
Berdoa dan berzikir adalah hiasan
hidupnya. Saking sibuknya mengurus akhirat, ia lalai dengan uruan duniawi,
termasuk membangun rumah tangga. Meskipun banyak lelaki yang datang
meminangnya, seperti Gubernur Basra dan Imam Hasan al-Basri, ia tetap tidak tertarik
untuk menikah.
Cinta Rabi’ah kepada Allah tak
bisa disebut sebagai cinta yang mengharap balasan. Justru yang ia tempuh adalah
perjalanan mencapai ketulusan. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berdoa:
“ Ya Allah, Jika aku menyembahMu karena takut pada api neraka, maka
masukkan aku ke dalamnya. Dan jika aku menyembahMu karena tamak pada surgaMu,
maka haramkanlah aku daripadanya. Tetapi jika aku menyembahMu karena
kecintaanku kepadaMu, berilah aku kesempatan untuk melihat wajahMu yang Maha
Besar dan Maha Mulia.”
Rabi’ah memperkaya literatur
Islam dengan kisah-kisah pengalaman rohaninya dalam syair-syair berkualitas
tinggi. Ia dijuluki sebagai The Mother of
The Grand Master dan wafat pada 135 H, ketika usianya menjelang 80 thn.
Subhanallah.. sungguh malu
rasanya, mendapati Rabi’ah Al-Adawiyah yang lebih memilih Allah sebagai kekasih
sejatinya dibandingkan kekasih manusia lainnya. Di jaman kita yang sekarang
ini, masihkah ada wanita seperti itu? Yang menangis di tiap malam dalam sujud
panjangnya, merasa dirinya sangat hina. Berkonsentrasi ibadah hanya untuk Allah
SWT. Aah… saya pun malu menanyakan pada diri sendiri. Bagaimana dengan Anda?
Mari bermuhasabah,
Meta morfillah
No comments:
Post a Comment