalah saat bapak meninggal. Tepat seminggu setelah ulang tahunnya, di tanggal tujuh bulan tujuh saat berusia sebelas tahun. Ia belum mengerti benar memang, tentang kehilangan. Tapi, ia merasakan bahwa ada perubahan yang begitu nyata dalam hidupnya setelah bapak meninggal. Ibunya yang dahulu lebih sering berada di rumah, memasakkan makanan kesukaannya dan menemaninya sepanjang hari, kini menjadi jarang berada di rumah. Daster yang biasanya melekat pada tubuh ibunya, mendadak berganti menjadi baju yang agak ketat dan rok pendek. Wangi tubuh ibunya yang khas, berganti parfum yang menguar pekat. Membuatnya pusing dan harus menahan mual tiap kali ibunya datang. Ia merasa, saat bapaknya meninggal, ibunya juga ikut meninggal. Ia tak lagi mengenal ibunya dengan baik. Ia tumbuh menjadi gadis pendiam. Sebab ia tak tahu, harus berbicara pada siapa. Temannya tidak ada yang benar-benar peduli. Mereka hanya sibuk membicarakan tentang tren baju terbaru, cowok yang disukai dan artis-artis pujaannya. Ia sendiri. Sepi.
***
Saat ia berpikir bahwa ia akan selalu sendiri sampai akhir hidupnya, ternyata Tuhan berkata lain. Di bulan kesepuluh pada usianya yang kedua puluh tahun, ia bertemu lelaki itu. Lelaki sederhana, memiliki mata seperti biji lengkeng yang hitam, dengan kulit coklat yang terbakar matahari, dan rambut pendek yang tidak menyembunyikan keikalannya. Seorang guru Sekolah Dasar.
Ia selalu mengingat pertemuan pertamanya dengan lelaki itu. Saat itu hujan lebat dan langit sudah gelap semenjak ditinggalkan senja dua jam lalu. Ia berteduh di depan sebuah warung kopi. Mempertimbangkan apakah akan berlari menerobos hujan atau tetap setia menunggu hujan hingga reda.
“Mbak, mau pinjam payung saya?”
Ia menoleh ke asal suara yang berat itu. Didapatinya seorang lelaki kurus sedang tersenyum padanya sembari mengulurkan payung lipat berwarna hitam. Ia menggeleng dalam diam. Tidak mau berurusan dengan orang yang tidak dikenal.
“Tidak apa-apa, Mbak. Rumah saya dekat. Kalau Mbak tidak enak, besok bisa dititipkan lagi ke warung ini. Saya ke sini setiap hari.”
Ia menoleh lagi dan memperhatikan lelaki itu dengan seksama.
“Tidak usah takut, Mbak. Saya hanya menawarkan saja. Sebab saya lihat, dari tadi Mbak tidak memberhentikan bus yang lewat. Berarti tujuan Mbak sudah dekat dan mau ditempuh dengan berjalan, kan?”
Lelaki itu menangkap maksud serta keraguannya.
“Hujannya begitu deras, akan lama jika ditunggu. Dan ini sudah malam, kurang baik untuk perempuan seperti Mbak.”
Ia menatap mata lelaki itu. Untuk kali pertama, ia percaya pada mata asing itu. Ia mengambil payung itu dengan kikuk. Sebab, sudah lama tak ada yang memperhatikannya seperti itu.
“Saya harus mengembalikan payung ini atas nama siapa?”
“Bilang saja, titip untuk Edi.”
Sejak saat itu, pertemuan demi pertemuan berikutnya berlanjut. Lelaki itu—yang dipanggilnya dengan sebutan Mas Edi—membuatnya mau membuka diri dan lebih ceria. Ia jadi lebih sering tersenyum dan lebih hidup—padahal ia belum pernah mati. Hidupnya tak lagi terasa sepi.
Namun itu tak berlangsung lama. Bulan tujuh kembali menegaskan dirinya sebagai bulan jarak untuk wanita itu. Tepat di hari kesepuluh di bulan tujuh, setelah dua tahun kebersamaan mereka, Mas Edi membentangkan jarak yang begitu lebar. Ibunya tak memberi restu untuk kelanjutan hubungan mereka. Sebab perbedaan suku. Mas Edi berasal dari Madura, sedangkan ia meneruskan darah Minang dari ayahnya. Jarak kedua yang ia rasakan. Jarak antara dirinya dan kebahagiaan yang sempat dibayangkannya. Sakitnya lebih hebat dibandingkan kepergian bapak.
***
            Ia berdiri, mengintip-intip hujan dari balik jendela. Jendela yang sulit dibuka. Sudah berapa lama ia di sini? Ia tidak tahu.
Akhir-akhir ini, ia sering merindukan bapak dan ibunya. Orang-orang itu membuat dirinya kembali berjarak dengan bapak serta ibunya. Padahal, ia baru saja kembali merasa dekat dengan ibunya. Wangi tubuh ibunya telah kembali seperti dahulu. Tak tertutupi bau parfum yang menyengat. Ibunya lebih sering berada di rumah—lebih tepatnya tak beranjak keluar dari rumah. Walau ibunya tak lagi memasakkan makanan kesukaannya seperti dahulu, tapi ia bahagia. Ibunya kini menemani dan mendengarkan semua keluh kesahnya. Tak menyela sedikit pun. Itulah yang ia butuhkan. Telinga yang sudi mendengar. Ia tak lagi merasa kesepian. Ia kembali sayang pada ibunya. Namun, mereka—orang-orang berbaju putih itu—tak membebaskannya  keluar menemui ibunya atau pun ke makam bapaknya. Ia kembali merasakan kesepian itu.
***
            “Wanita itu begitu menyedihkan sekaligus gila! Mayat ibunya yang sudah mengelupas dibiarkannya di kamar. Bau busuknya begitu menyengat, mengalahkan bau bangkai tikus! Tapi saat dia mau dibawa ke rumah sakit ini, dia memeluk mayat ibunya dan mencium tangannya. Seakan bau itu tak mengganggu penciumannya.”
            Perawat itu bergidik ngeri saat mengatakan hal itu pada temannya.
            “Aku tak bisa membayangkan perasaan mual para petugas yang mengamankannya. Pasti begitu menjijikkan!”
            “Iya, aku saja yang mendengar cerita ini dari Putra, tak tahan membayangkannya. Wanita itu begitu kesepian dan tak mau ditinggalkan oleh ibunya. Ternyata kesepian membuat orang bisa segila itu!”
***
*Tugas ketiga Kampus Fiksi 7
Membuat konflik yang menarik. Hmm... sepertinya saya kurang berhasil (T___T)

Bersatu Dalam Bingkai Madani

Menikahlah

Dalam isyarat Nabi tentang Nikah, ialah sunnah teranjur nan memuliakan. Sebuah jalan suci untuk karunia sekaligus ujian# cinta-syahwati.Maka sebagai ibadah, memerlukan kesiapan dan persiapan. Ia untuk yang mampu, bukan sekedar mau. “Ba’ah” adalah parameter kesiapannya.

Maka berbahagialah mereka yang ketika hasrat hadir bergolak, sibuk mempersiapkan kemampuan, bukan sekedar memperturuntukan kemauan. Persiapan hendaknya segera membersamai datangnya baligh, sebab makna asal “Ba’ah” dalam hadits itu adalah “Kemampuan seksual.”

Imam Asy Syaukani dalam Subulus Salam, Syarh Bulughul Maram menambahkan makna “Ba’ah” yakni: kemampuan memberi mahar dan nafkah. Mengompromikan “Ba’ah” di makna utama (seksual) dan makna tambahan (mahar, nafkah), idealnya anak lelaki segera mandiri saat baligh.

Jika kesiapan diukur dengan “Ba’ah”, maka persiapannya adalah proses perbaikan diri nan tak pernah usai. Ia terus seumur hidup.

Izinkan saya membagi Persiapan dalam 5 ranah:
  1. Ruhiyah, 
  2. ‘Ilmiyah,
  3. Jasadiyah (Fisik),
  4. Maaliyah (Finansial),
  5. Ijtima’iyah (Sosial)
Persiapan perlu start awal. Salim menikah usia 20 tahun, tapi karena persiapannya dimulai umur 15 tahun, maka tak bisa disebut tergesa.Sebaliknya, ada orang yang nikah-nya umur 30 tahun, tapi persiapan penuh kesadaran baru dimulai umur 29,5 tahun. Itu namanya tergesa-gesa.

Kita mulai dari yang pertama; Persiapan Ruhiyah. Ialah nan paling mendasar. Segala persiapan lainnya berpijak pada yang satu ini. Persiapan Ruhiyah (Spiritual) ada pada soal menata diri menerima ujian dan tanggungjawab hidup nan lebih berlipat, berkelindan. (QS Ali Imran 14): Sebelum nikah ujian kita linear: pasangan hidup. Begitu berjejalin: pasangan, anak, harta, gengsi, investasi. Sebelum Nikah, grafik hidup kita analog dengan amplitudo kecil. Setelah menikah, ia digital variatif; kalau bukan nikmat, ya musibah.

Maka termakna jua dalam Persiapan Ruhiyah terkait adalah kemampuan mengelola sabar dan syukur menghadapi tantangan-tantangan itu. Sabar dan syukur itu semisal tentang pasangan; ia keinsyafan bahwa tak ada yang sempurna. Setiap orang memiliki lebih dan kurangnya. Khadijah itu lembut, penyabar, penuh pengertian, dan dukung penuh perjuangan. Tapi tak semua lelaki mampu beristeri jauh lebih tua. ‘Aisyah: cantik, cerdas, lincah, imut. Tapi tak semua lelaki siap dengan kobar cemburunya nan sampai banting piring di depan tamu.

Persiapan Ruhiyah adalah mengubah ekspektasi menjadi obsesi. Dari harapan akan apa nan diperoleh, menuju nan apa akan dibaktikan. Jika masih terbayang sebagai berikut: lapar ada yang masakin, capek ada yang mijitin, baju kotor dicuciin. Itu ekspektasi. Bersiaplah kecewa.

Ekspektasi macam itu lebih tepat dipuaskan oleh tukang masak, tukang pijit, dan tukang cuci;) Ber-obsesilah dalam Nikah. “Apa obsesimu?”

Obsesi sebagai Persiapan Ruhiyah semisal: Bagaimana kau akan berjuang sebagai suami/isteri ayah/ibu untuk mensurgakan keluargamu? Usai itu, di antara persiapan Ruhiyah adalah menata ketundukan pada segala ketentuanNya dalam rumah tangga dan masalah-masalahnya.

Lalu persiapan ‘Ilmiyah-Tsaqafiyah (Pengetahuan) Nikah, meliput banyak hal semisal Fiqh, Komunikasi Pasangan, Parenting, Manajemen, dan lain-lain. Bukan Ustadz-pun, tiap muslim harus sampai pada batas minimal lmu syar’i nan dibutuhkan dalam berhidup, berinteraksi, berkeluarga

Lalu tentang komunikasi pasangan; seringnya masalah rumahtangga bukan krn ada maksud jahat,melainkan maksud baik nan kurang ilmu Nikah. Sungguh harus diilmui bahwa lelaki dan perempuan diciptakan berbeda dengan segala kekhasannya, untuk saling memahami dan bersinergi.

Contoh beda hadapi masalah dan tekanan; Wanita: berbagi, didengarkan, dimengerti. Lelaki: menyendiri, kontemplasi, rumuskan solusi Nikah.

Bayangkan jika perbedaan itu dibawa dalam sikap dengan asumsi: “Aku mencintaimu seperti aku ingin dicintai” Konflik pasti meraja. Suami pulang dengan masalah berat disambut isteri yang memaksa ingin tahu dan dengar problemnya, padahal ia ingin sendiri dan bersolusi.

Lihatlah Khadijah saat Muhammad pulang dari Hira’ dengan panik dan resah. Dia tak bertanya, dia sediakan ruang sendiri dan kontemplasi. Sebaliknya, isteri yang sdg ingin didengar lalu curhat ke suami, suami malah tawarkan solusi. Padahal dia hanya ingin dimengerti.

Isteri: “Mas aku capek, rumah berantakan bla-bla-bla.”

Suami: “OK, kita cari pembantu. “

Istri: “O, jadi aku dianggap pembantu?!.”

Suami: “Lho?!”

Beda lagi: Suami single tasking, bisa marah kalau isterinya nan multitasking memintanya kerjakan beberapa hal berangkai-rangkai.

Beda lagi: Isteri sering berkalimat tak langsung nan tak difahami suami. Istri: ”Mas, Salma belum dijemput, aku masih harus masak!”

Jawab suami: “Oh, kalau gitu biar nanti Salma pulang sendiri”

Dijamin para isteri gondok, sebab maksudnya: “Tolong jemput Salma!”

Beda. Bagi suami masalah harus disederhanakan (Spiral ke dalam). Bagi isteri, tiap detail dan keterkaitan sangat penting (Spiral keluar)

Dan banyak lagi beda yang jika tak diilmui potensial jadi masalah serius.

Next: Parenting. Waktu kita sempit; belum puas belajar jadi suami/isteri, tiba-tiba sdh jadi ayah/ibu. Maka segeralah belajar jadi Ortu. Anak adalah karunia yang hiasi hidup, amanah (lahir dalam fitrah, kembalikan ke Allah dalam fitrah), pahala, sekaligus fitnah (ujian).

Maka mengilmui hingga detail-detail kecil soal parenting adalah niscaya. Contohnya hadits: renggutan kasar pada bayi membekas di jiwa.

Uji kecil buat calon ibu dan ayah: “Apa yang anda lakukan saat anak lari-larian di depan rumah lalu gabruss, jatuh berdebam?”

Lazim: “Sudah dibilang, jangan lari-lari! Tuh, jatuh kan!” Anak belajar untuk menganggap dirinya selalu bersalah dalam hidupnya.

Lazim: “Iih, batunya nakal ya Nak! Sini Ibu balaskan!” Anak belajar salahkan keadaan sekitar untuk excuse dari kurangnya ikhtiyar.

Lazim: “Hm, nggak apa-apa, nggak sakit, cuma kayak gitu!” Ketakpekaan. Hati-hati dibalas saat kita sdh tua dan sakit-sakitan.

Alangkah bahaya tiap huruf dari lisan bg masa depan anak kita. Latihlah dia agar lempang (tanpa dusta dan tipu) dalam taqwa (QS 4: 9)

Kita masuk persiapan Jasadiyah (Fisik) untuk. Ini jua perkara penting sebab terkait dengan keamanan, kenyamanan, dan ketenagaan. Awal-awal, periksa dan konsultasilah ke dokter atas termungkinnya segala penyakit tubuh, lebih-lebih nan terkait kesehatan reproduksi

Pernikahan itu utuh di segala sisi diri, maka menjalani terapi dan rawatan tertentu untuk membaikkan fisik adalah jua hal yang utama. Fisik kita dan pasangan bertanggungjawab lahirkan generasi penerus yang lebih baik. Maka perbaiki daya dan staminanya sejak sekarang.

Perbaiki pola asup, tata gizi seimbang. Allah akan mintai tg jawab jajan sembarangan jika ia jadi sebab jeleknya kualitas penerus Bangun kebiasaan olahraga ilmiah; tak asal gerak tapi membugarkan, menyehatkan, melatih ketahanan. Tugas fisik berlipat 3 setelahnya.

Jadi, target persiapan fisik itu 3 tingkatan;

1. primer: sehat dan aman penyakit, 2. sekunder: bugar dan tangkas, 3. tersier: beauty dan charm

Selanjutnya, persiapan Maliyah (finansial), ini yang paling sering menghantui dan membuat ragu sepertinya. Padahal ianya sederhana. Konsep awal; tugas suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan dan penegasan kepemimpinan suami. Ingat dan catat: Persiapan finansial sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, dan kendaraan yang harus anda punya.

Persiapan finansial bicara tentang kapabilitas hasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, dan kemampuan kelola sejumlah apapun ia. Maka memulai pernikah-an, BUKAN soal apa anda sudah punya tabungan, rumah, dan kendaraan. Ia soal kompetensi dan kehendak baik menafkahi.

‘Ali ibn Abi Thalib memulai bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain-lain dari sumbangan kawan dihitung hutang oleh Nabi. Tetapi ‘Ali menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja jadi kuli air dengan upah segenggam kurma.

Maka sesudah kompetensi dan kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja -apapun ia-, iman menuntun: itu buat kaya (QS 24: 32)

Agak malu, Salim juga minus saat nikah; hutang yang terrencanakan terbayar dalam 2 tahun menurut proyeksi hasil kerja saat itu. Tetapi Allah Maha Kaya, dan menjadi pintu pengetuknya. Hadirnya isteri menjadi penyemangat; hutang itu selesai dalam 2 bulan.

Buatlah proyeksi nafkah secara ilmiah dan executable, JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan kejutanNya.

Kemapanan itu tidak abadi. Saya memilih di usia 20 saat belum mapan agar tersiapkan isteri untuk hadapi lapang maupun sempitnya. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut penelitian Linda J. Waite (Psikolog UCLA), signifikan memperkuat ikatan cinta

Ketidakmapanan nan dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan jantung, meningkatkan angka harapan hidup. Karolinska Institute: kemapanan lemahkan daya tahan jantung terhadap serangan. Di Swedia, biasanya yang kena infark langsung wafat PNS

Persiapan yang sering terabai ialah nan kelima ini: Ijtima’iyah (Sosial). Pernikahan adalah peristiwa yang kompleks secara sosial. Sebuah pernikahan yang utuh punya visi dan misi kemasyarakatan untuk menjadi pilar kebajikan di tengah kemajemukan suatu lingkungan. Untuk itu, mereka yang akan me hendaknya mengasah keterampilan sosialnya jauh-jauh hari, sekaligus sebagai bagian pendewasaan.

Membiasakan mengkomunikasikan prinsip-prinsip nan diyakini terkait pernikahan dan kehidupan kepada Orangtua bisa jadi bagian dari latihan.

Prinsip Quran tentang hubungan dengan Ortu ialah ‘persahabatan’, Wa Shaahibhuma (QS Luqman 15). Gunakan itu untuk dewasakan diri. Maka kadang Salim menilai kedewasaan kawan yang ingin menikah dengan keberhasilannya untuk komunikasikan prinsip pada Ortu scr ma’ruf. Persiapan kemasyarakatan: kumpulkan modal sosial sebanyak-banyaknya; bahasa, ilmu sosio-antropologis, kelincahan organisasi, dan lain-lain.

Pernikahan kita harus hadir sbg pengokoh kebajikan masyarakat, bukan beban ataupun pelengkap-penderita. Utama lagi, jadi pelopor. Mulailah dengan perkenalan berkesan pada lingkungan. Saat walimah nanti; tetangga rumah tinggal setelah adalah yang plg berhak diundang. Jika harus pindah tempat tinggal, mulai juga dengan perkenalan. Para tokoh: datangi silaturrahim. Masyarakat umum: undang tasyakuran.

Setelah itu, target besarnya adalah menjadikan pintu rumah kita sebagai yang paling pertama diketuk saat masyarakat sekitar memerlukan bantuan. Tentu berat menopangnya sendiri. Maka yang harus kita punya bukan hanya ASET, melainkan juga AKSES. Bangun jaringan saling menguatkan.

Ilmuilah bagaimana cara menguruskan jaminan kesehatan miskin, beasiswa tak mampu, biaya RS, mobil jenazah gratis, dan lain-lain demi tetangga kita.

Tampillah sebagai yang penting dan bermanfaat dalam hajat-hajat kebahagiaan maupun duka tetangga, juga rayaan-rayaan sosial-masyarakat. Tampillah sebagai yang terbaik sejangkau sesuai kemampuan; Imam Masjid, muadzin, Guru TPA, Bendahara RT, Ketua RW, Pendoa jenazah, dan seterusnya.

Tampillah sebagai nan paling besar kontribusi dalam kebaikan-kebaikan sosial: Agustusan, Syawalan, Kerja Bakti, Arisan, Pengajian, dan seterusnya. Ringkas kata untuk persiapan sosial ini adalah bermampu diri untuk menjadi pribadi dan keluarga yang aman, ramah, bermanfaat.

Salim A Fillah
28 April 2014

Text Widget