Salah satu buku yang saya
sukai sejak kuliah hingga saya jadikan bahan utama untuk presentasi mata kuliah
“Belajar dan Kinerja” adalah buku karangan Jansen Sinamo berjudul 8 etos kerja profesional. Kata-kata
dalam buku ini terasa tidak menggurui dan sejalan dengan prinsip yang saya anut
selama hidup. Dilengkapi pula dengan perumpamaan berupa cerita, itulah yang
saya sukai dari buku ini. Saya berikan sedikit cuplikan inti dan korelasi
dengan teori pendidikan yang didapat dari buku ini.
1.
Etos pertama: kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor,
sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita
terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser
pun. Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah.
Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya
kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu
anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua
nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.
Dari buku ini dapat saya kaitkan dengan teori Multiple
Intelligences (Howard Garner) mengenai kecerdasan majemuk. Menyadarkan bahwa
bakat yang beragam adalah suatu rahmat, sehingga menyebabkan ada begitu banyak
ragam pekerjaan, dan semuanya mulia.
2.
Etos kedua: kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau
anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik
toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah
dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi
tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
Dari buku ini dapat saya kaitkan dengan teori locus of
control, yaitu sikap seseorang dalam mengartikan sebab dari
suatu peristiwa. Dalam bekerja, kita harus mengetahui apa sebab/niat kita
mengerjakan sesuatu tersebut. Jangan seperti kerbau dicucuk hidungnya, nrimo
saja tanpa mencari makna di baliknya.
3.
Etos
ketiga: kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah
darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat
memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk
menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk
menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau
profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m
doing my best!” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita
kurang baik mutunya.
4.
Etos
keempat: kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum,
semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja
tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita
merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk
bengong tanpa pekenjaan.
Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan
psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan
dengan rasa pede ketika berjumpa koleganya. “Perkenalkan, nama saya Miftah,
dari Bank Kemilau.” Keren ‘kan?
Dari buku ini dapat saya kaitkan dengan teori kebutuhan
dari Abraham Maslow, yaitu tingkat kelima self actualization. Apapun pekerjaanmu,
itu adalah kebutuhan untuk aktualisasi keberadaan/eksistensi dirimu. Jadi semangat
yuk kerjanya, Met!
5.
Etos
kelima: kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua
pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan
membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan
semata. Berikut kutipan sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:
Seorang pemahat
tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang
tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang
berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah
membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang
tak bisa menikmatinya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah
berubah menjadi motivasi transendental.
6.
Etos
keenam: kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua
adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti
halnya melakukan hobi. Contohnya Edward
V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia
keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia
bisa menikmati pekerjaannya.
“Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.
“Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.
7. Etos ketujuh: kerja adalah kehormatan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah
sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan
lain yang lebih besar akan datang kepada kita.
Contohnya etos kerja Pramoedya Ananta Toer.
Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan
di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah
kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra
kelas dunia.
Dari buku ini dapat saya kaitkan dengan teori
kebutuhan berprestasi ( Mc Clelland), di mana manusia lebih menyukai kinerja
mereka timbul karena upaya mereka sendiri.
8. Etos kedelapan: kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan
penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama.
Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup
seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya.
Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti
menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah
daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu
menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang
memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah
warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah
yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama
sekali tidak ia kenal.
Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita
jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah
di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis kontras
yang giat membela kepentingan orang-orang yang teraniaya.
“Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik,” kata Jansen. Dalam bukunya Ethos 21, ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).
“Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan dilengkapi keinginan untuk berbuat baik,” kata Jansen. Dalam bukunya Ethos 21, ia menyebut dengan istilah rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).
Dari buku
ini hal yang dapat saya simpulkan adalah, seharusnya kita…
- Mendalami makna luhur pekerjaan; tidak sekadar mencari nafkah saja
- Membangun motivasi kerja yang lebih mulia; tidak sekadar demi uang dan jabatan saja
- Meningkatkan kecintaan pada profesi; tidak sekadar menjadi batu loncatan saja
- Memperkuat the culture of excellence dalam berkarya; tidak sekadar meraih target saja
- Membentuk budaya kerja unggul; tidak sekadar demi produktivitas saja
No comments:
Post a Comment