Cinta
mati
Meta
morfillah
Wanita itu bangun dan
menyibak tirai biru di kamarnya. Langit
masih gelap, namun suara azan sayup-sayup terdengar dari masjid kampung
sebelah. Subuh datang semakin cepat. Dia bergegas ke dapur, menjerang air panas
untuk membuat teh manis hangat untuk suaminya. Tidak boleh terlambat. Sebab hal
itu akan memperburuk suasana hati suaminya. Dia tidak ingin membuat suaminya
merasa kecewa padanya. Tidak lagi.
“Ini tehnya, Mas.”
Dia meletakkan teh
manis itu di meja samping tempat tidur suaminya. Lalu mulai merapikan rumah. Menyapu,
mengepel dan tak lupa menyemprotkan pengharum ruangan kesukaan suaminya. Wangi
lavender yang lembut, sama seperti dirinya—kata suaminya. Lalu ia mandi dan
bergegas mengenakan pakaian yang pernah dipuji oleh suaminya, saat ia
memakainya. Lalu menyemprotkan parfum beraroma vanila—hadiah suaminya di tahun
ketiga pernikahan mereka—ke leher, belakang telinga dan punggung tangannya. Ia
ingin membuat suaminya selalu nyaman bersamanya.
“Aku akan ke pasar
untuk berbelanja. Akan kumasakkan makanan kesukaanmu. Tidurlah lebih lama,
sebab ini hari Minggu.”
Dia tersenyum manis
setelah membisikkan kalimat itu pada suaminya yang terbaring di tempat tidur.
Senyum yang—lagi-lagi kata suaminya—membuat suaminya jatuh cinta padanya.
Dia dan suaminya tinggal
di ujung jalan perkampungan yang merupakan jalan buntu. Mereka berdua sengaja
memilih rumah itu, sebab menyukai ketenangannya. Dia dan suaminya bukan orang
yang suka keramaian. Bukan berarti anti sosial, hanya saja tidak ingin
melibatkan diri mereka dengan lingkungan sekitar karena tak ingin dijadikan
bahan pergunjingan. Yaa… bahkan di perkampungan seperti ini, lidah manusia
tetap tak bertulang dan sering kali menyebarkan berita-berita tak enak. Itulah
salah satu sebab dia lebih suka berbelanja ke pasar yang agak jauh,
dibandingkan tukang sayur di dekat rumahnya. Setidaknya, di pasar tidak ada
yang akan bertanya basa-basi, padahal ingin mengorek informasi tentang rumah
tangganya.
Sekembalinya dari
pasar, ia segera ke dapur, memasakkan makanan kesukaan suaminya. Ayam rica-rica
pedas, dengan lalapan daun selada, daun kemangi dan mentimun. Dengan lihai, dia
memotong dan membagi ayam—yang utuh dan bulat—tersebut menjadi beberapa bagian.
Kepala, dada, sayap, paha dan ceker. Lalu memetik daun kemangi dan memotong
daun selada serta mentimun. Menyiapkan bumbu-bumbu, dan mencucinya di ruang yang
terletak di sebelah kiri dapur kecilnya. Sebuah ruang terbuka yang dipisahkan
sebuah pintu. Dia membuka kunci pintu itu. Matahari telah naik sepenggalah.
Cahaya hangat matahari menyentuh pori-pori pipinya yang lembut dan putih.
Cahaya itu tak memantul kembali, melainkan seolah meresap dan terus meresap
mendiami rongga-rongga kecil di balik kulitnya. Memunculkan rona merah di
pipinya.
Merasa kegerahan, dia
menggulung rambut hitamnya yang panjang sepinggang dengan khas. Menyisakan
anak-anak rambut yang menggoda untuk disentuh. Dia melanjutkan aktivitasnya
dalam diam. Angan-angannya melambung, kembali pada percakapan seminggu lalu
dengan suaminya.
***
“Lin,
aku ingin berbicara serius denganmu.”
“Kenapa,
Mas? Tak biasanya Mas mengajak bicara saat mau tidur. Tak bisakah esok pagi
saja?”
“Ini
penting, Lin.”
Wanita
itu memahami kegusaran suaminya. Walau mengantuk, dia paksakan duduk tegap
kembali dan menghadapkan wajahnya pada suaminya.
“Aku
mencintaimu. Kamu mengerti, kan?”
Dia
mengangguk.
“Aku
juga menyayangi ibu,”
Ah!
Dia sudah dapat menebak ke mana arah pembicaraan ini. Topik yang sama, selama
tiga tahun lebih pernikahan mereka. Wajahnya berubah sendu. Kelabu.
“Kamu
tahu, kan, aku anak satu-satunya. Aku tak dapat menyalahkan mereka, atas
keinginan mereka memiliki cucu dariku. Aku—”
“Lalu
apa solusi ibu untuk hal ini?” dia memotong perkataan suaminya, tak tahan
mendengar pemojokan itu kembali.
“Aku
harus menikahi Lastri bulan depan. Atau harus menceraikanmu.”
“…”
“Bagaimana?
Aku selalu ingat perjanjian kita, bahwa aku tak akan pernah menceraikanmu.”
“Ya
sudah, aku terima keputusan ibu. Sekarang aku lelah, aku mau tidur.” Dia
membaringkan tubuhnya dan membelakangi suaminya. Percakapan itu telah selesai.
Selalu saja, ia harus mengalah. Padahal, ada hal-hal yang di luar kuasanya. Air
mata bergulir dari sudut matanya. Ia menangis dalam diam. Tak bersuara.
***
“Mas,
masakannya sudah matang.”
Lelaki itu tetap diam
dalam tidurnya. Wajahnya tampak damai, wajah yang mencintai dan dicintainya.
“Bila aku tak dapat
memilikimu seutuhnya, maka tidak juga Lastri, ibu atau lainnya, Mas. Aku sayang
kamu.”
Lembut, dia mengusap pipi lelaki itu. Dingin. Lalu
mengecup bibirnya lembut dan menyemprotkan parfum vanila—hadiah suaminya di
tahun ketiga pernikahan mereka—ke seluruh tubuh mayat lelaki itu. Yaa… Lelaki
itu sudah menjadi mayat selama enam hari, sejak dia racuni makanannya dengan
racun tikus.
***
*Tugas 2 KF: Tokoh Villain yang dicintai pembaca
kebanyakan nonton fox crime lu, Tha....
ReplyDelete