Luka
Meta
morfillah
Setiap luka punya
cerita.
Seperti cipratan minyak
goreng panas ketika menggoreng ayam, yang meninggalkan jejak bulat kecoklatan
di warna kulit sawo matangmu. Atau bulatan besar berwarna putih dengan
bintik-bintik hitam di pahamu, ketika tersiram air mendidih. Hingga luka besar
bekas operasi yang tak terlihat namun ada. Di dalam. Bahkan setiap luka
tersebut dapat bercerita banyak.
Seperti luka bulatan
kecil berwarna coklat, yang terciprat dari minyak panas saat menggoreng ayam.
Saat itu, kamu baru saja belajar memasak untuk dia, belahan jiwamu. Kamu tak
tahu apa-apa perihal dapur, namun kamu berusaha bertanya cara memasak ayam
goreng pada yang lebih tahu. Kamu tak pernah bersinggungan dengan nyala api
kompor dan wajan. Menuangkan minyak goreng terlalu banyak ke dalam wajan yang
belum sepenuhnya kering. Sehingga ketika kamu menyalakan api, minyak yang tak
pernah bersatu dengan air itu bertengkar. Memecah sunyi dapur kecilmu. Saling
berteriak, ingin menang. Lalu meletup-letup kecil ke luar wajan. Kamu yang
kaget mendengar kebisingan itu, melempar ayam yang ingin digoreng dari
jauh—dengan takut-takut—yang malah menyebabkan minyak itu terpercik lebih
banyak, mengenai lenganmu. Kamu mengaduh kesakitan, memaki dalam hati—karena
tak ingin membuat belahan jiwamu tahu kekuranganmu—lalu memeriksa kulitmu yang
perlahan memerah.
Kamu tersenyum.
Tersenyum karena semua yang kamu lakukan ini sepenuh hati, dengan cinta. Bahkan
luka itu menjadi sebuah penanda. Masakan pertamamu, di dapur kecil kontrakan
kalian yang pengap. Kamu terkikik geli sendiri. Merasa itu romantis. Hal itu membuatmu
teringat pada pertemuan pertamamu dengan dia. Kalian bertemu di Stasiun Cikini.
***
Hari itu, Ashar sudah
lama lewat dan Stasiun Cikini mulai ramai dijejali orang-orang yang tak kamu kenali.
Termasuk dia, sang belahan jiwamu. Kamu menatap penumpang lain satu per satu,
seolah menilai dari atas ke bawah. Lalu merasa bosan. Kamu menatap ke sembarang
arah, beberapa sudut stasiun. Lalu menatap rel kereta. Hanya ada dua jalur di
Stasiun Cikini. Membuatmu tersenyum. Sepasang. Kamu teringat seorang kawan yang
meledek kesendirianmu dengan berkata, “Truk aja gandengan. Masak kamu enggak!”
Kamu membatin,
tersenyum simpul.
“Rel
aja berdua. Sepasang. Masak kamu masih sendirian?”
Suara speaker mengalun keras. Memberitahukan
kedatangan kereta yang kamu nantikan, dan seketika membuyarkan lamunanmu. Kamu,
dia dan penumpang lain berbaris di belakang garis kuning. Siap berdesakan.
Tubuhmu yang mungil terombang-ambing di dalam kereta yang penuh. Hampir saja
kamu terjatuh, kalau saja tidak ada sepasang tangannya yang menahan tubuhmu.
“Terima kasih,”
“Pegangan saja ke
tubuhku,” ujarnya tanpa bermaksud menyinggung dirimu yang tak mampu menjangkau
pegangan kereta.
Malu-malu, kamu
memegang ujung jaketnya dan mengalirlah percakapan itu. Ternyata kalian
memiliki beberapa kesamaan. Salah satunya adalah buku dan puisi. Suatu hal yang
langka menurutmu, untuk ukuran seorang lelaki dengan rupa wajah sepertinya.
Rambut ikal, kumis tipis, dan tubuh kurus yang dibalut kaus bergambar tengkorak
dilapisi jaket jeans belel. Kalian menemukan ketertarikan satu sama lain. Kamu
tersenyum senang saat dia meminta nomor teleponmu yang dapat dihubungi. Kamu
memberikannya nomor itu dan hatimu. Tanpa kamu sadari.
***
Perkenalan di kereta
membuat kalian berjanji untuk datang ke acara Malam Puisi di Bogor. Dari Malam
Puisi itu, kalian semakin dekat. Tertarik untuk mendalami puisi di regional
lainnya. Salah satunya Malam Puisi Jakarta yang diadakan di Taman Suropati.
Kalian membuat janji temu di Stasiun Bogor. Perjalanan terasa begitu singkat
bersamanya. Tanpa terasa kalian sudah tiba di Stasiun Cikini—tempat kali
pertama kalian bertemu. Dari Stasiun Cikini, kalian berjalan kaki ke arah
bioskop Megaria. Menyeberang. Menanti bus 213 jurusan Kampung Melayu – Tanah Abang
yang melewati Taman Suropati. Hingga
tibalah kalian di Taman Suropati yang indah itu.
Saat itu, baru saja
azan ashar berkumandang. Kalian memutuskan untuk salat di Masjid Sunda Kelapa
yang terletak di seberang Taman Suropati. Selepas salat, kalian menikmati
suasana Taman Suropati yang ramai oleh performance
komunitas kotaseni. Ada orkes biola, drum, burung-burung merpati yang
beterbangan di sekitar air mancur dan sarangnya, juga anak-anak kecil yang
bermain gelembung sabun.
Tak lama berselang,
acara Malam Puisi dimulai. Suasana terasa begitu syahdu, ditambah langit yang
mulai memerah. Lembayung senja menambah kekhidmatan pembacaan puisi. Lalu
tibalah giliran dia. Dia membacakan puisi buatannya tentang dirimu. Dirimu yang
menjatuhkan hatinya ke dalam sebuah rasa yang sulit diungkapkan. Teman-teman
kalian riuh menggoda kamu dan dia. Kamu pun tersipu malu. Kehabisan kata-kata.
Tapi di dasar hatimu, ada rasa bahagia yang menggelegak. Sesuatu yang tak
sia-sia. Ribuan kupu-kupu beterbangan memenuhi perutmu, persis seperti gambaran
di sebuah buku metropop yang baru kamu habiskan. Setelah pembacaan puisi itu,
dia mengikatmu dengan sebuah pertanyaan.
“Maukah kamu menjadi
pendampingku?”
Dengan malu-malu, dalam
diammu, kamu mengangguk pelan.
Begitulah kenangan
indah yang kamu awetkan dalam pikiranmu. Selalu indah jika bersamanya.
***
Tapi, mengapa semua
berubah hanya dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada yang berdiam dalam
waktu. Tiap kedip seakan membuat hidup yang berbeda. Seiring berjalannya waktu,
luka itu bertambah. Luka terdahsyat yang pernah kamu alami dalam hidupmu.
Ketika dia pergi diiringi senja yang memerah di sebuah pusara. Ingatan tak
pernah membuatmu lebih mudah. Namun lukamu pun tak mengalirkan darah.
***
* Tugas Minggu Pertama #KampusFiksi7
No comments:
Post a Comment