Pages

15 September, 2014

Memantaskan diri demi sesuatu?

Sering saya dengar perkataan "Pantaskan dan perbaiki diri agar dapat yang terbaik. Laki-laki yang baik untuk perempuan baik, begitu pun sebaliknya."

Ya, memang Allah menjanjikan itu. Tapi, ayat itu pun turun karena apa (asbabun nuzul), harus dilihat juga konteksnya. Ayat itu turun karena ada fitnah terhadap Bunda Aisyah r.a. Dengan Shafwan r.a. Allah menegaskan dalam ayat itu, bahwa Rasulullah adalah lelaki yang baik, maka istrinya pun adalah perempuan baik, yang tidak akan melakukan perbuatan zina seperti yang dituduhkan.

Sayangnya, ayat itu kerap kali dijadikan pegangan para pencari jodoh. Ini mengkhawatirkan, menurut saya. Sebab apa? Sebab, terasa ketidakikhlasan di dalamnya. Mereka memantaskan diri, memperbaiki diri, demi pujaan hati. Bukan demi Allah. Padahal diterangkan pula oleh Allah, bahwa segala sesuatu bergantung pada niatnya. Jika kamu berhijrah demi harta, maka kamu akan mendapatkan harta. Jika kamu berhijrah demi wanita, maka kamu hanya akan mendapatkan wanita. Jika kamu berhijrah demi Allah dan Rasulnya, maka itulah yang kamu dapatkan. Jadi, jika kita hanya berusaha demi mendapatkan pasangan terbaik, maka kita akan mendapatkan pasangan itu saja. Tidakkah kita ingin ridhaNya? KeberkahanNya?

Lantas, bagaimana bila ternyata kita tidak mendapatkan jodoh di dunia? Atau bagaimana bila ternyata kematian lebih dahulu menjemput kita, sebelum kita sempat merasakan ikrar suci terucap? Apakah perubahan (hijrah) kita akan dihitung olehNya? Sedangkan kebaikan kita, upaya kita, selama ini hanya diikhtiarkan demi mendapatkan jodoh dunia saja, bukan demiNya. Apakah Allah mau menerimaNya?

Lantas, bagaimana bila ternyata kita mendapatkan pasangan dunia yang ternyata kurang baik? Salahkah ikhtiar kita? Ataukah janji Allah yang cacat? Apakah semua perubahan (hijrah) kita menjadi sia-sia? Benarkah pasangan dunia kita adalah jodoh kita? Apakah lantas itu membenarkan kita untuk kecewa pada Allah, sebab tak mendapatkan apa yang kita inginkan, setelah kita mengupayakan terbaik kita? Tak berkacakah kita pada Nabi Nuh a.s., Nabi Luth a.s., Asiyah istri Fir'aun, dan orang-orang sebelum kita?

Bagi saya, begitu aneh ketika kita mengupayakan kebaikan, ketaatan hanya demi mendapatkan sesuatu. Sungguh, terasa hitung-hitungan, tak ikhlas, mengharap imbalan. Padahal, itu adalah keharusan, kewajiban, tugas kita sebagai seorang hamba. Seperti yang diterangkan firmanNya, "Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah padaKu."

Semoga, aksioma "memperbaiki diri demi mendapatkan yang terbaik", tidak melencengkan niat kita untuk beribadah pada Allah. Semoga tidak menimbulkan kekecewaan yang tidak pantas hadir dalam menyembahNya. Semoga kita tidak begitu picik memperbaiki diri hanya demi mendapatkan sesuatu, lalu setelah berhasil mendapatkannya, kita berhenti memperbaiki diri.

Semoga tidak seperti itu.

"Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu."



Meta morfillah

2 comments:

  1. Kalau niat awalnya memang karena seoarang manusia, tp lambat laun justru kita menyadari hal itu memang seharusnya demi Allah swt, itu bagaimana? Apakah pepatah lebih baik terlambat drpd tidak sama sekali masih berlaku?

    ReplyDelete
  2. Menurut saya, itu bagus. Berarti perlahan akal kita menyadari apa yang sejati. Sebab, beragama harus memakai akal. Makanya sering dibilang, lurukan niatmu. Manusia kan memang sering khilaf, harus saling nasihat menasihati. Wallahu'alam

    ReplyDelete

Text Widget