Pages

10 April, 2014

Perihal kesadaran memilih

Sudah banyak tulisan tentang PEMILU dan GOLPUT. Tulisan ini, bukanlah ikut-ikutan, hanya ingin memberikan warna lain pada ragam tulisan tentang hal tersebut. Murni dari perspektif saya yang awam.

Ramai nian orang membicarakan politik, terutama menjelang 9 April. Hari ini... Iyaa... Hari iniii. Berseliweran ragam simpatisan di medsos, dari partai merah, hijau, biru, kuning, hingga putih. Pelangi pun kalah warna. Banyak pula tulisan pro dan kontra. Menggugat partai anu, menyinggung partai ono, dan melarang untuk jadi simpatisan partai itu. Saya menyimak. Iyaa.. Menyimak. Sampai kadang tersenyum simpul, tak jarang pula tersenyum getir. Menyayangkan bila ada sikap simpatisan--yang tak jarang saya kenal dekat--terlalu berlebihan. Memuja partainya dan menjelek-jelekkan partai lain. Wajar? Manusiawi? Iyaa.. Paham. Tapi setiap orang merendahkan sesuatu, efek utama dan pertamanya adalah orang tersebut yang direndahkan duluan. Kasihan kan partainya? #eeh

Lebih miris lagi, ketika berkampanye membawa-bawa agama. Iyaa.. Agama. Saya pun memahami--sepemikiran saya yang masih dangkal--bahwa politik dan agama adalah dua hal yang berbeda, namun berhubungan. Dalam matematika, disebut union, bukan irisan. Agama adalah lingkaran A (utama) yang mencakup politik sebagai lingkaran B (kedua). Maka, dalam beragama, niscaya Anda akan berpolitik. Niscaya loh! Makanya dibilang, beragamalah secara kaffah (menyeluruh). Mau tak mau, suka tak suka, politik adalah salah satu sub babnya. Tapi caranya itu.. Saya kurang suka bila, berkampanye memainkan agama. Maksudnya, memakai embel-embel agama untuk saling menyinggung partai lain. Apakah kompetensi, kredibilitas sang calon kurang cukup? Toh, tak usah digembor-gemborkan harusnya bila dia memang baik, kiprahnya meluas, ceritanya akan diketahui khalayak luas. Makanya, jangan lupa menulis, untuk para calon. Sebab sejarah ditulis oleh pemenang toh. Yaa.. Itu pendapat saya. Boleh setuju, boleh tidak.

Fenomena lain yang menarik, adalah banyaknya simpatisan partai fiktif. Partai fiktif? Emang ada? Ada... Iya, ada! Namanya partai golput. Tidak pernah terlihat wujudnya, kampanyenya, tapi simpatisannya banyak! Keren ya? Ini merupakan gejala menarik. Sebab, dari pengamatan saya, kebanyakan mereka menjawab tak mau memilih, sebab tak ada pilihan yang mengaspirasi pemikiran mereka, juga karena kurangnya sosialisasi pemerintah--belum tahu dan kurang paham latar belakang calon-calonnya. Sosialisasi, yaa.. Memang masih kurang. Saya sendiri baru lihat CV para calon H-1. Iyaa.. Baru kemarin. Tapi CV itu pun tak "berbunyi". Kurang menjelaskan detail kiprah para calon sejauh ini bagi masyarakat. Hanya mereka-mereka yang punya nama besar saja, yang saya kenali. Lagi-lagi permainan politrik media berperan. Selama ini iklan-iklannya juga kurang mencerminkan profil para calon, menurut saya loh! Kalau pun ada, cuma beberapa. Yaa.. PR tentang sosialisasi ini adalah PR bersama, jangan seenaknya saja menyalahkan pemerintah, KPU, dll. Toh tingkat kesadaran (awareness) kita pun banyak yang belum terbangun. Merasa tak ada kaitan langsung dengan kehidupan pribadi kita, jadi cuek sama pesta rakyat ini.

Mengenai golput yang disebabkan rasa kecewa. Nah ini... Saya ketawa. Boleh kan ya, ketawa? Habisnya saya beranalogi gini, banyak yang bilang 'Life is choice', tapi ketika disuruh memilih, mereka tak mau memilih. Lucunya lagi, tidak memilih itu adalah pilihan. Setahu saya sih, cuma ada dua pilihan: memilih A atau B. Kalau tidak memilih mah, pengecut namanya. Cari aman, ndak mau disalahkan. Analogi lainnya gini deh, bila calon itu kita anggap calon pendamping. Misal, ada banyak calon yang mengajukan diri jadi imam (pendamping) kita kelak. Nah.. Semuanya ga ada yang kredibel menurutmu. Tak ada yang sempurna. Lantas, kamu gak mau memilih? Kamu mau jadi jomblo seumur hidup? Terus kamu koarkan pada dunia... Ini pilihanku! Hanya karena gak ada yang sempurna untukmu, semua mengecewakan. Hellooo.. Sampai mati pun gak akan ada yang sempurna. Ingat, hidup penuh risiko. Salah satu tindakan berani adalah mengambil risiko dan mempertanggungjawabkannya. Makanya, dianjurkan sih sebelum nyoblos ya dialog dulu sama Tuhan. Semoga diberikan yang terbaik, dapat memilih terbaik, dan calon yang kamu pilih adalah terbaik di antara yang ada. Minimal besar manfaat, dibanding mudharat. Oh maaf, bila para jomblo merasa analogi ini kurang relevan. Maafkan saya.

Terus inti dari tulisan ini apa sih?
Mau kampanye? Ndak kok, udah selesai pula masa kampanye. Saya hanya ingin membantu membangun kesadaran (awareness) untuk datang, memilih, memberikan hak suara yang sudah diberikan dan dihalalkan, demi kepedulian terhadap negeri ini. Ikhlaslah dalam memilih, walau mungkin nantinya pilihan Anda salah. Konsekuensi. Percayalah, filosofi perangkap tikus (silakan baca blog saya tentang hal ini) akan berlaku di hidup ini. Akan ada dampak besar yang berpengaruh terhadap hidup kita ke depannya. Jangan egois, dengan menjadi safety player. Oh, come on... Pilihlah yang terbaik walau dari yang terburuk. Sebab, tidak memilih itu hanyalah pembenaran atas sikap ketakpedulian dan kepengecutan Anda. In my humble opinion.

Lalu, kalian penasaran siapa dan dari partai mana yang akan saya pilih? Oh come on.. Fitrah dan mahkota wanita itu rasa malu. Kadang diamnya adalah "Ya". Jangan didesak, saya akan malu. Cobalah mengerti, saya pemalu. Jadi.. Saya akan merahasiakannya. Salah satu aspek PEMILU ada LUBER, di mana huruf terakhirnya adalah R, RAHASIAAAAAA. Tapi saya kasih tahu satu rahasia deh! Saya sudah punya pilihan pasti. Pasti nyoblos! Hehhe...

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget