Pages

23 September, 2015

[Review buku] Panggil aku kartini saja

Judul: Panggil aku kartini saja
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Dimensi: 304 hlm, 15 x 22.5 cm, cetakan 4 maret 2009
ISBN: 979 97312 11 6

Dari judul buku ini, saya sudah menangkap sebuah kerendahhatian dari sosok yang diceritakan dalam biografi ini. Jujur saja, saya selama ini termasuk dalam jajaran mayoritas yang tak paham dengan perayaan 21 april dan hanya tahu sebatas mitos, bahwa ia layak dijadikan pahlawan karena ia menulis, dan menghasilkan sebuah karya fenomenal berjudul "Habis gelap terbitlah terang". Sedangkan saya sendiri tak paham mengenai sosoknya, mengapa ia dipilih menjadi sosok pahlawan ketika ada banyak pahlawan wanita yang sebenarnya juga berkiprah pada masanya, sebut saja dewi sartika. Belum lagi ditambah pengetahuan saya yang minim dan belum pernah membaca karyanya tersebut, yang merupakan kumpulan 105 surat pribadinya.

Melalui buku ini, saya bisa mengenal lebih dekat sosok kartini dalam mata Pram. Meskipun agak sulit dan belum sempurna disebabkan minimnya biaya riset dan kesulitan pelacakan historisnya, terkait dokumen-dokumen yang dimaksudkan tak diketahui jejaknya. Juga narasumber di Belanda yang sulit dilacak.

Dalam buku ini Pram memulainya dengan kekalahan perang diponegoro, yang berlanjut ke politik tanam paksa Van den Bosch yang menyengsarakan rakyat berkali lipat. Lalu penjelasan tentang silsilah kartini dan para leluhurnya yang termasuk dalam kaum ksatria--bila disejajarkan menurut kasta hindu--yang artinya termasuk golongan bangsawan. Kemudian masuk ke masa kelahiran, masa kecil, bersekolah, hidup dalam pingitan hingga kembalinya kebebasan kartini untuk melongok dunia luar yang mendekatkan dirinya pada kotanya, Jepara. Beranjak dewasa, ditemani buku semasa dalam pingitan--yang sebenarnya juga merupakan pelarian dirinya atas keresahan budaya pingitan jawa, sehingga ia beralih ke dunia pustaka--kartini mulai melihat adanya perbedaan, jurang pemisah antara kelompok pribumi dan belanda. Kemiskinan, sistem kasta--terutama di kalangan pribumi/jawa sendiri--feodalisme yang membuatnya resah mengenai dunia pribumi yang dikenalnya. Sedang pada saat bersamaan, ia mengenal dunia barat dan menguasai alatnya: bahasa belanda. Ia temukan setitik jalan keluar bagi bangsanya melalui bacaan, dan budaya barat yang dalam hal ini diwakili oleh eropa--Belanda khususnya di Indonesia--sebagai kekuatan terbesar di zamannya.

Kartini berjuang melalui seni. Seni utama yang ia kuasai tentulah mengarang. Namun ia juga menghayati seni membatik, melukis, bermusik, dan menggagas kehidupan yang lebih baik untuk para seniman di Jepara. Berkat dirinya pula, Jepara dikenal akan ukirannya oleh orang Belanda. Kemudian Pram menutup buku ini dengan menjelaskan sedikit tentang kondisi kejiwaan kartini. Tentang pandangannya akan Tuhan, yang pada masa itu ia mengakui bahwa ilmu agama tak dipelajari dengan baik. Maka meski menganut Islam, Kartini tidak menutup diri akan beragam pengetahuan agama lain--dikabarkan ia menguasai Injil. Ia berpegangan bahwa Tuhannya adalah kebajikan dan cinta, lebih pada kebatinan. Bahkan, disinyalir ia memiliki kemampuan berbicara dengan roh dan bertelepati. Pada akhirnya, ia mengedepankan akal/ilmu sebelum beribadah. Kartini cukup kritis dan memiliki daya observasi serta intelegensi yang cukup tinggi bagi wanita sebangsanya di masa itu.

Buku ini ditutup dengan epilog dari Ruth Indiah Rahayu, seorang peneliti dari yayasan kalyanamitra dengan judul "Kartini di akhir abad 20: Sebuah relikwi atau inspirasi?" Tulisannya cukup menohok saya, saat diingatkan kembali untuk mengenal Kartini sebagai dirinya, dengan memahami jalan pikirannya, membaca karya dan tulisannya yang terserak, memahami zamannya, hingga tidak lagi memberikan penilaian yang melebihi kapasitasnya.

Menurut saya, pendekatan yang dilakukan Pram cukup holistik, dari lahir hingga tiada--hanya saja saya tak mendapat terlalu banyak penjelasan mengenai pernikahan, keadaan rumah tangga, hingga bagaimana kematiannya. Mungkin ini terkait hal yang dijelaskan pada kata pengantar, bahwa sehubungan diri Pram yang dituduh golongan kiri, maka karyanya pun diberanguskan. Dari empat jilid karyanya mengenai kartini, hanya dua jilid yang selamat. Dan dua jilid inilah yang disatukan menjadi buku ini.

Penelusuran historis yang dilakukan Pram cukup memberikan gambaran mengenai konflik batin yang dialami Kartini, dari sisinya sebagai wanita jawa, pribumi, ningrat, berkawan dengan orang belanda, hingga ke perjuangannya untuk rakyatnya. Juga situasi di mana ia sering menghadapi kesulitan buah simalakama, terlebih dalam menghadapi ayah yang dicintainya.

"Betapa mengherankan cinta itu, dia adalah sorga dan sekaligus neraka itu juga." (Hlm. 281)

Betapa tak henti dan saya terpesona akan kegigihan serta kecerdasan seorang kartini yang otodidak, meski lahir dari kekecewaan.

"Pada mulanya untuk menyelamatkan hatinya sendiri dari perkosaan adat yang merampas kemerdekaan dan fungsi sosialnya. Maka ia raih buku-buku, dan menyelamatkan hatinya di dalam dunia pustaka. Seperti dengan sendirinya ia tinggalkan dunia kenyataan dan memasuki dunia intelektual, dan di situ pula ia dapat temukan nilai-nilai sosial yang lebih bermutu di dalam peradaban eropa." (Hlm. 275)

Serta mampu melihat peluang besar dari pilihannya sebagai pengarang dibanding menjadi seorang guru.

"Rupa-rupanya sastra juga yang dipilihnya, karena mempunyai daerah juang yang luas dibandingkan dengan yang lain-lain. Sedang sebagai guru misalnya benar ia dapat 'langsung mendidik' tetapi 'dalam lingkungan terbatas' saja, demikian halnya sebagai dokter atau jururawat." (Hlm. 207)

Seandainya buku sejarah ditulis dengan gaya pram, mungkin saya akan sedikit lebih menyukai pelajaran sejarah di masa sekolah. Hanya saja kekurangan buku ini adalah dalam pengemasannya. Jenis pemilihan huruf, ukuran serta kerapatan paragraf sangat ampuh membuat saya mengantuk. Bahkan beberapa kali saya alami baru membaca satu halaman, saya tertidur satu jam. Dan itu terulang hingga tiga kali dalam sehari. Butuh niat yang cukup tinggi untuk menuntaskan buku ini!

Sebenarnya banyak sekali kalimat yang saya sukai di buku ini, tapi bila saya tampilkan, khawatir akan memberikan spoiler. Jadi kali ini saya tidak akan memberikan kutipan di akhir review.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget