Pages

03 September, 2014

Pertanyaan yang tak berjodoh dengan jawabannya

Dewi dan Tio berjanji pada hari Senin bahwa mereka akan bertemu lagi setelah 2^2014 (dibaca: 2 pangkat 2014) demi mengejar cita-cita bersekolah di luar negeri. Kira-kira, pada hari apakah mereka akan bertemu lagi?


Itu merupakan penggalan soal matematika kelas 1 SMP ponakan pertama saya. Saya membantunya menyelesaikan soal tersebut dengan menggunakan rumus dasar bilangan berpangkat. Memakai satu sifat saja. Hasilnya ketemu? Ketemu. Selesai? Berapa jadi nilai finalnya? Tidak selesai. Hanya ketemu sampai 2 tahap menjelang selesai lalu saya biarkan menggantung. Saya hanya menyederhanakan pangkat. Satu juta sekian pangkat sepuluh dikali satu juta sekian pangkat sepuluh dikali seribu dua puluh empat dikali enam belas. Itu hasil yang saya dapatkan. Kasihan ponakan saya, bila saya paksa lagi dia untuk menghitung perkalian itu, di pertemuan pertamanya dengan bilangan berpangkat--bahkan gurunya belum menjelaskan materi, hanya memberi soal pekerjaan rumah. Saya takut dia--ponakan saya--jadi membenci matematika karena hal yang kurang riil tersebut. Tapi dia penasaran. Dia meminta dihitung pakai kalkulator. Pakai kalkulator biasa, tentu tak bisa. Maka saya ajarkan cara memakai kalkulator scientific.

Hasil dari 2^2014 (dibaca: dua pangkat dua ribu empat belas) adalah sederet angka hingga ditutup huruf e. Menandakan kalkulator tersebut tak sanggup menyelesaikannya. Error. Sebab angkanya masih kurang banyak, namun layar kalkulator sudah tak mampu menampungnya.

Ponakan saya kekeuh bertanya pada saya, berapa hasil finalnya? Ia takut gurunya akan marah karena ia tak menemukan jawaban untuk soal tersebut.

Melihat ia yang ketakutan seperti itu, saya berkata seperti ini,
"Mas Daffa, kalau soal ini benar dari guru kamu, maksudnya kamu enggak salah tulis saat didikte, maka jawabannya cukup sampai bentuk ini saja. Yang penting kamu paham rumus dasar yang teta ajarkan tadi. Kalau guru kamu marah, bilang saja,
'Tanteku yang mengajariku bilang jawaban soal ini adalah pada hari setelah 5 tahun dari hari senin saat mereka berjanji. Tepatnya saya kurang tahu, sebab kalkulator pun error dalam menjawabnya, Bu.'

Kalau bu gurumu masih marah dan bilang saja,
'Maaf bu, tante saya memang sudah tidak mengajar lagi, jadi dia tidak tahu jawabannya. Memang jawaban yang benarnya apa dan bagaimana, Bu?'

Sebab, teta yakin untuk pertemuan pertama kamu dengan bilangan berpangkat ini, guru kamu hanya mengetes sejauh mana kemampuan pemahaman kamu atas sebuah proses/rumus dasarnya. Bukan tentang jawabannya. Dari lima soal cerita, hanya satu soal ini yang berbeda. Mungkin memang soal ini disengaja atau tidak, untuk dianulir. Ya, mungkin soal ini adalah bonus. Dikerjakan, maka kamu akan paham kesulitan dan prosesnya, walau tak ketemu jawabannya."

Setelah mencerna petuah panjang saya, dengan diselingi beberapa pertanyaan polosnya, barulah dia tenang. Wajahnya sumringah, senyum, dan mulai move on ke PR selanjutnya, menggambar pohon impian. Selagi dia asyik mewarnai pohon impiannya, saya menemaninya dengan setengah merenung. Mencerna kembali peristiwa yang baru saja terjadi.

"...guru kamu hanya mengetes sejauh mana kemampuan pemahaman kamu atas sebuah proses/rumus dasarnya. Bukan tentang jawabannya...."

Bukankah hal itu terasa sangat familiar?

Kita seringkali memaksakan untuk menemukan jawaban atas semua permasalahan kita. Lalu saat tak ketemu juga, hal yang menurut kita solusi finalnya, maka kita berkutat di satu soal itu saja. Gegabah. Tak move on. Tetap berfokus pada masalah yang sebenarnya, mungkin tak perlu menemukan jawabannya. Sebab, kita memang belum di tingkat yang tepat untuk menjawabnya (analoginya menyelesaikan persoalan matematika kelas 3 SMA saat masih kelas 1 SMP). Tuhan hanya menguji kemampuan dan pemahaman kita akan sebuah proses. Tak melulu tentang hasil, apalagi berhasil. Tapi ini tentang ikhtiar dan pengamalan ilmu yang dimiliki.

Sebab, tak semua pertanyaan harus bermuara pada satu jawaban.

Mungkin cukup sampai di tahap itu. Menggantung. Lalu perlahan pemahaman itu akan datang di saat kita ikhlas dan merenungi prosesnya kembali. It's called problem solving, isn't it?

Cara Tuhan pun begitu fantastis, dan datang dari arah yang tak disangka. Persis seperti yang baru saya alami. Di saat saya sibuk mencari jawaban melalui bertanya pada beberapa orang, hingga melakukan perjalanan untuk menemukan tanda-tanda jawaban dariNya, Tuhan malah menjawab melalui lisan, bibir saya sendiri. Di rumah saya sendiri. Melalui kejadian kecil yang begitu dekat dan nyata dalam kehidupan saya pribadi. Tuhan menuntun saya dengan caranya yang unik!

Lalu saya pun mulai tersenyum, mengikhlaskan. Persis seperti senyum ponakan saya yang lega, sebab tahu gurunya tak akan marah walau pun ia tak berhasil menjawab soal cerita matematika tersebut.


Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget