Pages

30 September, 2015

Tuan kesepian

"Aku semakin menjadi kesepian, sementara kau tak pernah patah hati," ujarmu.

Haruskah aku bertanggung jawab atas perasaanmu? Bukankah perasaan kita adalah kendali kita masing-masing? Itu yang kukatakan pada dirimu.

Lalu kaudiam. Kulihat dari bahasa tubuhmu, seakan kamu belum rela. Bahwasanya, aku harus kesepian sebagaimana dirimu.

Maafkan aku, Tuan... bukan aku tak pernah patah hati. Hanya saja... aku memilih untuk segera melupakan dan berfokus ke hal lain yang bisa membahagiakanku. Sebab aku tak ingin meratapi nelangsa yang sama, sebagaimana aku menertawakan lelucon yang sama berulangkali. Hambar.

Bangkitlah, Tuan!
Kamu lelaki, jangan cengeng dan tenggelam dalam nada-nada sendu yang kauperuntukkan semata bagiku. Sungguh, aku tak butuh itu... bila sekadar pemanis kisah tragis. Wanita selalu mencari kepastian. Saat aku mendapati kamu tak bisa memberikan itu, Tuan... maka pergilah dengan tenang dari hidupku. Tak usah meratap. Aku pun tak pernah berharap puisi dan lagu yang kaubuatkan akan terus mengalir. Hentikan, Tuan.

Jangan sampai masa lalumu merusak masa depanmu.

Relakan aku, Tuan. Bukankah semakin besar seseorang mencintai, semakin besar pula ia mampu melepaskannya?

Kumpulkan kepingan hatimu yang terserak, Tuan. Semoga, kita tetap dapat menjadi teman yang baik dalam rumah yang berbeda.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget