Pages

09 September, 2015

[Review buku] Sepeda merah

Judul: Sepeda merah yahwari #1
Penulis: Kim dong hwa
Penerbit: Gramedia pustaka utama
Dimensi: 144 hlm, 21 cm, oktober 2012
ISBN: 978 979 22 8776 9

"Telusurilah jalan-jalan pedesaan yang beraneka ragam itu untuk menemui para penduduk Yahwari. Anda pasti akan berpapasan dengan sepeda merah si tukang pos yang berkeliling pelan penuh keselarasan dengan alam sekitarnya."

Novel grafis ini terdiri dari 30 kisah tentang tukang pos dan sepeda merahnya, yang terasa begitu lembut. Penggambaran desa Yahwari yang unik, mengenali alamat rumah bukan dengan alamat umumnya, melainkan julukan yang sesuai keadaannya seperti 'rumah kuning dalam kehijauan', 'rumah tempat kita merasa semakin baik dan membaik', dan lainnya.

Secara garis besar terbagi menjadi enam tema utama. Tema pertama tentang kisah di desa yahwari dan beberapa hal tentangnya. Tema kedua kisah tentang bunga, yang mengembalikan kenangan dari masa lalu. Tema ketiga kisah tentang para ayah. Tema keempat kisah tentang para ibu. Tema kelima pembawa kabar gembira dan nama lain si tukang pos. Tema keenam kisah penduduk seberang, warna-warni penduduk Sedong dan Yetdong.

Ini kali kedua saya membaca karya kim dong hwa setelah warna tanah. Bila di warna tanah, penulis cukup berani mengangkat tema yang dewasa bahkan menggambarkannya dengan lugas, tidak begitu dengan novel grafis ini. Sepeda merah begitu filosofi mengenai pekerjaan tukang pos, bahkan hingga ke budaya masyarakat korea. Jujur, saya amat tersentuh dengan tokoh tukang pos muda yang puitis, baik hati, romantis, dan kesepian ini. Kisah pendek empat halaman yang banyak menohok hati saya. Terasa sekali kelembutan dan ketulusan sang tukang pos dan sepeda merahnya. Pengemasannya pun sangat menarik. Full colour. Saya sangat suka gambar di halaman 30 - 31.

Saya apresiasi 5 dari 5 bintang.

"Mungkin karena ayahku bodoh, dia selalu memilih kaus kaki yang berlubang."
"Ketika kita menjadi ayah, kita menjadi bodoh. Yang baru untuk si sulung, dan yang paling bagus dikhususkan untuk si bungsu. Pada akhirnya, selalu sang ayah yang memakai kaus kaki yang berlubang." (Hlm. 57)

"Ketika menua, kita kehilangan ingatan. Karena itulah kita menggambar semua jejak itu di wajah-wajah kita, agar tidak melupakan apa-apa. Garis yang kita buat sambil tertawa terlihat di dekat mata. Garis sulit yang kita buat sambil menggigit gigi, terlihat di samping mulut. Keriput yang panjang untuk jalan yang panjang, keriput yang pendek untuk jalan yang pendek." (Hlm. 86-87)

"Saat aku menemukan kotak pos kosong, aku merasa jantungku tersentak. Seperti pertemuan yang kita rindukan. Seperti ketika aku pulang ke rumah dan ibuku tidak ada di sana. Perasaan sepi yang menguasai diriku. (Hlm. 91-93)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget