Sebening tetesan embun
pagi...
Secerah sinarnya
mentari...
Bila ku tatap
wajahmu oh ibu...
Ada kehangatan di dalam
hatiku...
Boleh setuju, boleh tidak... bila saya
membuat pernyataan bahwa obat dari segala obat adalah wajah ibu yang teduh,
pelukan ibu yang hangat dan menenteramkan. Terlebih bagi mereka yang terpisah
jarak dengan ibunya. Bahkan kehadiran ibu saja, bisa mengali-lipatkan kekuatan
dan semangatmu. Menatap wajahnya, membuat hangat hati yang resah dan
menghilangkan cemas yang merona.
Air wudhu' selalu
membasahimu...
Ayat suci selalu
dikumandangkan...
Suaramu penuh keluh
dan kesah...
Berdoa untuk putra
putrinya...
Satu hal yang paling kuingat tentang ibuku
adalah saat ia beribadah pada Allah. Ibu senantiasa terbasuh wudhu, dan tak
henti mengumandangkan ayat suciNya. Terlebih di waktu isya dan tahajjud malam. Saat
terbangun dari tidurku, sering kudapati ia berdoa dengan suara penuh keluh dan
kesah. Memohon mesra pada Rabb. Bahkan pernah kudengar ia menyebut nama
lengkapku binti nama ayahku, mendoakan kelancaran urusanku tanpa kupinta. Doanya,
adalah untaian kasih sayang yang mewujud keberuntungan bagiku. Semakin dewasa,
semakin sering kukatakan ini padanya, saat mencium mesra tangannya yang bengkok
dan penuh keriput
“Ma,
doain yaa..”
Meski aku tahu ia akan senantiasa
mendoakanku. Itu kulakukan semata untuk menegaskan penguatan dan menumbuhkan
semangatku mendengar jawabannya “Iya, Mama doain. Semoga lancar urusannya.”
Oh ibuku...
Engkaulah wanita...
Yang kucinta selama
hidupku...
Maafkan anakmu bila
ada salah...
Pengorbananmu tanpa
balas jasa...
Pernah suatu ketika, seorang kawan berkata
padaku “Kelak, saat kau jadi ibu, kau akan jauh lebih mencintai ibumu. Setelah kautahu
apa yang harus dilewati seorang ibu. Ibu yang mengurusmu dengan mengharapkan
kehidupanmu, sementara kau mengurusnya dengan mengharapkan kematiannya.”
Mungkin memang benar. Tapi, tak perlu
menunggu menjadi ibu... saat usia bertambah, aku semakin jauh mencintai ibuku. Membayangkan
di usia sekian, ibu harus bekerja sekaligus menjadi istri dan ibu. Banyak peran
yang ia jalani, dan tak satu pun dalam ingatanku yang muncul tentang ibu
mengeluhkan pekerjaannya. Ibu selalu tampak tak ada beban. Sesekali ia terlihat
sibuk terbenam dalam tumpukan kertas. Namun bila aku mengganggu dan menyita
perhatiannya, ia tak menolakku dan tak mengeluh sedang ada kerjaan. Ia hanya
mengalihkan perhatianku, tanpa membuatku merasa dinomorduakan. Akhir-akhir ini,
aku semakin sering menangis. Menyadari bahwa waktuku dengan ibu semakin
berkurang. Sebab bertambahnya usiaku menunjukkan berkurangnya jatah
kebersamaanku dengan ibu. Sementara aku bertumbuh, ibuku bertambah lemah, renta,
dan tua.
Ya Allah ampuni
dosanya...
Sayangilah dia
seperti menyayangiku...
Berilah dia
kebahagiaan...
Di dunia juga
diakhirat...
Di sela tangisanku, aku hanya bisa lirih memeluknya dalam
doa. Memohon pada Rabb, agar ibuku disayangiNya sebagaimana ibu menyayangiku. Agar
Rabb mengampuninya dan mengizinkan aku membahagiakan ibuku dengan usahaku
sendiri. Mewujudkan kebahagiaannya di dunia dan akhirat, dengan beragam prestasi
dan tetap menjaga akhlak. Berharap semoga di akhirat kami diperkenankan bersama
kembali. Betapa kematian adalah niscaya, yang begitu menohok kesadaran tentang
diri yang tak ada artinya.
Meta morfillah
Ini liriknya pas banget di kalbu :)
ReplyDelete