Pages

02 April, 2014

[Cerpen] Sarah dan Ingatan yang Membelukar

Sarah dan Ingatan yang Membelukar
Meta morfillah

Tidak berarti kamu mengetahui banyak hal, lantas kamu akan memiliki banyak kawan.
Percayalah padaku. Aku telah membuktikan kalimat itu. Aku menyaksikan banyak peristiwa. Beragam hal yang kadang tak ingin kulihat, namun tetap terlihat karena posisiku. Mungkin aku menyimpan ingatan lebih banyak daripada ingatan yang membelukar di kepalamu. Tak percaya? Coba saja, kau tanyakan padaku apa yang ingin kau ketahui.
Saat macet seperti ini misalnya, anak kecil di sebelahku yang sedang duduk menatap langit senja. Ia bernama Jul. Sehari-hari ia mengamen dengan suaranya yang cempreng dan tak enak didengar. Bahkan di usianya yang masih muda itu, ia tak mengerti apa yang terjadi pada hidupnya. Tapi aku tahu.
Bagaimana caraku mengetahuinya?
Maaf saja, aku tak pernah kepo pada hal apa pun. Semua itu kuketahui karena gossip yang beredar dari mulut ke mulut. Cukup diam saja, tak perlu menyuruh orang bercerita. Mereka sendiri yang akan bercerita padamu. Sebab manusia memang makhluk yang senang berbicara, mengeluh, dan menjelek-jelekkan sesamanya. Mengenai Jul, aku mengetahui tentangnya di suatu sore beberapa waktu lalu.
***
“Kasihan si Jul,” ujar Ida. Ida adalah salah satu pengamen wanita yang sudah lama bergelut di dunia jalanan ini.
“Emang si Jul kenapa?” tanya Nani, yang asyik memetik ukulele di sampingnya.
“Punya emak tapi enggak ngurusin. Malah asyik nyabo[1]. Padahal kan duit nyabo pasti banyak, ngapain coba dia ngamen.”
“Buat makan, Mpok. Dia kan enggak dikasih makan sama emaknya. Orang emaknya benci banget sama Jul.”
“Dih, tega amat! Gw sih walau susah masih ngasih anak gw makan. Emak apaan kayak begitu.”
“Katanya sih, dia benci sama Jul karena tuh anak mirip banget sama bapaknya. Lo liat aje muka si Jul, Mpok! Kalau enggak dekil mah tuh anak ganteng, cakep. Sayang aja enggak diurus.”  
Ida memperhatikan muka Jul yang sedang mengamen di antara mobil dari jauh.
“Iya juga, ya, cakep tuh anak sebenarnya. Emang bapaknya siapa, sih?”
“Katanya sih cinta pertamanya dulu. Terus pas buntingin dia, ninggalin gitu aja. Malah nikah sama cewek lain. Lagi blo’on percaya aja sama laki. Padahal mah udah dibilangin jangan gampang percaya sama laki. Sekalinya tuh laki dapat yang dimau, ya kita dibuang. Terus gara-gara hamil itu, dia dikeluarin dari kerjaannya di bar. Katanya sih, dia udah beberapa kali nyoba aborsi, tapi si Jul kuat. Ga mati-mati. Karena butuh duit, makanya dia jadi nyabo, buat makan dan ngelahirin Jul. Terus si Jul jadi aenggak bego gitu gara-gara obat-obat yang dia minum dulu.”
***
Itu baru tentang Jul, yang sehari-hari bergaul denganku. Sering memeluk dan bersandar padaku jika dia lelah. Aku pun tahu tentang orang-orang lain yang hanya melintas sesaat. Seperti wanita itu, yang sedang menatap kosong padaku dari dalam kopaja 07. Namanya Tata.
Mengapa? Kalian bingung dari mana aku tahu namanya?
Tentu saja dari peristiwa yang terjadi enam bulan lalu. Aku tahu ia bekerja di sebuah daerah Jakarta Utara sana, karena ia selalu melewatiku setiap pagi dan malam selama dua tahun terakhir. Aku pun masih mengingat jelas kali pertama mengetahui namanya.
***
Hujan lebat sedari sore mengguyur Jakarta. Tak terkecuali tempatku berdiri. Seorang wanita meletakkan bungkusan hitam di sampingku. Aku tak tahu apa isinya, dan tak menaruh peduli padanya. Ia tampak begitu asing. Karena hujan, tidak ada seorang pun yang memperhatikannya. Jalanan pun jadi lebih sepi, karena semua memilih berteduh dan menunda perjalanan pulang mereka. Bungkusan itu baru diketahui isinya setelah hujan reda. Seorang bocah pemulung yang penasaran menengok isi bungkusan itu dan mukanya berubah pias seketika. Lalu, bocah pemulung itu bergegas ke arah pos polisi lalu lintas yang terletak di seberang jalan. Tak lama, ia kembali ke tempatku berdiri bersama seorang polisi lalu lintas. Setelah memastikan isi bungkusan yang ditunjukkan bocah pemulung itu, sang polisi terlihat sibuk menghubungi kantornya. Lalu beberapa orang yang melintas dan hendak menyeberang, menjadi terusik rasa ingin tahunya. Mereka bingung melihat polisi yang menjagai tempat itu. Mereka bertanya pada sang polisi. Lalu sejam kemudian suasana menjadi ramai. Tempat itu diberi pita polisi khusus berwarna kuning dengan garis hitam yang dilabeli “Do not cross the line”. Pertanda tidak boleh ada yang masuk ke dalam area yang dilingkari pita tersebut kecuali yang berkepentingan.
Seorang pengamen berkata pada temannya, “Seram amat, itu anak dimutilasi. Terus dibuang gitu aja pake kresek item. Gila!”
Saat itu, aku belum tahu nama wanita itu adalah Tata. Hingga sehari kemudian, dia datang menghampiriku bersama polisi lain yang mengurus perkara itu. Wajahnya tampak kusut, matanya terlihat sembap dan tubuhnya bergetar sembari memandang tak percaya ke arah kakiku.
“Di sini kami menemukan jenazah adik ibu Tata. Seorang bocah pemulung yang menemukannya di sebuah trash bag hitam. Dalam keadaan dimutilasi. Untuk keterangan lebih jelasnya, Ibu Tata akan diberitahukan di kantor sekalian menandatangani berita acaranya. Mari, Bu.”
Polisi itu mengarahkan Tata untuk segera berpindah dari posisinya dan memaksanya berhenti memandangi kakiku.

Begitulah caraku mengenal Tata.
***
Dari sekian manusia yang kukenal dan pernah melintas atau bersinggungan dengan hidupku, Sarah adalah yang teristimewa. Gadis itu tinggal di dekat Kali Pedongkelan. Tak jauh dari tempatku berdiri kini. Hanya Sarah yang sering mengajakku berbincang dan bahkan sering memeluk serta menciumku di tengah keramaian. Biasanya ia akan datang sore hari, menjelang maghrib. Tepat saat jalanan sedang macet-macetnya. Seperti saat ini. Aku sudah menunggunya sejak tadi.
Nah, itu dia datang!
Kali ini baju yang dikenakannya robek-robek namun menutupi tubuhnya yang lumayan berisi. Seperti biasa, ia datang dan langsung memelukku. Dari mulutnya, mengalir cerita yang sama, yang berulang kali ia ceritakan padaku. Tapi tak apa, aku tak bosan mendengarkan cerita itu kembali. Orang-orang yang tengah jemu dengan kemacetan menatap kami. Tepatnya, pandangan mata mereka lebih tertuju pada Sarah. Salah seorang anak lelaki yang dibonceng ayahnya menunjuk Sarah dan berkata, “Ayah, itu orang gila, ya? Masak ngobrol sama lampu merah!”
***
     




[1] Kegiatan melacurkan diri.



*Terpilih dalam 6 Cerpen Pilihan Editor #KampusFiksi7
**Dibuat dalam waktu 3 jam, mulai pukul 13.00-16.00, Sabtu, 29 Maret 2014

No comments:

Post a Comment

Text Widget