Pages

14 April, 2014

[Cerpen] Cinta mati



Cinta mati
Meta morfillah

Wanita itu bangun dan menyibak tirai biru di kamarnya.  Langit masih gelap, namun suara azan sayup-sayup terdengar dari masjid kampung sebelah. Subuh datang semakin cepat. Dia bergegas ke dapur, menjerang air panas untuk membuat teh manis hangat untuk suaminya. Tidak boleh terlambat. Sebab hal itu akan memperburuk suasana hati suaminya. Dia tidak ingin membuat suaminya merasa kecewa padanya. Tidak lagi.
“Ini tehnya, Mas.”
Dia meletakkan teh manis itu di meja samping tempat tidur suaminya. Lalu mulai merapikan rumah. Menyapu, mengepel dan tak lupa menyemprotkan pengharum ruangan kesukaan suaminya. Wangi lavender yang lembut, sama seperti dirinya—kata suaminya. Lalu ia mandi dan bergegas mengenakan pakaian yang pernah dipuji oleh suaminya, saat ia memakainya. Lalu menyemprotkan parfum beraroma vanila—hadiah suaminya di tahun ketiga pernikahan mereka—ke leher, belakang telinga dan punggung tangannya. Ia ingin membuat suaminya selalu nyaman bersamanya.
“Aku akan ke pasar untuk berbelanja. Akan kumasakkan makanan kesukaanmu. Tidurlah lebih lama, sebab ini hari Minggu.”
Dia tersenyum manis setelah membisikkan kalimat itu pada suaminya yang terbaring di tempat tidur. Senyum yang—lagi-lagi kata suaminya—membuat suaminya jatuh cinta padanya.
Dia dan suaminya tinggal di ujung jalan perkampungan yang merupakan jalan buntu. Mereka berdua sengaja memilih rumah itu, sebab menyukai ketenangannya. Dia dan suaminya bukan orang yang suka keramaian. Bukan berarti anti sosial, hanya saja tidak ingin melibatkan diri mereka dengan lingkungan sekitar karena tak ingin dijadikan bahan pergunjingan. Yaa… bahkan di perkampungan seperti ini, lidah manusia tetap tak bertulang dan sering kali menyebarkan berita-berita tak enak. Itulah salah satu sebab dia lebih suka berbelanja ke pasar yang agak jauh, dibandingkan tukang sayur di dekat rumahnya. Setidaknya, di pasar tidak ada yang akan bertanya basa-basi, padahal ingin mengorek informasi tentang rumah tangganya.
Sekembalinya dari pasar, ia segera ke dapur, memasakkan makanan kesukaan suaminya. Ayam rica-rica pedas, dengan lalapan daun selada, daun kemangi dan mentimun. Dengan lihai, dia memotong dan membagi ayam—yang utuh dan bulat—tersebut menjadi beberapa bagian. Kepala, dada, sayap, paha dan ceker. Lalu memetik daun kemangi dan memotong daun selada serta mentimun. Menyiapkan bumbu-bumbu, dan mencucinya di ruang yang terletak di sebelah kiri dapur kecilnya. Sebuah ruang terbuka yang dipisahkan sebuah pintu. Dia membuka kunci pintu itu. Matahari telah naik sepenggalah. Cahaya hangat matahari menyentuh pori-pori pipinya yang lembut dan putih. Cahaya itu tak memantul kembali, melainkan seolah meresap dan terus meresap mendiami rongga-rongga kecil di balik kulitnya. Memunculkan rona merah di pipinya.
Merasa kegerahan, dia menggulung rambut hitamnya yang panjang sepinggang dengan khas. Menyisakan anak-anak rambut yang menggoda untuk disentuh. Dia melanjutkan aktivitasnya dalam diam. Angan-angannya melambung, kembali pada percakapan seminggu lalu dengan suaminya.
***
            “Lin, aku ingin berbicara serius denganmu.”
            “Kenapa, Mas? Tak biasanya Mas mengajak bicara saat mau tidur. Tak bisakah esok pagi saja?”
            “Ini penting, Lin.”
            Wanita itu memahami kegusaran suaminya. Walau mengantuk, dia paksakan duduk tegap kembali dan menghadapkan wajahnya pada suaminya.
            “Aku mencintaimu. Kamu mengerti, kan?”
            Dia mengangguk.
            “Aku juga menyayangi ibu,”
            Ah! Dia sudah dapat menebak ke mana arah pembicaraan ini. Topik yang sama, selama tiga tahun lebih pernikahan mereka. Wajahnya berubah sendu. Kelabu.
            “Kamu tahu, kan, aku anak satu-satunya. Aku tak dapat menyalahkan mereka, atas keinginan mereka memiliki cucu dariku. Aku—”
            “Lalu apa solusi ibu untuk hal ini?” dia memotong perkataan suaminya, tak tahan mendengar pemojokan itu kembali.
            “Aku harus menikahi Lastri bulan depan. Atau harus menceraikanmu.”
            “…”
            “Bagaimana? Aku selalu ingat perjanjian kita, bahwa aku tak akan pernah menceraikanmu.”
            “Ya sudah, aku terima keputusan ibu. Sekarang aku lelah, aku mau tidur.” Dia membaringkan tubuhnya dan membelakangi suaminya. Percakapan itu telah selesai. Selalu saja, ia harus mengalah. Padahal, ada hal-hal yang di luar kuasanya. Air mata bergulir dari sudut matanya. Ia menangis dalam diam. Tak bersuara.
***
            “Mas, masakannya sudah matang.”
Lelaki itu tetap diam dalam tidurnya. Wajahnya tampak damai, wajah yang mencintai dan dicintainya.
“Bila aku tak dapat memilikimu seutuhnya, maka tidak juga Lastri, ibu atau lainnya, Mas. Aku sayang kamu.”
 Lembut, dia mengusap pipi lelaki itu. Dingin. Lalu mengecup bibirnya lembut dan menyemprotkan parfum vanila—hadiah suaminya di tahun ketiga pernikahan mereka—ke seluruh tubuh mayat lelaki itu. Yaa… Lelaki itu sudah menjadi mayat selama enam hari, sejak dia racuni makanannya dengan racun tikus.
***

*Tugas 2 KF: Tokoh Villain yang dicintai pembaca

1 comment:

Text Widget