Pages

17 June, 2013

Tips Kampus Fiksi 2

Dear B,

Punya teman itu harus dimanfaatkan kan, in positive way, of course!

Nah, jadi ada temanku yang berhasil ikut kampus fiksi 2 dari penerbit diva press di Yogya. Ilmunya aku korek dah… terus dapat deh ceritanya. Niih… kubagi, tips menulis dari kampus fiksi 2 berdasarkan tanya jawab!

Check this out, semoga bermanfaat heheh..


  1. Suatu ide yang SARA itu tergantung dari cara penulis tersebut  menulis atau mengekspos atau mengekspresikan tulisannya. (Jadi, sebetulnya tidak mengapa mengambil topik SARA, seperti agama atau suatu suku, namun dalam pengemasannya itulah penulis tertantang untuk menjadikannya universal. Contohnya seperti ippho “right” santosa dengan 7 keajaiban rezekinya, yang sebenarnya lebih ke ajaran agama, namun dikemas dalam kata-kata universal  yang dapat diadopsi oleh orang manapun. *IMHO*
  2. Semua genre selalu memiliki ruang untuk dituliskan (tergantung passion penulis). Persoalannya bukan untuk mencari sesuatu yang baru, bahwa yang harus dibangun adalah sudut pandang yang diupayakan unik terhadap ide dan tema tersebut, entry point atau titik baru untuk mengeksplore ide tersebut. (Nah, ini yang dibilang “tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari”. Yaa… semua topik best seller itu sebenarnya hanya itu-itu saja. Hanya berbeda di sudut pandang, reframing, dalam melihat suatu permasalahan yang sama. Jadi di sinilah PR penulis, dalam menemukan ciri khasnya, menemukan sudut pandangnya, kaca mata apa yang akan ia gunakan untuk mengupas suatu masalah).
  3. Imajinasi adalah salah satu hal yang diperlukan oleh penulis fiksi. Imajinasi yang kaya lebih berharga, penulis yang baik adalah penulis yang banyak membaca. (See, seperti Pak Taufik Ismail bilang, membaca dan menulis adalah kakak-adik saudara kandung yang tak dapat dipisahkan. Jadi kalau mau tulisannya bagus, ya harus banyak memperkaya diri dengan banyak membaca. Bullshit, kalau ada orang bagus karyanya tapi jarang membaca. Patut diragukan tuh hasil karyanya, mungkin dia plagiat. Hemm….)
  4. Konsistensi menulis itu mempertahankan kebiasaan dan kekuatan komitmen dan keyakinan dalam menulis. (Nah.. ini niih. Ini yang masih belum berhasil saya lakukan. Kedisiplinan dalam mengatur waktu untuk menulis. Saya masih terpaku Deadline. Bahkan karena pekerjaan yang menyita perhatian, kadang saya jadikan ajang ‘balas dendam’ menulis di hari sabtu dan minggu. Huff… ya, istiqomah itu sulit. Konsisten Met…Met!!)
  5. Buatlah outline. Outline adalah rencana yang akan dituliskan. Outline yang sudah dibuat adalah nyawa sebuah tulisan dan harus dipertanggung jawabkan. Atau Membuat kerangka menulis. (Nah… ini lagi. Saya biasanya langsung menulis dengan penggalan-penggalan ide dan konflik serta penyelesaian yang tergambar di dalam benak. Tapi kalo lagi “bener” nih, saya buat mind map gitu. Jadi yaa… kadang-kadang. Masih latihan juga. Hehehhe..)
  6. Biasakan menulis ide. Kapan ide yang sudah ditulis siap dilanjutkan adalah saat di mana chemistry dan penguasaan tema dan ide yang sudah dipersiapkan dengan matang bertemu. (Ini sering saya lakukan. Kalau lagi di perjalanan biasanya saya dapat banyak ide. Langsung deh saya catat di notes bb, atau kalau di rumah lagi istirahat, merenung, langsung saya catat di buku. Walau hanya sekelebat. Nih, contoh foto ide saya.)
  7. Mengatasi mood adalah dengan kebiasaan. Saat kebiasaan sudah terbentuk, maka mood tersebut akan mengikuti. Kekuatan energi pengulangan (teori psikologi). (Kalau kata orang padang yaa, alah biso karno biaso! Yaa… law of repetition. Dari terpaksa, dipaksa, biasa dan akhirnya jadi budaya. Pun menulis, awalnya hanya terpaksa mengarang di sekolah, dipaksa menulis skripsi di kampus, biasa menulis di kantor, jadi budaya deh, menulis tiap kejadian… eh itu mah curhat ya? Itu mah kebiasaan saya, terus dijadikan portofolio, diprint sendiri, buat cover sendiri tanpa ISBN, jadi deh dua buku saya tanpa pembeli. Hahahaha..)
  8. Membangun karakter tokoh dalam dialog, dengan mengalamiahkan dialog tokoh. Jika tokoh harus memaki, maka memakilah. Hidupkanlah karakter tokoh dengan secara alamiah. Jangan bermain-main dengan dialog yang tidak memainkan peran karakter tokoh. (Huuff… ini niih. Kadang saya ‘ga berani memaki’, karena saya sendiri merasa risih dengan omongan yang tak sopan. Yaah… makanya kebanyakan karya cerpen saya ditolak redaksi karena dibilang ‘terlalu putih’. Hiks… cocoknya jadi mamah dedeh. Hahahah… oke.. belajar lagi, Met!)
  9. Menggunakan tanda baca dengan tepat. Tanda baca merupakan intonasi dan emosi, hidup matinya seorang tokoh atau dialog. (Setuju! Sering saya terganggu sama bacaan yang EYD atau peletakan tanda bacanya kurang tepat. Yuk, belajar lagi, yuk!)
  10. Jangan sampai jenuh berlama-lama dan tidak melanjutkan tulisan, kehilangan passion menulis dan tujuan akhir  tulisan. Penulis yang baik adalah penulis yang mampu meredam emosi tulisannya beberapa hari. (Yupp.. kebanyakan tulisan pertama/draft hanya menjadi sampah. Setelah dibaca berkali-kali, dan diendapkan, kemudian dipoles lagi, barulah menjadi tulisan yang ‘WOW’.)
  11. Penulis yang berideologi tinggi harus belajar berdiskusi dengan penerbit.
  12. Proses kreatif itu adalah lama dan harus ditempuh banyak membaca dan banyak menulis. Tulisan yang enak  dibaca bukan hanya tulisan yang mengalir, hal lain yang harus dibangun oleh penulis adalah kelincahan dalam menulis yaitu dengan kekuatan membangun diksi. Bertahanlah dalam proses kreatif. “Menulis itu akan lebih mudah seakan kita sedang berbicara.” ~ AsLaksana  (Akuu bertahaann.. karena ku yakin akan pendiriankuu… *malah nyanyi!*)
  13. Writers block, pertama karena si penulis dalam keadaan tidak nyaman atau tidak ada gagasan (idenya kosong). Hadapi writers block adalah dengan membangun ide. (Hmm… belum pernah ngalami. Mungkin karena saya bukan penulis yang sudah memiliki tanggung jawab dengan penerbit, dikejar-kejar Deadline, kali ya. Tapi berdasarkan salah satu diskusi sih, katanya kalau terkena Writers Block, harus inget lagi niat awal/passion kita menulis itu untuk apa. Kalau bahasa agamanya, “luruskan niat…”)
  14. Mengikat pembaca untuk tetap membaca ratusan halaman yaitu dengan menyodorkan atau  mengikat pembaca dengan kisi-kisi konflik, misal dengan adanya tokoh baru di satu bab yang membuat penasaran pembaca, sehingga pembaca akan melanjutkan membaca buku di bab selanjutnya.
  15. Romantisme itu bukanlah tentang cinta, segala hal tentang humanisme. (Hmm… baiklah. Humanisme.. oke..oke..)
  16. Penulis dengan seiring berjalannya waktu harus memiliki gaya menulis sendiri atau karakter menulis.
  17. Dosa Seorang Penulis : Over PEDE, Emosi Sesaat, Abai pada Detail, tidak memperhatikan attitude. (Nah… inii…. Mesti diingat-ingat niih!! DANGER!! Jangan sampai lupa, Met! Masih nulis ecek-ecek aja sudah bangga #selftoyor) 
Gunakan snapshot seperti ini :
(Senja kian tua. Agak membusuk. Cahayanya menerabas hatiku. Hunjam. Cegkram, begitu kuat mengingatkanku pada wajahnya. Sial! Selalu begini, nyaris setahun.)
Contoh snapshot dalam dialog :
(“Jadi ini maksud semua yang kau kabarkan sebulan lalu?!” Mataku membeliak. Sampah benar dia! Brengsek! “Tahu ini?!” Kusorongkan daun kering ke dekat wajahnya. “Ini kamu! Nggak beda! Lebih busuk bahkan!”)

Naah… segitu tuh tips yang berhasil saya rangkum. Bagaimana? Agak kesindir? Sama. Saya juga.. hahaha… okelah… mari kita belajar lagi. Percuma kalau kita sekedar tahu tapi gak dipraktekkin kan? Tips secanggih apapun ga akan bekerja, kalau tidak kita terapkan dalam keseharian. Mari belajar bersama.



With love,
Meta morfillah.

No comments:

Post a Comment

Text Widget