Pages

29 September, 2015

Kembali belajar dari Ali & Fatimah

KEMBALI BELAJAR DARI ALI & FATIMAH

Kisah cinta Ali dan Fatimah adalah lambang cinta suci yang dipendam dalam hening sejak kecil, diwujudkan dalam halalnya pernikahan. Happy ending. Tapi kali ini, saya ingin melihat kisah itu dari sudut pandang parenting.

Sebagai wanita, tentulah kita malu menyebutkan siapa yang sedang kita cintai, bahkan kepada orangtua. Sebab memang mahkota wanita ialah malu, dan bila malu sudah hilang darinya, maka berbuatlah sesuka hatinya. Begitu pun Fatimah. Mungkin, cintanya akan kandas, bila ia tak memiliki ayah yang beriman pada Allah dan peka pada anak. Yaa... rasulullah yang cemerlang perilakunya, paham benar akan perasaan Fatimah pada Ali, meskipun Fatimah tak pernah memberitahukannya. Dengan santun, Rasul menolak pinangan untuk Fatimah, bahkan pinangan dari sahabat-sahabatnya yang mulia seperti Abu bakar dan Umar bin khattab. Tetapi, saat Ali, pemuda miskin yang hanya memiliki baju perang sebagai hartanya mengajukan lamaran, apa yang dikatakan Rasul?

"Ahlan wa sahlan ya Ali... Selamat datang, lamaranmu diterima."

Redaksi kalimat itu, bagi saya semacam penantian Rasul akan lamaran Ali. Menegaskan bahwa Rasul sudah menunggu Ali melamar Fatimah. Bukankah terlihat betapa rasul sebagai ayah dari seorang anak perempuan bernama Fatimah, begitu penuh dan sempurna menunaikan kewajibannya sebagai ayah? Beliau melindungi hati dan cinta Fatimah pada Ali. Bertindak sebagai pelindung, pengayom dan mempermudah cinta itu bermuara di gerbang pernikahan.

Sungguh, saya rindu sosok orangtua, terutama ayah seperti Rasul. Ayah yang paham tanpa perlu dipahamkan, mengerti tanpa perlu dijelaskan pengertian. Tentunya, hal itu lahir sebab hubungan yang baik antara anak dan ayah. Tentunya, restu orangtua itu dibangun sejak lama. Sehingga, tidak ada keraguan saat orangtua menerima pinangan untuk putrinya. Sebab, orangtua sudah paham tabiat anaknya, dan bisa melihat siapakah yang cocok menjadi partner hidup anaknya kelak, mengimbangi segala kelemahan dan kekurangan anaknya.

Berbahagia sekali... memiliki orangtua yang menjalankan fungsinya dengan benar.

Selain itu, pelajaran lain yang saya dapatkan dari kisah ini adalah mengenai komunikasi anak terhadap orangtua. Kita tentu tahu bagaimana akhlak Fatimah terhadap orangtuanya, begitu penurut dan menunaikan birrul walidain. Sehingga saat ia menginginkan sesuatu, orangtuanya memudahkan bahkan merestui. Patutlah kita contoh. Sebab terkadang kita lalai memerhatikan orangtua dan haknya. Lalu saat kita butuh restunya, kita paksakan kehendak kita pada mereka. Inilah yang sering memicu permasalahan anak dan orangtua. Terutama dalam hal pernikahan.

Menurut saya, restu itu sangat penting. Harus dikomunikasikan jauh sebelum kita memulai ta'aruf. Komunikasikan dengan baik dan tidak mendadak. Jangan sampai demi pujaan hati, kamu abaikan hati dua orang yang menyebabkan kamu lahir ke dunia. Untuk para lelaki, memang pernikahan kalian sah tanpa restu orangtua, tapi percayalah itu tidak akan berkah. Akan ada banyak masalah di kemudian hari bila kalian tak memedulikan restu orangtua.

Pada akhirnya, saya kira menggapai bahagia tidaklah harus merusak kebahagiaan orang lain, dalam hal ini orangtua.

Yuk, bangun hubungan baik lagi dengan orangtua! Maksimalkan doanya, sebab orangtua adalah pintu surha yang tengah. Jangan kamu siakan! Semoga kelak kita mampu menjadi orangtua terbaik bagi anak-anak kita.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget