Pages

08 September, 2014

Sebuah doa untuk uda yang luar biasa

7 September 2014

Tepat 31 tahun yang lalu, mama melahirkan seseorang yang luar biasa, yang selamanya tak akan pernah jadi biasa, sebab ia terlahir istimewa.

Kecelakaan di usia yang masih sangat muda (seminggu setelah lahir) menyebabkan uda irfan menjadi berbeda dari orang normal. Ya, ini adalah kisah uda irfan, abang lelakiku satu-satunya. Jarak kami yang begitu jauh--tepatnya 6 tahun 1 bulan 15 hari--membuat hubungan awal kami berjalan kurang mulus. Uda yang terbiasa menjadi anak bungsu dan karena keterbatasannya, semua perhatian melimpah kepadanya, lalu 6 tahun kemudian aku muncul dan merebut perhatian itu sebagai anak bungsu. Itu adalah salah satu sebab, terdapat banyak luka fisik di tubuhku. Salah satu luka yang paling terlihat dan selalu menjadi pertanyaan orang-orang adalah luka cakaran di pipi kanan dan kiriku yang seperti kumis kucing.

"Tha, pipi lo kenapa sih tuh? Kayak kucing. Obatin biar mulus, gih!"

"Haha, biarin. Gw kan saudara kembar cewek naruto, jadi gw naruti. Mirip, kan!"

Yaa, seperti itu biasa aku meladeninya sekarang. Kalau dahulu, aku berbohong dengan menjawab luka ini bekas dicakar kucing. Mengapa? Karena aku malu, bila harus jujur pada teman sekolah, bahwa luka ini berasal dari kakak lelakiku satu-satunya, yang sering tantrum (kumat, ngamuk) dan sasaran utamanya selalu aku, karena aku satu-satunya makhluk lebih lemah darinya di rumah. Ia tak pernah berani menyakiti yang lain, kecuali aku. Itu dulu, saat aku kecil dan inferior.

Karena itu pula, saat menahan sakit dan menangis tiap kali mendapatkan serangan, aku selalu bertanya pada tuhan, mengapa aku memiliki kakak laki-laki seperti itu? Tidak mudah bagiku menerima uda dengan terbuka. Aku selalu ingin dia jauh dariku, karena aku takut dicakar, dipukul dan lainnya. Juga aku mengalami krisis percaya diri. Tak mau membawa teman bermain ke rumah, karena aku malu jika teman-temanku tahu keadaan udaku. Tentu saja, itu hanya ada dalam pikiranku. Kusimpan rapat-rapat, tak kuberitahukan pada siapa pun alasannya. Tapi itu hanya bertahan hingga kelas enam SD.

Mungkin karena aku sudah bisa melawan, memasuki usia remaja, dan kejadian bapak yang meninggal, perlahan aku mulai bisa menerimanya. Tapi hubungan kami pun tak begitu harmonis. Tetap saja aku masih agak menjaga jarak. Dan tetap saja aku menyimpan pertanyaan pada Tuhan, mengapa aku diberikan kakak lelaki yang tak sempurna?

Lalu waktu mulai memainkan perannya. Perlahan pertanyaanku terjawab satu per satu. Saat bekerja di homeschooling, banyak anak pengidap autism dan disabilitas lainnya yang cepat akrab padaku. Menurut pak etekku, itu karena aku terbiasa mengurusi udaku. Walau aku akui jauh dari kata tulus, semua itu kulakukan semata-mata menunaikan kewajiban saja, sebab takut diomeli mama juga. Dari anak-anak luar biasa tersebut, aku merasa bahwa udaku jauh lebih baik. Walau dia tidak mandiri, makan harus disuapi, mandi harus dimandikan, buang air harus diceboki, dan lainnya. Tapi setidaknya, udaku tidak menyusahkan orang lain--selain keluarga dekatnya. Uda pun cukup lucu, menggemaskan dan memiliki empati. Saat ada yang sakit, ia mau memijat dan pijatannya enak sekali. Mau disuruh-suruh ambil ini itu, angkat ini itu, dan dia sangat resik, sering merapikan hal-hal yang berantakan menurutnya, lalu dibenahi menurut versi terbaiknya.

Hubunganku dengannya semakin harmonis saat aku kuliah dan bekerja. Entah mengapa, terlihat bahwa dia lebih segan padaku, bahkan terkadang melawan mama, tapi tidak melawanku. Padahal, interaksiku dengannya tidaklah banyak. Sebab aku jarang di rumah. Lalu kini, tak terasa sudah 31 tahun uda hidup di dunia, dengan mengemban misi dari Tuhan, yang hanya diketahui olehnya dan Tuhan. Hampir 25 tahun aku menjadi adiknya. Adik yang terkadang masih berharap uda menjadi kakak lelaki sempurna, tapi kemudian sadar bahwa diriku sendiri bukanlah adik yang sempurna untuknya.

Di hari miladnya ini, aku hanya bisa berdoa semoga sisa usianya berkah, semoga ia benar-benar menjadi ladang amal bagi keluarga kami, bukan ladang dosa, karena kami mungkin sering menyakitinya. Semoga kelak, aku mendapatkan pasangan yang mengerti tentang udaku, memahami dan mengizinkanku merawatnya dan mama hingga akhir usia. Semoga dia tidak pernah menyesal memiliki adik sepertiku.

Tuhan, bolehkah kupinta seperti itu?

Selamat berbahagia, Uda Irfan. Kelak, kami akan tahu apa arti dan peran besar dirimu dalam hidup kami. Tuhan yang akan menjelaskannya, di hari pengadilan. Nanti.



Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget