Pages

29 April, 2014

[Cerpen] Perayaan



Perayaan
Meta morfillah

“Di, ceritakan padaku kisah patah hati,”
Aku menatap wanita di hadapanku dengan kening sedikit berkerut. Heran.
            “Jangan menatapku seperti itu. Bercerita saja. Aku hanya ingin mendengar ceritamu. Bukankah kamu penulis yang pandai bercerita? Anggap saja aku lembaran putih di Microsoft Wordmu, dan saat ini kamu sedang mengetikkan cerita di lembaran itu.”
            Keningku semakin berkerut dan mataku memicing menatapnya. Memastikan.
            “Kumohon,”
            Matanya seperti anak kecil yang memohon dibelikan mainan. Ah, wanita. Selalu saja membuatku tak berkutik. Tak tega aku menolak permintaannya. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling café. Memastikan suasananya cukup pas untuk mendukung ceritaku. Lalu, mulailah aku bercerita.
***
“Datanglah, demi penghormatan terhadap masa lalu kita.”
Kalimat gadis di hadapannya bagaikan nyanyian kematian. Sepucuk undangan berwarna ungu dikombinasikan perak menegaskan surat pengantar kematian hati pemuda itu. Desember. Penutup tahun yang sungguh tepat dipilihnya. Segala kisah yang teramu ternyata berakhir seperti ini. Desember datang dengan gontai, meranggaskan pucuk-pucuk harapan dalam diri pemuda itu. Yang tersisa hanyalah keletihan yang tak mampu ia hadapi sendiri, seakan hidup segan mati tak mau. Sementara bagi sang gadis, Desember membawa pucuk yang akan bersemai dan berbunga. Balutan gaun pengantin nan indah, para tamu yang bersulang demi kebahagiaannya, diiringi lagu “From this moment” seperti yang dicitakan sang gadis.
“Kau akan datang, kan?”
“Aku belum tahu.”
“Aku sangat mengharapkan kedatanganmu, Adri. Berbahagialah untukku.”
Undangan.
Haruskah ia berbahagia dan menarikan tarian perayaan atas kematian hatinya? Tiba-tiba saja pemuda bernama Adri itu mengagumi segala kehancuran yang tiba-tiba dibawakan gadis di hadapannya. Desember seketika menjadi sebuah kotak hadiah yang berisikan zonk baginya. Semacam lelucon. Terdengar koor kesedihan dari ruangan lain, yang berasal dari kepalanya. Ia terseret ke dalamnya. Adri seakan berada di sebuah gedung pertunjukan teater. Menjadi penonton satu-satunya. Tarian itu lahir tanpa iringan musik. Gadis itu menjadi pusatnya. Wajah berbinar bahagia. Senyum tak lepas dari bingkai wajahnya yang sempurna. Senyum yang telah memikatnya dahulu. Senyum yang mampu menciptakan ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya. Pemuda itu melihat sang gadis berdiri menggandeng tangan seorang lelaki, yang seharusnya adalah dirinya, namun bukanlah dirinya. Para tamu tertawa tanpa suara. Tiada yang mengindahkan kehadirannya. Ada ataupun tiada dirinya, pertunjukan akan tetap berlangsung. Lalu ia keluar dari gedung itu, disambut jalanan yang basah karena hujan. Ia berjalan dalam diam, tanpa payung. Tubuhnya tidak basah, tapi hatinya hujan. Aah… siapa pun harus tetap melangkah walau dalam diam. Keseimbangan hidup hanya akan terjadi jika kita tetap melangkah. Seperti halnya bersepeda. Kita akan jatuh bila tak melangkahkan kaki untuk mengayuh pedal. Bergerak.
Maka tergeraklah hatinya untuk datang di 22 Desember, menghadiri perayaan kematian itu. Sang gadis tersenyum hangat melihat kehadirannya. Menyangka semua usai dengan baik, tidak ada yang perlu dicemaskan. Sementara bagi pemuda itu, waktu terhenti di tanggal 22 Desember. Ia tidak akan pernah menjadi pemuda yang sama lagi. Hingga akhir hidupnya.
***
            “Adri yang malang…”
            “Menurutmu begitu?”
            “Tentu saja. Waktu beranjak tua, namun ia tidak. Ia selalu terpaku pada 22 Desember di tahun pernikahan kekasihnya. Mantannya.”
            “Hmm… bagaimana kalau kukatakan kisah Adri ternyata belum berakhir?”
            “Loh? Bukankah tadi sudah selesai?”
            “Aku ini penulis. Bisa saja aku kembangkan cerita itu menjadi lebih panjang. Anggap saja, itu baru bab pertama,” aku menyeruput kopiku yang sudah dingin.
            “Tapi ceritamu tadi sudah bagus. Endingnya pas, mengapa harus kamu panjang-panjangkan lagi?”
            “Sebab hidup manusia penuh kejutan. Kukira cerita itu pun akan berakhir seperti itu. Namun nyatanya, Adri menemukan sebuah kesempatan kedua. Percayakah kamu?”
            “Wah, kalau begitu ini bukanlah kisah patah hati?”
            “Belum tentu juga,”
            Keningnya berkerut. Mulutnya mengerucut. Cemberut. Tandanya dia sebal akan kalimatku barusan. Aku tersenyum. Menikmati tiap detik bersamanya. Wajahnya semakin lucu.
            “Lalu ending seperti apa yang akan kamu berikan untuk Adri?” Ia mendengus sebal.
            “Itu semua bergantung padamu,”
            “Loh? Mengapa aku? Siapakah aku, hingga mampu menetapkan ending bagi Adri? Mengenalnya saja, tidak.”
            “Bagaimana jika kukatakan padamu, bahwa Adri adalah diriku. Dan kamu adalah wanita yang memberikan kesempatan kedua padaku. Maka ending cerita itu, akan bergantung padamu. Bila kamu menerima lamaranku, maka endingnya akan bahagia. Tidak lagi menjadi kisah patah hati. Tapi bila kamu menolakku, maka Adri akan kembali patah hati. Pulang dan memeluk gulingnya lagi. Berandai bahwa yang sedang dipeluknya itu adalah wanita yang baru saja menolaknya. Lalu ia akan terhenti pada kenangan hari ini. Bagaimana? Apakah kamu menerima lamaranku?”
            “A-apa? Apa baru saja kamu melamarku?”
***

*Tugas Keempat Kampus Fiksi 7
Membuat cerita dengan dua sudut pandang. Dalam cerita ini, saya memakai sudut pandang orang pertama (aku) dan sudut pandang orang ketiga.

No comments:

Post a Comment

Text Widget