Pages

12 September, 2015

[Review buku] Trilogi Soekram

Judul: Trilogi Soekram
Penulis: Sapardi Djoko Damono
Penerbit: Gramedia pustaka utama
Dimensi: v + 273 hlm, cetakan pertama maret 2015
ISBN: 978 602 03 1478 5

Sesuai judulnya, buku ini memuat tiga kisah tentang Soekram. Seorang tokoh yang menggugat pengarangnya sebab sang pengarang keburu meninggal sebelum menyelesaikan tulisannya. Artinya, Soekram merasa digantung.

Di cerita pertama berjudul "Pengarang telah mati", Soekram menuntut agar ceritanya diselesaikan dan dipublikasikan melalui teman si pengarang yang telah mati, yakni editornya. Ceritanya sendiri berlatar belakang kerusuhan bulan Mei tahun 1998 disertai konflik asmara antara Soekram dengan Ida, Soekram dengan Rosa, dan Soekram dengan istrinya.

Di cerita kedua berjudul "Pengarang belum mati", dikisahkan sang editor bertemu kembali dengan pengarang pencipta tokoh Soekram yang ternyata belum mati. Pengarang tersebut menggugat editor untuk menerbitkan cerita tentang Soekram yang telah dibuatnya hingga tuntas. Ceritanya tentang Soekram dan konflik keluarganya. Ayahnya penganut partai banteng, adiknya cenderung ke gerakan revolusi dan ia sendiri tergabung dalam partai nasionalis, tapi pasif dan apatis. Belum lagi kisah asmaranya dengan Maria yang berbeda keyakinan.

Di cerita terakhir, berjudul "Pengarang tak pernah mati", Soekram geram membaca cerita tentang dirinya yang dituliskan oleh pengarang yang ternyata belum mati itu. Akhirnya ia memutuskan untuk menuliskan sendiri kisahnya. Yaa... Soekram tokoh rekaan yang berniat menjadi pengarang atas kisahnya sendiri, sehingga pengarang tak akan pernah mati. Cerita dalam kisah ini sungguh menarik. Sebab berkelindan dengan kisah robohnya surau kami karya A.A. Navis, Kartini, Semar, dan Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Bahkan Soekram sendiri sempat bertemu dengan Marah Rusli. Lalu Soekram sempat kebingungan sendiri dengan identitas dirinya sebagai tokoh atau pengarang.

Ide ceritanya begitu menarik. Mengangkat tentang hubungan antara penulis dengan tokoh fiktif karangannya sendiri. Lucu yang mikir! Ditambah isu-isu yang disampaikan sebagian besar merupakan sejarah. Jika saja pembacanya tak membaca atau tahu tentang isu zaman dahulu yang dipakai pengarang, mungkin ia akan kesulitan menemukan apa menariknya buku ini. Terlebih di cerita ketiga. Saya banyak tertawa, membayangkan tokoh-tokoh itu diciptakan dan diubah sesuai keinginan Soekram. Alur cerita dibolak-balikkan, tidak sesuai cerita awal mula. Sungguh cerdas.

Gaya bahasa eyang sapardi seperti biasa, datar, dengan kalimat panjang-panjangnya. Selalu saya lebih suka puisi beliau dibandingkan cerpen atau novelnya. Tapi di buku kali ini, saya suka temanya.

Saya apresiasi 4 dari 5 bintang.

"Aku tahu, kau akan tetap terselip di antara huruf-huruf dalam buku yang kubaca, di antara butir-butir udara yang kuhirup, bahkan di sela-sela sel darah yang menghidupkanku. Aku tetap percaya kepada kata, kepada huruf." (Hlm. 72)

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget