Pages

14 September, 2015

[Review buku] Kambing dan hujan

Judul: Kambing dan Hujan
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Bentang
Dimensi: vi + 374 hlm, 20.5 cm, 2015
ISBN: 978 602 291 027 5

Pernah kudengar kalimat "Seringkali anak-anak harus menanggung dosa para ayah."

Mungkin sedikit ada benarnya kalimat tersebut terkait cerita dalam buku ini.

Adalah Miftahul Abrar--kelak kita panggil saja dia Mif--anak dari tokoh pemuka agama di Masjid Utara Centong, yang dididik ayahnya dengan pemahaman islam modern, jatuh hati pada seorang gadis. Tentu itu akan menjadi perkara biasa, bila saja gadis yang dicintainya bukanlah Nurul Fauzia--kelak kita panggil dia Zia--anak dari tokoh pemuka agama Masjid Selatan Centong, yang dididik ayahnya dengan pemahaman islam tradisional. Tak pernah ada sejarahnya kedua masyarakat--Utara dan Selatan--Centong berdamai dengan mudah. Sedikit saja perbedaan (ikhtilat) dalam ritual ibadah, memicu pergesekan antara keduanya. Semakin kentara dengan peneguhan organisasi Islam Nahdatul Ulama di Masjid Selatan dan Muhammadiyah di Masjid Utara. Jalan terjal dan rumit nyatanya tak membuat Mif dan Zia mundur untuk memperjuangkan cinta mereka, meski sempat keduanya berada pada titik terendah kuasa mereka, hampir nelangsa dan ingin kabur.

Nyatanya, di balik kisah cinta mereka, ada kisah lebih besar mengenai para ayah mereka. Kisah tentang persahabatan, luka hati, yang diwarnai agama dan kultural masyarakat setempat, serta tak dapat diabaikan konteks sejarah yang terjadi di masa lalu pun memengaruhi beragam keputusan yang bermuara pada perbedaan dua kelompok tersebut. Persis seperti kambing dan hujan, sesuatu yang hampir mustahil dipertemukan, sulit mencari titik temunya. Setelah mengetahui rahasia dan alasan para ayah mereka yang menyebabkan keadaan masyarakat Centong menjadi terbelah dua, Mif dan Zia semakin berat untuk melangkah. Jauh lebih berat dibanding sebelumnya saat mereka belum tahu perkara penyebabnya. Pada akhirnya, Allahlah yang menjadi sandaran, disertai derasnya doa dan usaha yang kian mengeras. Untuk membuktikan patutkah cinta mereka diperjuangkan, atau justru harus dikaramkan.

Saya kira keputusan novel ini dijadikan pemenang I sayembara penulis novel Dewan Kesenian Jakarta begitu tepat--meski saya tak tahu naskah pesaing lainnya seperti apa. Tapi novel ini memotret keadaan umat mayoritas--Islam--di negeri ini dalam miniatur desa bernama Centong--yang bahkan saya tak tahu letaknya di peta. Benarkah nyata ataukah khayalan penulis semata. Betapa perbedaan yang sebenarnya sangat wajar bisa berdampak besar bila tak pandai disikapi. Bahkan itu dalam satu kesatuan--dalam hal ini temanya adalah satu agama, yakni Islam. Penulis terang sekali menunjukkan melalui dua organisasi besar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah. Diwarnai beragam nilai lokalitas desa Centong dan tentunya jangan pernah melupakan sejarah, masalah kecil pun tak bisa diselesaikan semudah membalik telapak tangan. Namun, pada kekuatan cinta, penulis menunjukkan bahwa masih layak dan patut dipercaya cinta adalah energi terbesar di dunia ini yang mampu meredam segala perbedaan--bukan meniadakan.

Gaya bahasa penulis pun begitu ringan, mengalir dan membuat saya tak ingin melepas buku ini sejak kali pertama membacanya. Meski ada beberapa kebingungan saat menebak siapakah tokoh yang sedang bercerita saat ini. Sebab, ada banyak pencerita dan penggunaan sudut pandang dalam cerita ini.

Saya rekomendasikan buku ini untuk dibaca. Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Orang tak akan bisa sama-sama terus. Masing-masing orang akan berubah. Masing-masing orang akan mendapati jalannya sendiri-sendiri, baik jalan hidup di dunia maupun jalan hidup di akhirat." (Hlm. 82)

"Kamu hendaki anak gadisnja, tentu harus pula kamu maui keluarganja." (Hlm. 150)

"Kalau maksudnya baik, tapi dilakukan dengan cara yang kurang baik, ujungnya akan tidak baik. Cara kadang tidak kalah penting dengan tujuan." (Hlm. 166)

"Kegagalan seorang guru adalah ketika murid yang dididiknya tetap saja menjadi seorang murid, tidak beranjak meningkat jadi seorang guru." (Hlm. 170)

"Orang-orang terbiasa menunggu ajakan. Dan, itu jelas tak boleh terjadi dalam sebuah organisasi. Ada komando ketua, tapi siapa pun semestinya ambil bagian dalam percaturan." (Hlm. 220)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget