Bulan
Jarak
Meta
morfillah
Bila bulan dua selalu disebut sebagai
bulan penuh cinta, bulan merah muda—karena begitu maraknya perayaan kasih
sayang di minggu kedua bulan itu—maka bulan tujuh adalah bulan jarak baginya.
Bulan tujuh, bulan di mana cuaca mulai tak menentu. Kadang panas mentereng,
kadang hujan lebat. Bulan kelahirannya. Bulan yang tidak terlalu dinantikannya.
Sebab di bulan itu, ia mendapati beragam perpisahan, beragam jarak yang membuat
dirinya semakin sepi. Bila dibolehkan, ia ingin menghapus bulan tujuh dari
kalender hidupnya. Atau mungkin menghapus hidupnya? Sebab ia lahir di bulan
tujuh itu.
***
Jarak pertama yang ia
rasakan adalah saat bapak meninggal. Tepat seminggu setelah ulang tahunnya, di
tanggal tujuh bulan tujuh saat berusia sebelas tahun. Ia belum mengerti benar
memang, tentang kehilangan. Tapi, ia merasakan bahwa ada perubahan yang begitu
nyata dalam hidupnya setelah bapak meninggal. Ibunya yang dahulu lebih sering
berada di rumah, memasakkan makanan kesukaannya dan menemaninya sepanjang hari,
kini menjadi jarang berada di rumah. Daster yang biasanya melekat pada tubuh
ibunya, mendadak berganti menjadi baju yang agak ketat dan rok pendek. Wangi
tubuh ibunya yang khas, berganti parfum yang menguar pekat. Membuatnya pusing
dan harus menahan mual tiap kali ibunya datang. Ia merasa, saat bapaknya
meninggal, ibunya juga ikut meninggal. Ia tak lagi mengenal ibunya dengan baik.
Ia tumbuh menjadi gadis pendiam. Sebab ia tak tahu, harus berbicara pada siapa.
Temannya tidak ada yang benar-benar peduli. Mereka hanya sibuk membicarakan
tentang tren baju terbaru, cowok yang disukai dan artis-artis pujaannya. Ia
sendiri. Sepi.
***
Saat ia berpikir bahwa
ia akan selalu sendiri sampai akhir hidupnya, ternyata Tuhan berkata lain. Di
bulan kesepuluh pada usianya yang kedua puluh tahun, ia bertemu lelaki itu.
Lelaki sederhana, memiliki mata seperti biji lengkeng yang hitam, dengan kulit
coklat yang terbakar matahari, dan rambut pendek yang tidak menyembunyikan
keikalannya. Seorang guru Sekolah Dasar.
Ia selalu mengingat
pertemuan pertamanya dengan lelaki itu. Saat itu hujan lebat dan langit sudah
gelap semenjak ditinggalkan senja dua jam lalu. Ia berteduh di depan sebuah
warung kopi. Mempertimbangkan apakah akan berlari menerobos hujan atau tetap
setia menunggu hujan hingga reda.
“Mbak, mau pinjam
payung saya?”
Ia menoleh ke asal
suara yang berat itu. Didapatinya seorang lelaki kurus sedang tersenyum padanya
sembari mengulurkan payung lipat berwarna hitam. Ia menggeleng dalam diam.
Tidak mau berurusan dengan orang yang tidak dikenal.
“Tidak apa-apa, Mbak.
Rumah saya dekat. Kalau Mbak tidak enak, besok bisa dititipkan lagi ke warung
ini. Saya ke sini setiap hari.”
Ia menoleh lagi dan
memperhatikan lelaki itu dengan seksama.
“Tidak usah takut,
Mbak. Saya hanya menawarkan saja. Sebab saya lihat, dari tadi Mbak tidak
memberhentikan bus yang lewat. Berarti tujuan Mbak sudah dekat dan mau ditempuh
dengan berjalan, kan?”
Lelaki itu menangkap maksud
serta keraguannya.
“Hujannya begitu deras,
akan lama jika ditunggu. Dan ini sudah malam, kurang baik untuk perempuan
seperti Mbak.”
Ia menatap mata lelaki
itu. Untuk kali pertama, ia percaya pada mata asing itu. Ia mengambil payung
itu dengan kikuk. Sebab, sudah lama tak ada yang memperhatikannya seperti itu.
“Saya harus
mengembalikan payung ini atas nama siapa?”
“Bilang saja, titip
untuk Edi.”
Sejak saat itu,
pertemuan demi pertemuan berikutnya berlanjut. Lelaki itu—yang dipanggilnya
dengan sebutan Mas Edi—membuatnya mau membuka diri dan lebih ceria. Ia jadi
lebih sering tersenyum dan lebih hidup—padahal ia belum pernah mati. Hidupnya
tak lagi terasa sepi.
Namun itu tak
berlangsung lama. Bulan tujuh kembali menegaskan dirinya sebagai bulan jarak
untuk wanita itu. Tepat di hari kesepuluh di bulan tujuh, setelah dua tahun
kebersamaan mereka, Mas Edi membentangkan jarak yang begitu lebar. Ibunya tak
memberi restu untuk kelanjutan hubungan mereka. Sebab perbedaan suku. Mas Edi
berasal dari Madura, sedangkan ia meneruskan darah Minang dari ayahnya. Jarak
kedua yang ia rasakan. Jarak antara dirinya dan kebahagiaan yang sempat dibayangkannya.
Sakitnya lebih hebat dibandingkan kepergian bapak.
***
Ia
berdiri, mengintip-intip hujan dari balik jendela. Jendela yang sulit dibuka.
Sudah berapa lama ia di sini? Ia tidak tahu.
Akhir-akhir ini, ia
sering merindukan bapak dan ibunya. Orang-orang itu membuat dirinya kembali
berjarak dengan bapak serta ibunya. Padahal, ia baru saja kembali merasa dekat
dengan ibunya. Wangi tubuh ibunya telah kembali seperti dahulu. Tak tertutupi
bau parfum yang menyengat. Ibunya lebih sering berada di rumah—lebih tepatnya
tak beranjak keluar dari rumah. Walau ibunya tak lagi memasakkan makanan
kesukaannya seperti dahulu, tapi ia bahagia. Ibunya kini menemani dan
mendengarkan semua keluh kesahnya. Tak menyela sedikit pun. Itulah yang ia
butuhkan. Telinga yang sudi mendengar. Ia tak lagi merasa kesepian. Ia kembali
sayang pada ibunya. Namun, mereka—orang-orang berbaju putih itu—tak
membebaskannya keluar menemui ibunya
atau pun ke makam bapaknya. Ia kembali merasakan kesepian itu.
***
“Wanita
itu begitu menyedihkan sekaligus gila! Mayat ibunya yang sudah mengelupas
dibiarkannya di kamar. Bau busuknya begitu menyengat, mengalahkan bau bangkai
tikus! Tapi saat dia mau dibawa ke rumah sakit ini, dia memeluk mayat ibunya dan
mencium tangannya. Seakan bau itu tak mengganggu penciumannya.”
Perawat
itu bergidik ngeri saat mengatakan hal itu pada temannya.
“Aku
tak bisa membayangkan perasaan mual para petugas yang mengamankannya. Pasti
begitu menjijikkan!”
“Iya,
aku saja yang mendengar cerita ini dari Putra, tak tahan membayangkannya.
Wanita itu begitu kesepian dan tak mau ditinggalkan oleh ibunya. Ternyata
kesepian membuat orang bisa segila itu!”
***
*Tugas
ketiga Kampus Fiksi 7
Membuat konflik yang menarik. Hmm... sepertinya saya kurang berhasil (T___T)
Membuat konflik yang menarik. Hmm... sepertinya saya kurang berhasil (T___T)
No comments:
Post a Comment