Pages

13 May, 2014

Risiko menjadi baik

Gambar diambil dari sini
Bunda bilang, selama empat hari Bunda menemaniku tidur, aku selalu mengigau dan menahan tangis. Suhu badanku memanas dan tidurku tak tenang. Tapi itu semua hanya terjadi ketika aku tertidur. Saat mataku terbuka, yang mereka lihat adalah aku yang sehat. Ceria dan tidak mengalami kendala apa pun. Kalau pun sedang drop fisikku, mereka hanya tahu aku sedang terserang flu. Bunda bilang, aku pemain teater yang hebat. Hingga bisa menipu banyak orang seperti itu. Apa iya?

Sebenarnya, apa yang kuimpikan? Mimpi burukkah? Aku bahkan tak dapat mengingatnya lagi. Tapi, seorang kawan baikku yang merupakan psikolog berkata, bahwa sebaiknya aku memaki sesekali. Marah meledak-ledak sesekali. Tidak perlu menahan. Sebab, apa yang terjadi adalah akumulasi atas apa yang kubilang "mencoba baik dan tidak apa-apa". Kawanku bilang, stigma "aku rapopo" itu racun. Bisa membuat gila. Sebab, tidak semua orang bisa berempati pada si "aku rapopo" bila ia tak mengatakan dengan lugas dan tegas bahwa dirinya tersakiti. Tidak semua orang bisa mengambil pelajaran dari hal lembut. Terkadang mereka harus dilempari batu untuk tahu. Dunia ini semakin individualis dan berkedok humanis. Nyatanya... Mereka semua adalah makhluk pragmatis.

Apakah menjadi baik, selalu menyakiti hatimu sendiri? Seperti saat dia mengingkari janjinya, membuatmu menunggu dalam hening dan dingin yang menusuk tulang di bawah salju yang merintik. Lalu seenaknya bilang, tidak dapat datang. Tanpa tahu, bahwa hidungmu memerah, telingamu berdenging, tulangmu gigil. Hampir pingsan. Lalu kamu hanya dapat menarik nafas panjang. Ini bukan kali pertamanya. Sudah seharusnya kamu sadar, bahwa ia selalu memulai sebuah harapan untuk kemudian dihancurkannya lagi. Keesokan harinya, kamu hanya mampu menjawab "Aku tidak apa-apa" sambil tersenyum. Diam. Malas bicara. Tapi itu tidak bertahan lama, karena kamu tak tega. Walau maaf pun tidak terucap dari mulutnya.

Pun dengan perkataan-perkataan lain, yang berasal dari mereka yang merasa berhak mencampuri hidupmu. Pernah suatu ketika, kamu berkata, "Berhenti. Aku tak suka dengan pembicaraan ini." Tapi mereka tetap melanjutkan. Sampai akhirnya kamu benar-benar diam, dan tak menganggap keberadaan mereka. Akhirnya mereka diam. Apa harus selalu diam, untuk membungkam?

Bunda memaksamu ke dokter. Tapi kamu tak mau. Alih-alih menyembuhkan, dokter hanya semakin menambah daftar panjang racun yang harus kamu minum. Kamu sendiri yang mengetahui sakitmu. Sakit fisik ini, berasal dari seonggok daging yang begitu rentan. Dilukai bukan oleh pedang, melainkan kata-kata. Bunda tak tahu. Tak perlu tahu. Selamanya, kamu adalah anak Bunda yang tegar, kuat dan tak pernah--boleh--mengeluh. Sebab, Bunda yang mengajarkan begitu. Bahkan, memaki pun kamu tak mampu.

Begitulah, risiko menjadi baik.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget