Pages

07 April, 2014

[Kampus Fiksi] Tanya Jawab dengan Pak Edi

Ada banyak ilmu yang saya dapatkan dari #KampusFiksi7 yang kami sebut Pelangi Kampus Fiksi. Salah satunya adalah beragam pengetahuan menulis yang didapatkan dari tanya jawab bersama Pak Edi (CEO Diva Press). Saya ingin membaginya dengan kalian, semoga bermanfaat...

     1. Apakah boleh membuat setting karangan, yang sebenarnya tidak ada di dalam sebuah cerita?
Boleh.
Asal jangan melanggar batas mainstream logika. Misal, ga mungkin di paris ada yang jual blangkon.

   2. Apa yang harus dilakukan untuk menghidupkan tokoh yang kebanyakan biasanya berasal/cerminan diri kita?
Misal, yang wanita muslim, kesulitan menggambarkan tokoh bad boy yang biasa berbicara dengan makian seperti, “Anjing lo!”
Padahal kita gak pernah punya teman bad boy & risih dengan kata-kata makian. Risikonya sang tokoh akan jadi garing, membosankan dan kurang hidup. Jadi harus total dalam penokohan.
Pendalaman tokoh/totalitas karakter itu penting. Kalau dia bad boy, suka mengumpat, ya tulislah apa adanya. Menulis umpatan dalam cerita ga dosa kok! Jangan terlalu asyik dengan alur hingga lupa mendeskripsikan tokoh dan setting.

    3. Kata guru bahasa Indonesia saya, alur harus tunggal. Apakah dalam menulis cerpen harus alur tunggal, maju yang maju saja, mundur ya mundur saja?
Sebenarnya tidak harus, hanya saja itu kebanyakan diajari di sastra lama, seperti angkatan balai pustaka, pujangga baru. Karena dalam pelajaran bahasa Indonesia saja jarang mencantumkan nama penulis terbaru seperti benz bara, dll. Ini dilema dan dinamika kepenulisan kita. Semua bebas dieksplorasi, ASAL LOGIKA CERITANYA TERPELIHARA. Inilah batasan kalian dalam menulis.
 
  4. Lalu bagaimana menjaga logika cerita dalam menulis fantasi? Padahal logika ceritanya kan harus masuk logika?
Yaa… tapi tetap harus ada logika ceritanya. Misal ketika marah jadi naga, nah harus ada penjelasan logis mengapa bisa berubah jadi naga?
Bebas bereksplorasi, tapi tetap harus ada logikanya di balik itu semua. Kalau di fiksi sejarah, ada data-data yang jadi aksioma (kebenaran/pengetahuan umum), nah itu yang ga boleh dilanggar. Misal semar itu diketahui umum (aksioma) berperut besar, nah ga bisa dengan seenaknya kita buat semar menjadi berperut six pack.

   5.  Ketika menulis novel, kan ada banyak tokoh. Apakah kita perlu mendalami karakter berbagai tokoh semuanya? Padahal kan biasanya hanya berfokus pada tokoh utama?
Ya, tentu perlu. Hanya saja jangan sampai mengalahkan porsi tokoh utama. Jangan sampai kita hanya focus pada alur cerita saja, lalu lupa yang lain (setting, penokohan, dll).
      
  6. Bagaimana buat cerita yang harusnya pakai bahasa local/asing, sedang kita tidak menguasainya, agar lebih terasa oleh pembaca?
Cukup di bagian awal atau beberapa bab  saja yang pakai dialek local. Lalu sisanya tetap bahasa Indonesia. Jangan semuanya pakai bahasa local.
   
    7. Bagaimana menemukan ciri khas menulis karya yang berkualitas dan menuangkan serta mengembangkan ide yang sudah ada?
Ga usah ribet dengan style. Itu akan terbentuk dengan sendirinya seiring proses kreatif, asal kamu punya pondasi teknik & HABIT menulis. Tentu harus riset yang banyak, membaca yang banyak dan mencoba menulis yang banyak. Kalau gak riset, karyamu hanya akan muter-muter di situ saja. Tidak semua ide harus dituliskan, ada masa riset, ada masa kontemplasi (pendalaman). Dengan itu semua, ide kalian akan matang dan kalian tidak akan mengalami writer’s block.  Yang penting adalah OUTLINE. Langsung tulis ide tersebut, walau hanya satu kalimat di note. Jangan percaya sama ingatan. Stop menulis dari ruang kosong! Menganggap nulis, gitu doang! Isi dulu, riset dulu lah! Tentu saja berbeda antara penulis yang menulis untuk dirinya sendiri dengan penulis yang menulis untuk dibaca khalayak ramai.

    8.       Tentang plot dan alur cerita, bagaimana menerapkan teori alur dan plot yang sudah ada?
Plot hanya dua, maju, mundur dan campuran. Untuk novel tentu kebanyakan campuran. Mengalir sajalah, kapan diperlukan ya pakai.

   9.       Dalam menulis, apakita lebih mengikuti karakter kita atau bersikap fleksibel terhadap semua tulisan?
Idealisme dan kompromi. Kadang harus perhatikan pasar untuk keeksisan diri. Misal, kamu hanya chemistry dengan fantasi. Lalu ketika pasar tidak mau fantasi, kamu berhenti menulis demi idealismemu. Sebaiknya bukan begitu, tetaplah menulis dengan gaya yang lain. Karena ada masanya itu semua akan berputar dan kembali lagi. Itu namanya kompromi, bukan menggadaikan idealisme.
Open your mind, dan kadang kala kita harus menarik diri selangkah untuk mendapatkan apa yang kita mau.

   10.   Terkadang susah membuat kalimat pertama di lembar pertama yang masih kosong, padahal gambaran cerita sudah ada?
Sebenarnya mudah, bisa dengan quote, petikan dialog atau deskripsi tokoh. Hindari dua hal, yaitu narasi yang menggambarkan alam semesta (misal: sang surya mengintip dari balik mega). Kedua, membuka dengan dialog yang ga penting (misal: “bangun!”, “woy!”). Sebisa mungkin bocorkan konflik sehingga pembaca merasa terpancing untuk membaca selanjutnya.

  11.   Buat jadwal nulis untuk menyikapi sempitnya waktu untuk menulis. Semua itu balik ke kita. Biasanya, yang sedang UAS, atau kerjaan lembur, menyingkirkan habit menulis mereka. Padahal, ga harus gitu juga, toh masih bisa eksis di medsos, berarti masih punya waktu untuk menulis. Jangan salahkan keadaan, masalah ada di diri kalian.

   12.   Tips menulis outline yang baik. Pecahkan gambaran, misal (bab 1: si A terjatuh di tangga, bab 2: si A ditelepon B, bab 3: mereka bertemu di rumah hantu). Jangan lupa selipkan twist (kejutan) untuk mengikat pembaca, biasanya di ending. Ada yang cukup 3 lembar dalam menulis outline, ada yang sampai 60 lembar, itu semua bebas.
 
   13.   Tips menggambarkan latar, bisa melalui dialog atau pun narasi. Seharusnya mudah, apalagi bila sesuatu itu nyata. Kalian googling saja, riset gambarnya dan asal-usulnya. Cara mengukur setting itu kuat atau tidak, adalah bila nama setting itu bisa diganti dengan nama lain, berarti itu setting tempelan saja. Belum kuat. Misal: masjid warisan turki usmani yang mampu menampung ribuan jamaah ini indah sekali. Beruntung aku bisa sampai ke masjidil haram. (sudah tidak bisa diganti dengan masjid at-taubah, berarti itu setting yang kuat).

  14.   Menyelesaikan ending dalam satu cerita. Ending adalah saat di mana tulisanmu harus berhenti/distop, bukan akhir kehidupan sang tokoh. Ending yang tidak menarik: ending tokoh mati, tokohnya hilang, ending bahagia yang terlalu lebay dan ending yang berpuisi. Style ending dominan saat ini adalah ending mengambang/tidak terduga. Sehingga memancing pembaca bahwa si tokoh akan berlaku begini,begitu, padahal nyatanya tidak. 
  
    15.   Cara berproses kreatif yang benar adalah harus teruji oleh publik! Ketika ada yang mengkritik, lihatlah kritiknya ikhlas/memberi nilai kemanfaatan atau tidak. Berterimakasihlah, dan perhatikan kritik yang membangun. Kalau tidak, ya abaikan saja. Sikapi dengan dua hal: balas mention dengan emot netral, atau tidak usah dibalas. Karena itu sudah konsekuensi karya yang dipublish, dan kita gak bisa memaksa/mengatur orang.

   16.   Yang tidak memenuhi unsur kalimat (subjek dan predikat) disebut frase. Frase hanya boleh digunakan hanya untuk menekankan snapshoot. Misalnya, malam ini benar-benar gulita (kalimat normal). Begitu kelam (frase snapshoot). Tak ada suara terdengar (kalimat normal). Sunyi (frase snapshoot).  
    
    17.   Twist menarik: paling mudah pasang di akhir bab. Semacam panduan/hal yang menandakan akan ada konflik di bab selanjutnya.

    18.   Style tulisanmu akan lahir dengan sendirinya seiring produktivitas menulismu!

  19. Lifestyle penulis: menulis, membaca, sharing, jalan-jalan, kontemplasi. 

    20.   Jangan pikirkan tentang karya pop atau sastra, just write,write, and write, beibh! Saat menulis, lupakan teori sastra yang terlalu mengikat, bebaskan saja dirimu, karena kalau tidak, kamu gak akan jadi-jadi menulis novel. Terlalu takut menyalahi teori.

    21.   Menulis novel jangan dibikin berat. Anggap saja menulis cerpen sepanjang 200 halaman. Yang penting adalah konsistensi HABIT. Misal per hari, nulis 2 halaman. Dalam waktu tiga bulan/empat bulan dengan gaya menulis santai itu, kamu pasti akanberhasil menghasilkan sebuah novel.
 

 

2 comments:

  1. Infonya bermanfaat sekali, thanks ya sudah share :)

    ReplyDelete
  2. Sama-sama..
    Terima kasih sudah mampir dan membaca :)

    ReplyDelete

Text Widget