Pages

11 April, 2014

[Surat] Kepada Tuan-tuan

Kepada Tuan-tuan,

Ada begitu banyak cara Tuhan menghadirkan cinta. Salah satunya seperti kehadiran Tuan. Tapi Tuan, lagi-lagi cinta begitu teledor. Selain cinta sering datang terlambat, tidak tepat waktu, cinta pun memiliki cara yang keliru. Keliru, yang dijadikan pembenaran oleh kebanyakan orang. Mengertikah Tuan, apa yang kumaksud? Semoga mengerti. Bahwa sesuatu yang salah, bila dilakukan berulang kali dan didukung orang banyak, kemungkinan besar akan menjadi pembenaran, hal yang lumrah. Itu fenomena marak di dunia ini, Tuan. Sayangnya, aku hidup bukan untuk dunia ini saja, Tuan. Aku mendamba surga.

Seperti Colombus yang dicemooh ketika ingin mencari benua Amerika. Menemukan tempat berlabuh dan menjanjikan pengharapan hidup lebih baik. Seperti itulah aku, Tuan. Mencoba menemukan benuaku. Bukan semata pulau kecil untuk tempat singgah, yang menjanjikan kenikmatan semata, lalu hilang tenggelam. Bukan, Tuan.

Walau dalam perjalanannya, begitu tinggi ombak yang dilalui, begitu terjal karang yang menghadang dan begitu deras bisikan yang melemahkan. Aku selalu mengingat kembali, titik awal mulaku dalam mencari benua harapan itu, Tuan. Tidak harus sempurna, tapi caranya, Tuan. Benua yang mau melekat dan bertumbuhkembang bersamaku, Tuan.

Maafkan sikap puan yang bodoh ini, Tuan. Bila begitu menyakiti hatimu. Mungkin bagi sebagian orang, jarak adalah penghalang, penentang. Tapi bagiku, jarak adalah pelindung, sekoci penyelamat hati yang hendak karam, Tuan. Sengaja aku melebarkan jarak kita. Jarak rasa tepatnya. Karena jarak raga kita begitu dekat. Lucu, ya, Tuan? Nampaknya kita begitu dekat, nyatanya jarak membentang begitu hebat. Kamu tahu, Tuan? Bila kamu merasa begitu sakit hati akan perlakuanku, ketahuilah sesungguhnya aku lebih sakit. Sakit saat mendapati--kalian, Tuan-tuan--serentak menghilang dari hidupku. Janji pertemanan apa adanya, menguap bersama pengharapan kalian yang tak mungkin kuwujudkan. Begitu sulitnyakah membangun pertemanan di antara kita, Tuan? Tanpa memasukkan rasa yang mengoyak hubungan kita?

Ah, Tuan. Maka aku akan pergi. Bukan berarti aku tak setia. Aku menghargai kenangan kita. Kita pernah bersama, pernah menangis dan tertawa bersama. Bahagia bersama. Aku tak ingin ada caci, apalagi benci. Ketahuilah, Tuan, kendalikan rasamu, bunuh atau pendam dan pantaskan. Selama proses itu, aku hanya dapat menjadi temanmu. Meminjamkan telingaku sesaat saja. Ada waktu-waktu aku harus menghilang, menguji rasa pertemanan kita.

Karena, jika benar aku suarmu, maka labuhkan dirimu tanpa tapi. Sebab, gelombang keraguan tak dapat diterka pasang surutnya. Itu pun jika aku suarmu, Tuan.

Karena, jika benar aku rona di hidupmu, maka mengapa takut dan renta sikapmu, memintaku menghiasi langit hatimu? Itu pun jika aku benar rona di hidupmu, Tuan.

Salam,
Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget