Sarah
dan Ingatan yang Membelukar
Meta
morfillah
Tidak
berarti kamu mengetahui banyak hal, lantas kamu akan memiliki banyak kawan.
Percayalah padaku. Aku
telah membuktikan kalimat itu. Aku menyaksikan banyak peristiwa. Beragam hal
yang kadang tak ingin kulihat, namun tetap terlihat karena posisiku. Mungkin
aku menyimpan ingatan lebih banyak daripada ingatan yang membelukar di
kepalamu. Tak percaya? Coba saja, kau tanyakan padaku apa yang ingin kau
ketahui.
Saat macet seperti ini
misalnya, anak kecil di sebelahku yang sedang duduk menatap langit senja. Ia
bernama Jul. Sehari-hari ia mengamen dengan suaranya yang cempreng dan tak enak
didengar. Bahkan di usianya yang masih muda itu, ia tak mengerti apa yang
terjadi pada hidupnya. Tapi aku tahu.
Bagaimana caraku
mengetahuinya?
Maaf saja, aku tak
pernah kepo pada hal apa pun. Semua
itu kuketahui karena gossip yang
beredar dari mulut ke mulut. Cukup diam saja, tak perlu menyuruh orang
bercerita. Mereka sendiri yang akan bercerita padamu. Sebab manusia memang makhluk
yang senang berbicara, mengeluh, dan menjelek-jelekkan sesamanya. Mengenai Jul,
aku mengetahui tentangnya di suatu sore beberapa waktu lalu.
***
“Kasihan si Jul,” ujar
Ida. Ida adalah salah satu pengamen wanita yang sudah lama bergelut di dunia
jalanan ini.
“Emang si Jul kenapa?”
tanya Nani, yang asyik memetik ukulele di sampingnya.
“Punya emak tapi enggak
ngurusin. Malah asyik nyabo[1].
Padahal kan duit nyabo pasti banyak,
ngapain coba dia ngamen.”
“Buat makan, Mpok. Dia
kan enggak dikasih makan sama emaknya. Orang emaknya benci banget sama Jul.”
“Dih, tega amat! Gw sih
walau susah masih ngasih anak gw makan. Emak apaan kayak begitu.”
“Katanya sih, dia benci
sama Jul karena tuh anak mirip banget sama bapaknya. Lo liat aje muka si Jul, Mpok!
Kalau enggak dekil mah tuh anak ganteng, cakep. Sayang aja enggak diurus.”
Ida memperhatikan muka
Jul yang sedang mengamen di antara mobil dari jauh.
“Iya juga, ya, cakep
tuh anak sebenarnya. Emang bapaknya siapa, sih?”
“Katanya sih cinta
pertamanya dulu. Terus pas buntingin dia, ninggalin gitu aja. Malah nikah sama
cewek lain. Lagi blo’on percaya aja sama laki. Padahal mah udah dibilangin
jangan gampang percaya sama laki. Sekalinya tuh laki dapat yang dimau, ya kita
dibuang. Terus gara-gara hamil itu, dia dikeluarin dari kerjaannya di bar.
Katanya sih, dia udah beberapa kali nyoba aborsi, tapi si Jul kuat. Ga
mati-mati. Karena butuh duit, makanya dia jadi nyabo, buat makan dan ngelahirin
Jul. Terus si Jul jadi aenggak bego gitu gara-gara obat-obat yang dia minum dulu.”
***
Itu baru tentang Jul,
yang sehari-hari bergaul denganku. Sering memeluk dan bersandar padaku jika dia
lelah. Aku pun tahu tentang orang-orang lain yang hanya melintas sesaat.
Seperti wanita itu, yang sedang menatap kosong padaku dari dalam kopaja 07.
Namanya Tata.
Mengapa? Kalian bingung
dari mana aku tahu namanya?
Tentu saja dari
peristiwa yang terjadi enam bulan lalu. Aku tahu ia bekerja di sebuah daerah
Jakarta Utara sana, karena ia selalu melewatiku setiap pagi dan malam selama
dua tahun terakhir. Aku pun masih mengingat jelas kali pertama mengetahui
namanya.
***
Hujan lebat sedari sore
mengguyur Jakarta. Tak terkecuali tempatku berdiri. Seorang wanita meletakkan
bungkusan hitam di sampingku. Aku tak tahu apa isinya, dan tak menaruh peduli padanya.
Ia tampak begitu asing. Karena hujan, tidak ada seorang pun yang
memperhatikannya. Jalanan pun jadi lebih sepi, karena semua memilih berteduh
dan menunda perjalanan pulang mereka. Bungkusan itu baru diketahui isinya
setelah hujan reda. Seorang bocah pemulung yang penasaran menengok isi
bungkusan itu dan mukanya berubah pias seketika. Lalu, bocah pemulung itu
bergegas ke arah pos polisi lalu lintas yang terletak di seberang jalan. Tak
lama, ia kembali ke tempatku berdiri bersama seorang polisi lalu lintas.
Setelah memastikan isi bungkusan yang ditunjukkan bocah pemulung itu, sang
polisi terlihat sibuk menghubungi kantornya. Lalu beberapa orang yang melintas
dan hendak menyeberang, menjadi terusik rasa ingin tahunya. Mereka bingung
melihat polisi yang menjagai tempat itu. Mereka bertanya pada sang polisi. Lalu
sejam kemudian suasana menjadi ramai. Tempat itu diberi pita polisi khusus
berwarna kuning dengan garis hitam yang dilabeli “Do not cross the line”.
Pertanda tidak boleh ada yang masuk ke dalam area yang dilingkari pita tersebut
kecuali yang berkepentingan.
Seorang pengamen
berkata pada temannya, “Seram amat, itu anak dimutilasi. Terus dibuang gitu aja
pake kresek item. Gila!”
Saat itu, aku belum
tahu nama wanita itu adalah Tata. Hingga sehari kemudian, dia datang
menghampiriku bersama polisi lain yang mengurus perkara itu. Wajahnya tampak
kusut, matanya terlihat sembap dan tubuhnya bergetar sembari memandang tak
percaya ke arah kakiku.
“Di sini kami menemukan
jenazah adik ibu Tata. Seorang bocah pemulung yang menemukannya di sebuah trash
bag hitam. Dalam keadaan dimutilasi. Untuk keterangan lebih jelasnya, Ibu Tata
akan diberitahukan di kantor sekalian menandatangani berita acaranya. Mari, Bu.”
Polisi itu mengarahkan
Tata untuk segera berpindah dari posisinya dan memaksanya berhenti memandangi
kakiku.
Begitulah caraku
mengenal Tata.
***
Dari sekian manusia
yang kukenal dan pernah melintas atau bersinggungan dengan hidupku, Sarah
adalah yang teristimewa. Gadis itu tinggal di dekat Kali Pedongkelan. Tak jauh
dari tempatku berdiri kini. Hanya Sarah yang sering mengajakku berbincang dan
bahkan sering memeluk serta menciumku di tengah keramaian. Biasanya ia akan
datang sore hari, menjelang maghrib. Tepat saat jalanan sedang macet-macetnya.
Seperti saat ini. Aku sudah menunggunya sejak tadi.
Nah, itu dia datang!
Kali ini baju yang
dikenakannya robek-robek namun menutupi tubuhnya yang lumayan berisi. Seperti
biasa, ia datang dan langsung memelukku. Dari mulutnya, mengalir cerita yang
sama, yang berulang kali ia ceritakan padaku. Tapi tak apa, aku tak bosan
mendengarkan cerita itu kembali. Orang-orang yang tengah jemu dengan kemacetan
menatap kami. Tepatnya, pandangan mata mereka lebih tertuju pada Sarah. Salah
seorang anak lelaki yang dibonceng ayahnya menunjuk Sarah dan berkata, “Ayah,
itu orang gila, ya? Masak ngobrol sama lampu merah!”
***
[1]
Kegiatan melacurkan diri.
*Terpilih dalam 6 Cerpen Pilihan Editor #KampusFiksi7
**Dibuat dalam waktu 3 jam, mulai pukul 13.00-16.00, Sabtu, 29 Maret 2014
No comments:
Post a Comment