Pages

28 April, 2014

[Cerpen] Bulan Jarak



Bulan Jarak
Meta morfillah

Bila bulan dua selalu disebut sebagai bulan penuh cinta, bulan merah muda—karena begitu maraknya perayaan kasih sayang di minggu kedua bulan itu—maka bulan tujuh adalah bulan jarak baginya. Bulan tujuh, bulan di mana cuaca mulai tak menentu. Kadang panas mentereng, kadang hujan lebat. Bulan kelahirannya. Bulan yang tidak terlalu dinantikannya. Sebab di bulan itu, ia mendapati beragam perpisahan, beragam jarak yang membuat dirinya semakin sepi. Bila dibolehkan, ia ingin menghapus bulan tujuh dari kalender hidupnya. Atau mungkin menghapus hidupnya? Sebab ia lahir di bulan tujuh itu.
***
Jarak pertama yang ia rasakan adalah saat bapak meninggal. Tepat seminggu setelah ulang tahunnya, di tanggal tujuh bulan tujuh saat berusia sebelas tahun. Ia belum mengerti benar memang, tentang kehilangan. Tapi, ia merasakan bahwa ada perubahan yang begitu nyata dalam hidupnya setelah bapak meninggal. Ibunya yang dahulu lebih sering berada di rumah, memasakkan makanan kesukaannya dan menemaninya sepanjang hari, kini menjadi jarang berada di rumah. Daster yang biasanya melekat pada tubuh ibunya, mendadak berganti menjadi baju yang agak ketat dan rok pendek. Wangi tubuh ibunya yang khas, berganti parfum yang menguar pekat. Membuatnya pusing dan harus menahan mual tiap kali ibunya datang. Ia merasa, saat bapaknya meninggal, ibunya juga ikut meninggal. Ia tak lagi mengenal ibunya dengan baik. Ia tumbuh menjadi gadis pendiam. Sebab ia tak tahu, harus berbicara pada siapa. Temannya tidak ada yang benar-benar peduli. Mereka hanya sibuk membicarakan tentang tren baju terbaru, cowok yang disukai dan artis-artis pujaannya. Ia sendiri. Sepi.
***
Saat ia berpikir bahwa ia akan selalu sendiri sampai akhir hidupnya, ternyata Tuhan berkata lain. Di bulan kesepuluh pada usianya yang kedua puluh tahun, ia bertemu lelaki itu. Lelaki sederhana, memiliki mata seperti biji lengkeng yang hitam, dengan kulit coklat yang terbakar matahari, dan rambut pendek yang tidak menyembunyikan keikalannya. Seorang guru Sekolah Dasar.
Ia selalu mengingat pertemuan pertamanya dengan lelaki itu. Saat itu hujan lebat dan langit sudah gelap semenjak ditinggalkan senja dua jam lalu. Ia berteduh di depan sebuah warung kopi. Mempertimbangkan apakah akan berlari menerobos hujan atau tetap setia menunggu hujan hingga reda.
“Mbak, mau pinjam payung saya?”
Ia menoleh ke asal suara yang berat itu. Didapatinya seorang lelaki kurus sedang tersenyum padanya sembari mengulurkan payung lipat berwarna hitam. Ia menggeleng dalam diam. Tidak mau berurusan dengan orang yang tidak dikenal.
“Tidak apa-apa, Mbak. Rumah saya dekat. Kalau Mbak tidak enak, besok bisa dititipkan lagi ke warung ini. Saya ke sini setiap hari.”
Ia menoleh lagi dan memperhatikan lelaki itu dengan seksama.
“Tidak usah takut, Mbak. Saya hanya menawarkan saja. Sebab saya lihat, dari tadi Mbak tidak memberhentikan bus yang lewat. Berarti tujuan Mbak sudah dekat dan mau ditempuh dengan berjalan, kan?”
Lelaki itu menangkap maksud serta keraguannya.
“Hujannya begitu deras, akan lama jika ditunggu. Dan ini sudah malam, kurang baik untuk perempuan seperti Mbak.”
Ia menatap mata lelaki itu. Untuk kali pertama, ia percaya pada mata asing itu. Ia mengambil payung itu dengan kikuk. Sebab, sudah lama tak ada yang memperhatikannya seperti itu.
“Saya harus mengembalikan payung ini atas nama siapa?”
“Bilang saja, titip untuk Edi.”
Sejak saat itu, pertemuan demi pertemuan berikutnya berlanjut. Lelaki itu—yang dipanggilnya dengan sebutan Mas Edi—membuatnya mau membuka diri dan lebih ceria. Ia jadi lebih sering tersenyum dan lebih hidup—padahal ia belum pernah mati. Hidupnya tak lagi terasa sepi.
Namun itu tak berlangsung lama. Bulan tujuh kembali menegaskan dirinya sebagai bulan jarak untuk wanita itu. Tepat di hari kesepuluh di bulan tujuh, setelah dua tahun kebersamaan mereka, Mas Edi membentangkan jarak yang begitu lebar. Ibunya tak memberi restu untuk kelanjutan hubungan mereka. Sebab perbedaan suku. Mas Edi berasal dari Madura, sedangkan ia meneruskan darah Minang dari ayahnya. Jarak kedua yang ia rasakan. Jarak antara dirinya dan kebahagiaan yang sempat dibayangkannya. Sakitnya lebih hebat dibandingkan kepergian bapak.
***
            Ia berdiri, mengintip-intip hujan dari balik jendela. Jendela yang sulit dibuka. Sudah berapa lama ia di sini? Ia tidak tahu.
Akhir-akhir ini, ia sering merindukan bapak dan ibunya. Orang-orang itu membuat dirinya kembali berjarak dengan bapak serta ibunya. Padahal, ia baru saja kembali merasa dekat dengan ibunya. Wangi tubuh ibunya telah kembali seperti dahulu. Tak tertutupi bau parfum yang menyengat. Ibunya lebih sering berada di rumah—lebih tepatnya tak beranjak keluar dari rumah. Walau ibunya tak lagi memasakkan makanan kesukaannya seperti dahulu, tapi ia bahagia. Ibunya kini menemani dan mendengarkan semua keluh kesahnya. Tak menyela sedikit pun. Itulah yang ia butuhkan. Telinga yang sudi mendengar. Ia tak lagi merasa kesepian. Ia kembali sayang pada ibunya. Namun, mereka—orang-orang berbaju putih itu—tak membebaskannya  keluar menemui ibunya atau pun ke makam bapaknya. Ia kembali merasakan kesepian itu.
***
            “Wanita itu begitu menyedihkan sekaligus gila! Mayat ibunya yang sudah mengelupas dibiarkannya di kamar. Bau busuknya begitu menyengat, mengalahkan bau bangkai tikus! Tapi saat dia mau dibawa ke rumah sakit ini, dia memeluk mayat ibunya dan mencium tangannya. Seakan bau itu tak mengganggu penciumannya.”
            Perawat itu bergidik ngeri saat mengatakan hal itu pada temannya.
            “Aku tak bisa membayangkan perasaan mual para petugas yang mengamankannya. Pasti begitu menjijikkan!”
            “Iya, aku saja yang mendengar cerita ini dari Putra, tak tahan membayangkannya. Wanita itu begitu kesepian dan tak mau ditinggalkan oleh ibunya. Ternyata kesepian membuat orang bisa segila itu!”
***
*Tugas ketiga Kampus Fiksi 7
Membuat konflik yang menarik. Hmm... sepertinya saya kurang berhasil (T___T)

No comments:

Post a Comment

Text Widget