Pages

04 April, 2014

[Cerpen] Luka



Luka
Meta morfillah

Setiap luka punya cerita.
Seperti cipratan minyak goreng panas ketika menggoreng ayam, yang meninggalkan jejak bulat kecoklatan di warna kulit sawo matangmu. Atau bulatan besar berwarna putih dengan bintik-bintik hitam di pahamu, ketika tersiram air mendidih. Hingga luka besar bekas operasi yang tak terlihat namun ada. Di dalam. Bahkan setiap luka tersebut dapat bercerita banyak.
Seperti luka bulatan kecil berwarna coklat, yang terciprat dari minyak panas saat menggoreng ayam. Saat itu, kamu baru saja belajar memasak untuk dia, belahan jiwamu. Kamu tak tahu apa-apa perihal dapur, namun kamu berusaha bertanya cara memasak ayam goreng pada yang lebih tahu. Kamu tak pernah bersinggungan dengan nyala api kompor dan wajan. Menuangkan minyak goreng terlalu banyak ke dalam wajan yang belum sepenuhnya kering. Sehingga ketika kamu menyalakan api, minyak yang tak pernah bersatu dengan air itu bertengkar. Memecah sunyi dapur kecilmu. Saling berteriak, ingin menang. Lalu meletup-letup kecil ke luar wajan. Kamu yang kaget mendengar kebisingan itu, melempar ayam yang ingin digoreng dari jauh—dengan takut-takut—yang malah menyebabkan minyak itu terpercik lebih banyak, mengenai lenganmu. Kamu mengaduh kesakitan, memaki dalam hati—karena tak ingin membuat belahan jiwamu tahu kekuranganmu—lalu memeriksa kulitmu yang perlahan memerah.
Kamu tersenyum. Tersenyum karena semua yang kamu lakukan ini sepenuh hati, dengan cinta. Bahkan luka itu menjadi sebuah penanda. Masakan pertamamu, di dapur kecil kontrakan kalian yang pengap. Kamu terkikik geli sendiri. Merasa itu romantis. Hal itu membuatmu teringat pada pertemuan pertamamu dengan dia. Kalian bertemu di Stasiun Cikini.
***
Hari itu, Ashar sudah lama lewat dan Stasiun Cikini mulai ramai dijejali orang-orang yang tak kamu kenali. Termasuk dia, sang belahan jiwamu. Kamu menatap penumpang lain satu per satu, seolah menilai dari atas ke bawah. Lalu merasa bosan. Kamu menatap ke sembarang arah, beberapa sudut stasiun. Lalu menatap rel kereta. Hanya ada dua jalur di Stasiun Cikini. Membuatmu tersenyum. Sepasang. Kamu teringat seorang kawan yang meledek kesendirianmu dengan berkata, “Truk aja gandengan. Masak kamu enggak!”
Kamu membatin, tersenyum simpul.
“Rel aja berdua. Sepasang. Masak kamu masih sendirian?”
Suara speaker mengalun keras. Memberitahukan kedatangan kereta yang kamu nantikan, dan seketika membuyarkan lamunanmu. Kamu, dia dan penumpang lain berbaris di belakang garis kuning. Siap berdesakan. Tubuhmu yang mungil terombang-ambing di dalam kereta yang penuh. Hampir saja kamu terjatuh, kalau saja tidak ada sepasang tangannya yang menahan tubuhmu.
“Terima kasih,”
“Pegangan saja ke tubuhku,” ujarnya tanpa bermaksud menyinggung dirimu yang tak mampu menjangkau pegangan kereta.
Malu-malu, kamu memegang ujung jaketnya dan mengalirlah percakapan itu. Ternyata kalian memiliki beberapa kesamaan. Salah satunya adalah buku dan puisi. Suatu hal yang langka menurutmu, untuk ukuran seorang lelaki dengan rupa wajah sepertinya. Rambut ikal, kumis tipis, dan tubuh kurus yang dibalut kaus bergambar tengkorak dilapisi jaket jeans belel. Kalian menemukan ketertarikan satu sama lain. Kamu tersenyum senang saat dia meminta nomor teleponmu yang dapat dihubungi. Kamu memberikannya nomor itu dan hatimu. Tanpa kamu sadari.
***
Perkenalan di kereta membuat kalian berjanji untuk datang ke acara Malam Puisi di Bogor. Dari Malam Puisi itu, kalian semakin dekat. Tertarik untuk mendalami puisi di regional lainnya. Salah satunya Malam Puisi Jakarta yang diadakan di Taman Suropati. Kalian membuat janji temu di Stasiun Bogor. Perjalanan terasa begitu singkat bersamanya. Tanpa terasa kalian sudah tiba di Stasiun Cikini—tempat kali pertama kalian bertemu. Dari Stasiun Cikini, kalian berjalan kaki ke arah bioskop Megaria. Menyeberang. Menanti bus 213 jurusan Kampung Melayu – Tanah Abang yang melewati Taman Suropati.  Hingga tibalah kalian di Taman Suropati yang indah itu.
Saat itu, baru saja azan ashar berkumandang. Kalian memutuskan untuk salat di Masjid Sunda Kelapa yang terletak di seberang Taman Suropati. Selepas salat, kalian menikmati suasana Taman Suropati yang ramai oleh performance komunitas kotaseni. Ada orkes biola, drum, burung-burung merpati yang beterbangan di sekitar air mancur dan sarangnya, juga anak-anak kecil yang bermain gelembung sabun.
Tak lama berselang, acara Malam Puisi dimulai. Suasana terasa begitu syahdu, ditambah langit yang mulai memerah. Lembayung senja menambah kekhidmatan pembacaan puisi. Lalu tibalah giliran dia. Dia membacakan puisi buatannya tentang dirimu. Dirimu yang menjatuhkan hatinya ke dalam sebuah rasa yang sulit diungkapkan. Teman-teman kalian riuh menggoda kamu dan dia. Kamu pun tersipu malu. Kehabisan kata-kata. Tapi di dasar hatimu, ada rasa bahagia yang menggelegak. Sesuatu yang tak sia-sia. Ribuan kupu-kupu beterbangan memenuhi perutmu, persis seperti gambaran di sebuah buku metropop yang baru kamu habiskan. Setelah pembacaan puisi itu, dia mengikatmu dengan sebuah pertanyaan.
“Maukah kamu menjadi pendampingku?”
Dengan malu-malu, dalam diammu, kamu mengangguk pelan.
Begitulah kenangan indah yang kamu awetkan dalam pikiranmu. Selalu indah jika bersamanya.
***
Tapi, mengapa semua berubah hanya dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada yang berdiam dalam waktu. Tiap kedip seakan membuat hidup yang berbeda. Seiring berjalannya waktu, luka itu bertambah. Luka terdahsyat yang pernah kamu alami dalam hidupmu. Ketika dia pergi diiringi senja yang memerah di sebuah pusara. Ingatan tak pernah membuatmu lebih mudah. Namun lukamu pun tak mengalirkan darah.
***

* Tugas Minggu Pertama #KampusFiksi7

No comments:

Post a Comment

Text Widget