Pages

21 September, 2015

[Cerpen] Bintang Jatuh

“Maukah kau kucintai dengan cinta yang pernah kecewa?”

Astra tersenyum sembari melayangkan pandangannya ke arah sepasang kekasih di pojok ruangan. Ia tahu bahwa ini tidak akan pernah mudah. Dengan Bintang, semua tidak akan semudah yang dibayangkannya. Sebab Bintang begitu rapuh di balik ketegaran yang ia munculkan dalam keseharian. Gadis itu selalu memendam ketakutannya akan cinta, di saat ia selalu yakin akan kekuatan terbesar dari cinta. Paradoks yang begitu indah. Itulah yang membuat Astra ingin selalu melindunginya.

Bintang masih menunggu jawaban Astra, tanpa memandangnya. Ia seperti terpekur menatap bibir gelas lemon tea yang hanya bersisa seperempatnya saja. Sesungguhnya, Bintang tak akan pernah mampu menatap mata orang yang akan ia cintai. Ya… akan.

Astra menyeret pandangannya kembali pada wajah Bintang. Menghela nafas pendek sebelum melahirkan kata-kata yang akan menentukan kelanjutan nasib perasaannya.

“Bintang… bukankah setiap orang pernah kecewa? Maka tentu saja aku akan menerima cintamu yang pernah kecewa. Lalu akan kuusahakan agar cintaku tidak mengecewakanmu lagi. Kumohon, percayalah padaku.”

Bila Bintang tetap tidak memercayainya, Astra pasrah. Di balik sifat tidak tegaan Bintang, ia juga adalah wanita keras kepala nomor satu yang begitu yakin dengan segala yang ia putuskan. Jangan pernah harapkan Bintang akan menarik kembali keputusannya, meski ia harus menderita karenanya. Bagi Bintang, pantang menjilat ludah sendiri. Ah… lagi-lagi paradoks yang indah. Juga menyulitkan Astra, tentu saja.

“Jadi… bagaimana jawabanmu, Bintang?”

Bintang mengangkat kepalanya dan menatap mata Astra dengan pandangan rapuh, seakan lelah ingin bersandar namun tertahan.

***

Bintang

Lelaki di hadapanku ini—yang selalu kuanggap lebih bocah dariku sebab memang usianya yang lebih muda tiga tahun dariku—menawarkan sesuatu yang begitu serius. Ia meyakinkanku untuk memberinya kesempatan menggenapi takdirku. Namanya Astra, lelaki yang kukira awalnya pendiam, namun ternyata suka berkelakar dan menggodaku, berkacamata—yang justru bukan tipeku—dengan tinggi menjulang dan badan sekurus tiang. Sangat berbeda dengan lelaki-lelaki sebelumnya yang berusaha memenangkan hatiku. Bahkan secara fisik, mereka jauh lebih keren dibandingkan Astra. Tapi ada satu yang mereka tak miliki, sedang Astra memilikinya.
Ketenangan.

Astra mampu membuatku tenang. Sejauh ini.

***

Astra

Belum pernah aku sejauh ini.

Bahkan nekat dan begitu bodoh. Melamar seorang gadis—yang berusia tiga tahun lebih tua dariku—secara langsung pada orangtuanya tanpa diketahui sang gadis sebelumnya. Ayah dan kakak lelakiku pun kaget saat aku menyatakan bahwa aku ingin menikah. Meski awalnya mereka agak enggan dan mencoba membujukku untuk mengurungkan niat, tapi akhirnya mereka mengabulkan pintaku. Mungkin tekad di mataku yang begitu membara terlihat jelas oleh mereka.

Ya… memang belum pernah aku segigih ini memperjuangkan seorang gadis. Usiaku saat ini 24 tahun, bahkan tidak sesuai dengan rencana hidupku yang ingin menikah di usia 27 tahun. Tapi dengan Bintang, aku tak bisa berlama-lama. Ia persis seperti namanya, Bintang Jatuh. Bintang yang bila tidak kautangkap dengan cepat, akan melesat hilang kerlipnya dalam sekejap. Ia tak pernah mau menunggu. Memesonamu sekaligus memaksamu memutuskan dalam detik pertama kau melihatnya.

Sudah sering aku dibuatnya gila dengan tingkahnya. Sudah sering pula aku dibuatnya rindu hingga sesak di dada. Seperti saat ini, saat semua—keluarganya dan keluargaku—sudah menyetujui lamaranku, Bintang malah mempertanyakan perasaanku. Bukankah sudah begitu jelas?

Kadang, Bintang memang begitu naïf dan tetap menganggap tidak ada apa-apa di antara kami. Ia bertingkah tanpa beban saat ditanya teman-teman kami mengenai hubungan kami. Mereka mungkin mengendus ada sesuatu yang serius di antara aku dan Bintang, karena gelagatku. Aku memang payah menyembunyikan perasaanku. Bagaimana tidak, aku begitu riang dan menjadi bawel setiap melihat dirinya. Selalu menanggapi perkataannya, selalu ingin agar ia mempertimbangkanku sebagai seorang lelaki dewasa, bukan sebagai adik lelaki yang manis.

“Biasa saja. Jangan cie-ciein aku sama Astra. Kasihan Astranya.”

Selalu begitu jawabnya.

Pernah kutanyakan padanya langsung mengapa ia menjawab seperti itu, padahal aku sudah melamarnya.

“Bahkan satu detik ke depan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi, Astra. Hati-hati dengan harapanmu, jangan kau kira karena kau telah melamarku minggu lalu, maka kau telah memilikiku. Harapan seringkali merupakan akar kekecewaan. Bukankah kau bahkan belum mendapat restu ayah dan kakak lelakimu?”

“Apakah kau mencintaiku, Bintang?”

“Sudah sejak lama aku meyakini bahwa mencintai adalah sebuah keputusan. Tidak pernah terjadi secara tiba-tiba. Saat kau memutuskan untuk mencintai seseorang, maka kau akan mengizinkan hati, jiwa, dan ragamu untuk mencintainya. Dan aku memutuskan akan mencintai suamiku kelak. Kalau kau tanyakan apakah aku mencintaimu sekarang, tentu dengan tegas akan kujawab tidak. Sebab kau bukanlah suamiku, Astra.”

Jawabannya saat itu membuat aku semakin mencintainya. Tapi kini, aku menjadi ragu akan perasaannya padaku. Salahku memang, sedari awal aku tidak memastikan perasaannya padaku.

***

“Jadi… bagaimana jawabanmu, Bintang?”

Bintang mengangkat kepalanya dan menatap mata Astra dengan pandangan rapuh, seakan lelah ingin bersandar namun tertahan.

“Dampingi aku. Jangan pernah coba memahamiku, sebab kau akan lelah, Astra. Cukup berjalan bersamaku dan genggam tanganku erat. Jangan sekali pun kau coba untuk melepasnya, sebab mungkin aku akan terbang menjauh persis di detik kau melepaskan genggamanmu.”

“Apakah itu sebuah YA untukku, Bi?”

Bintang mengangguk dengan senyum.

***

Meta morfillah
Jakarta, 27 Agustus 2015
*cerpen ini diikutsertakan dalam #LelangBukuBayarKarya edisi Romance Bintang & Astra di grup LoveBooksALotID. Memenangkan juara 3.

No comments:

Post a Comment

Text Widget