Pages

08 April, 2014

Perihal cinta pertama dan rindu

(Mungkin) cinta pertama anak laki-laki adalah ibunya. Pun sebaliknya.
Cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya.

Tentunya tidak dalam arti harfiah. Itu sih pemikiran asal saya saja. Hanya karena mereka (mungkin) lawan jenis pertama yang dikenali saat membuka mata. Sentuhan pertama dari lawan jenis pun dimulai oleh mereka. Sifat-sifatnya, yang diidamkan sebagai idola, karena ia adalah role model pertama yang kita kenali, bukan?

Semua anak lelaki, akan mendambakan pendamping yang mampu memanjakan seperti ibunya, mendukung sepenuh hati tanpa pamrih, selalu ada dan siap memberikan pelukan dan meminjamkan telinganya. Pun semua anak perempuan, akan mendambakan sosok pendamping seperti ayahnya, yang melindungi, memberikan rasa aman, dan membuatnya merasa menjadi perempuan tercantik dan teristimewa.

Tapi itu adalah impian. Terpenuhi atau tidaknya belum diketahui. Bila terpenuhi, mungkin itu sebuah anugerah. Bila tidak, belum tentu sebuah musibah. Mungkin saja, Tuhan ingin memberikan warna dalam kehidupan kita. Celupan warna yang berbeda, yang membuat kita saling mengenal dan menyadari ada tipikal-tipikal manusia tertentu yang unik. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Tidak harus kamu memudarkan cirimu hanya untuk menjadi dia yang diinginkan oleh pasanganmu. Jangan! Tidak semua hal harus kamu tiru. Tentunya akan lebih bijak, bila kamu mampu menentukan warnamu sendiri, diperkaya warna lain yang indah, yang mampu kamu petik dari manusia lain. Tapi, jangan pernah melunturkannya, hanya karena omongan-omongan orang lain yang membisingkan gendang telingamu. Proses pencapaian ini, tak pernah dikatakan mudah. Namun selalu ada caranya. Selalu. Belajar dari kesalahan. Belajar dan terus belajar.

Sama seperti rindu.

Tidak semua rindu itu harus dikatakan. Lebih banyak yang sebaiknya disimpan dalam diam; apalagi jika rindu tersebut dalam bentuk hubungan yang tidak sesuai rambu-rambu agama.

Semoga dengan menahan diri, besok lusa diberikan kesempatan terbaik dalam cara yang baik menyampaikannya.

*Darwis Tere Liye

Tak bosan, saya mengatakan untuk wanita (khususnya). Bukan mengajarkan pasif, namun Anda akan tampak lebih anggun bila mampu menahan diri. Mencintai dalam diam, bukan berarti pasif. Tapi menahan, seperti berpuasa. Menunggu waktu berbuka. Lalu menderaskan rindu itu pada tempatnya. Bila dia bukan takdirmu, maka kamu akan terselamatkan dari rasa malu. Maka mencintailah dalam diam, patah hati dalam diam, lalu pulih dalam diam.

Ah… ini ceracauan pagi saya. Entah mengapa, saya ingin sekali membahas perihal cinta dan rindu. Melankolia yang melambatkan butir darah. Ah… maafkan saya, apalah arti kata-kata saya yang belum mengerti perihal mencintai dan dicintai ini.

*di sudut ruang lantai satu*
Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget