Jakarta, 6 Juni 2013
Awal pagi dingin yang menggigit,
di Kota Bogor.
Hari ini libur, merah di
tanggalan nasional. Peringatan Isra’
Mi’raj Nabi Muhammad SAW rupanya. Tapi bukan itu yang hendak kutuliskan dan
kubagi pada kalian. Saat ini aku sedang mengerjakan materi untuk training mala
praktik medis, kerjaan kantor tepatnya yang harus kukerjakan di hari libur
(Integritas, loyalitas, konsekuensi.. apalah namanya. Hahah). Kukerjakan
berdasarkan riset googling yang sudah kukumpulkan sebelumnya. Mengenai UU,
Peraturan dan kasus-kasus mala praktik yang terjadi di Indonesia. Dikarenakan
aku terlalu larut membaca kasus-kasus, menonton video pemberitaan mengenai
kasus tersebut, melihat gambar-gambar yang sangat menyentuh hati dan membaca
jurnal kedokteran & hukum, aku pun ngeblank. Terlalu deras informasi yang
diterima otakku dalam waktu secepat dan sepagi ini (belum sarapan, baru saja
mandi langsung buka laptop). Kutinggalkanlah sejenak, menuju rak
perpustakaan milikki di sudut ruang keluarga. Niatnya mau meneruskan bacaan
Life Of Pi.
Jenazah Dorkas Hotmian Silitonga dibelai sang anak. |
Tiba-tiba saja mama mendekatiku,
menanyakan apa yang sedang kukerjakan. Beliau heran melihatku keluar dari
kamar, laptop menyala dengan playlist winamp yang berputar mendendangkan lagu
anak-anak bervolume full, namun aku malah tiduran di ruang keluarga memegang
buku novel tersebut. Kujawab sedang mengerjakan materi tentang mala praktik,
dan aku jadi tidak tega, sedih sendiri karena membaca kasus-kasus tentang mala
praktik. Terutama tentang Dorkas Hotmian Silitonga, seorang ibu yang mengalami
koma setelah menjalani operasi caesar. Diduga karena kelalaian petugas medis
yang terlambat memberikan oksigen. Hingga tiga bulan lamanya koma, dan setahun
sejak operasi caesar kemudian beliau meninggal.
Aku mengutarakan pikiranku pada
mama, bahwa dalam menyikapi hal tersebut aku menjadi bingung. Karena
sesungguhnya yang kurasakan adalah tidak mempercayai bahwa adanya istilah mala
praktik. Aku berpendapat, bahwa sesungguhnya tidaklah mungkin seorang tenaga
medis/dokter tega melakukan mala praktik, kecuali dokter itu psikopat (seperti
dalam novel yang sering kubaca). Lain halnya dengan kasus Dorkas, yang diduga
karena kelalaian. Berlepas dari segala kasus tersebut, aku dan mama terlibat
sebuah perbincangan mengenai definisi mala praktik ini.
Misal, Tari sakit pusing dahsyat
selama tiga hari, lalu pergilah Tari ke dokter A di sebuah rumah sakit yang
terkenal. Dokter itu masih muda, lulusan luar negeri, terkenal pintar dan
bagus. Namun setelah berobat, Tari tak
kunjung sembuh hingga obat habis dan makin parah pusingnya. Hingga akhirnya
Tari berobat ke dokter praktik B yang
direkomendasikan banyak orang. Dokternya sudah tua, berpengalaman. Dan ketika
didiagnosa, penyakitnya ternyata langka dan membutuhkan perlakuan khusus, lalu
dirujuklah ke rumah sakit pusat. Dan ternyata memang benar si Dokter B,
penyakit Tari sangat serius dan fatal jika tak ditangani dengan benar.
Nah.. biasanya, kasus yang
terjadi seperti di atas langsung dikategorikan mala praktik dari sisi Tari
sebagai pasien. Karena, umumnya, Tari sebagai
pasien akan menyalahkan dokter muda A yang salah mendiagnosa dan memberi
obat. Poinku adalah, coba kita bayangkan dari sisi dokternya. Sebagai dokter
muda A, yang lulusan luar negeri, banyak baca teori, dan pengalaman/jam terbang
masih baru, salahkah dia? Menurutku belum tentu, melihat pengalamannya, mungkin
saja gejala penyakit yang diderita Tari memang sesuai dengan penyakit yang dia
simpulkan berdasarkan ilmu kedokteran yang selama ini ia pelajari. Karena ia belum
pernah mendapatkan kasus penyakit langka. Sedangkan sang dokter B yang sudah
kaya pengalaman/jam terbang tinggi, melihat gejala penyakit Tari “tidak biasa”,
hingga dapat menyimpulkan dengan tepat. Nah.. dari sisi kedua dokter tersebut,
mereka memeriksa dan melayani pasien sesuai ilmu mereka dan tidak ada sedikit
pun niat melenceng. Namun, seperti iklan salah satu produk, tebukti dan
terlihatlah ‘kualitas teruji waktu’. Di
sanalah poin yang membuatku bingung. Adakah sesungguhnya mala praktik?
Pernahkah pasien menyadari dan mencoba melihat kedua sisi tersebut? Dari sisi
pasien, memang pasti kita ingin langsung menuntut, tapi.. pernahkah kita
berpikir dahulu sebelum memutuskan itu mala praktik? Karena kecenderungan
istilah mala praktik ini berasal dari kalangan pasien.
Lalu mama mengutarakan pengalaman
dan pendapatnya sebagai perawat gigi (sejak tahun 1975-2011) yang pernah diutus
ke Semarang untuk mengabdi. Beliau pun memiliki pendapat yang hampir mirip
denganku. Beliau berkata bahwa dokter-dokter ataupun perawat yang sudah
merasakan berhadapan dengan pasien, terutama pernah dinas ke luar kota selain
Jakarta akan memahami betapa pentingnya sebuah nyawa. Dengan sendirinya, mereka
akan terasah kemampuan skills dan jiwa pelayanannya. Bahkan lebih jauh, rasanya
ingin memberikan seluruh jiwa raga demi kesehatan masyarakat. Mengapa? Karena
di daerahlah, mereka berkembang, bertemu dengn kasus-kasus penyakit baru yang
langka/tidak ada dalam buku dan bangku kuliah.
“Itulah bedanya dokter jaman
sekarang dan dahulu,” kata mama. “Kebanyakan dokter sekarang setelah lulus buka
praktiknya di Jakarta. Coba kalau dulu, dikirim ke daerah. Terus yang dapat
penghargaan dari pemerintah hanya mereka yang dinas/dikirim ke daerah itu.
Benar-benar deh, rasanya beda kalau sudah tugas. Dan feel melayaninya itu
dapat, bahkan inginnya ngasih terus. Karena miris melihat keadaan di daerah.
Dropping obat lama, fasilitas kurang, tenaga medis kurang, serba sulit. Makanya
banyak kasus langka dan aneh. Mama baru pertama kali tuh dapat pasien yang
harus disuntik dari luar bawah tenggorokan ke mucosa (CMIIW, ga ngeh sama istilahnya), padahal di sekolah dan di
buku gak ada. Ditambah, orang daerah itu menganggap mama sebagai perawat ya ga
beda sama dokter. Jadi harus serba bisa, belajar, tanya-tanya sama dokternya
yang ahli. Gak bisa mengelak dengan alasan, ‘saya perawat’. Mereka appreciate
banget sama kedatangan dokter/perawat dari kota. Sering juga, mama ga
ngapa-ngapain, Cuma kasih vitamin atau suntik vitamin terus besoknya sembuh,
mereka langsung memuja-muja kita. Nah itulah… namanya nyawa, sebenarnya ga
tentu semua sama. Dokter/perawat bukan Tuhan, yang maha menyembuhkan. Tetap
saja ada sisi psikis dari sang pasien yang berperan besar. Tentang mala praktik
yang mama lihat di TV, mama hampir yakin, semuanya itu gak disengaja untuk
merugikan pasien. Karena bagi kami, petugas kesehatan, pasien adalah
segalanya.”
Yaa… itulah, tidak ada sesuatu
yang pasti. Tidak ada sesuatu yang paling benar, kecuali tuhan. Jadi… harapan
tulisan ini adalah, cobalah melihat suatu masalah dari sisi sebrang Anda.
Cobalah lihat dari segala sisi, mungkin saja memang itu takdir yang telah
tertulis. Baiklah.. kembali bermuhasabah.
“Hitung-hitunglah dirimu sebelum
dihitung.” (H. R. Bukhari)
With love,
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment