Pages

13 May, 2014

Pada sebuah bangku taman

Bangku taman berwarna cokelat dengan pinggiran tangkainya yang putih, kerap menjadi temanku dalam hening. Bangku yang mampu menampung tiga orang di atasnya ini, sering kali kukuasai sendiri. Pengunjung taman lainnya, seakan paham tentang keenggananku berbagi. Mereka tak mengusikku. Sama seperti sore hari sebelumnya di Minggu yang cerah.

Di bangku taman ini, kerap kulakukan dialog dengan sosoknya. Sosok diriku yang terperangkap dalam jasadku. Dialog yang begitu berat, dan sering kali tak mencapai kesepakatan. Tanya yang kembali melahirkan tanya. Jarang sekali mendapatkan jawaban. Namun tetap kulakukan. Semata, karena aku ingin adil, sejak dalam pikiran.

Seperti halnya, masalah cita-cita. Apa yang sebenarnya ingin ia capai? Apa yang sebenarnya terjadi saat ini? Apakah ada yang menyimpang? Ataukah apa yang terjadi justru begitu jauh dari harapannya? Siapa yang bertanggung jawab? Begitu banyak daftar pertanyaan, yang melelahkan. Membuat kami sama-sama diam. Termenung. Meresapi dalam-dalam helai demi helai udara yang semilir di antara hela nafas.

Begitu pula tentang cinta. Benarkah akan ada suatu masa di mana cinta akan hadir dan mampu menerima kami? Mewadahi pikiran kami yang sering melangit, bahasa yang sering kali berasal jauh dari bumi? Mampukah mereka, tanpa lelah memaklumi? Menyadarkan kami bila terlalu melangit? Membumikan hati kami? Atau kami harus menekan dalam-dalam apa yang kami inginkan? Sekadar menjadi piring yang menerima diisi apa pun, tanpa bisa memilih? Hingga kadang dada terasa sesak membayangkan kemungkinan itu.

Juga tentang keluarga, persahabatan dan pertemanan. Apakah kami telah begitu menyakiti, tanpa kami sadari? Atau justru kami yang sering kali tersakiti, tanpa kami sadari? Mencoba berbaik sangka di tengah nyata bahwa kami tak disuka? Atau semua hanya fatamorgana? Apakah yang terdekat selalu berpotensi nomor satu dalam menyayat? Semakin sesak mencoba menjawab pertanyaan itu. Terasa udara menjadi lebih dingin, seiring senja yang telah dijemput malam.

Pada sebuah bangku taman, yang jauh lebih setia, aku sering melakukan perjalanan terbesarku. Berdialog dengan dia, yang mungkin kamu sebut hati nurani, jiwa, roh, atau apalah. Ini tak semakin mudah. Walau semakin sering kamu melakukannya. Jika tak kuat, hanya nelangsa yang kamu dapat. Lebih berat adalah perdamaian-perdamaian yang harus kamu lakukan setelahnya. Mewajarkan setiap kesalahan yang tak bisa kamu hindari. Semua yang berawal dari salah memilih. Salah memilih perkataan, salah memilih sikap, salah memilih pasangan, salah memilih pergaulan, salah memilih pekerjaan dan salah memilih lainnya.

Yaa.. Pada bangku taman ini, raut wajahku berubah-ubah. Lalu semua selesai. Dalam satu atau mungkin dua jam. Sebelum seminggu kemudian, aku kembali datang.


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget