Pages

28 June, 2013

Secarik Kontemplasiku



Aku terbangun dengan berjuta pertanyaan yang membuat kepalaku pening. Satu hari kemarin, dari britzone (English club), Kompas Gramedia Fair dan Mentoring mengaji sangat-sangat-sangat berurutan dan berkaitan informasi yang kudapat dan memerlukan penelaahan cukup dalam.

Hidup

Mau menjadi manusia seperti apakah dirimu?
Mau menjalani hidup bagaimana?
Menghabiskan sisa usia dengan cara apa?
Membangun keluarga yang bagaimana?

Huuf… bagaimana denganmu? Aku, yang terbiasa Let it happen naturally, it will be better tiba-tiba seperti ditampar keras. Hidup dengan perencanaan begitu panjang (visioner) itulah kelemahanku. Terlalu polos, positif dan sederhana kebanyakan orang bilang mengenaiku. Tapi… sejak kapan aku mulai seperti ini? Menjadi seorang ‘penerima’ yang percaya akan takdirNya. Bukan tak mau berusaha keras, hanya saja aku dan abstraksi pikiranku selalu menyulitkan diriku terhadap hidup yang menuntut hal konkrit. Yaa.. silakan saja jika kalian bilang ini pembenaran. Sampai detik ini pun, aku masih belum mengerti dan mengenal akan diriku. Ia adalah jiwa, ruh yang sangat sulit untuk kupahami. Atau mungkin kecerdasan intrapersonalku yang kurang memadai.

Di saat kita semua ingin hidup normal, aku dikejutkan oleh kenyataan bahwa aku harus abnormal! Karena dengan pilihan menjadi manusia pembelajar dan muslimah sejati.. banyak hal yang “tak biasa” dan “berbeda” yang harus kulakukan. Mau tak mau, suka tak suka, siap tak siap. Bagaimana mungkin dalam pikiranku yang sederhana diciptakan sebuah gagasan “negara” bernama “keluarga”. Dan aku kelak akan menjadi madrasah pertamanya, tonggak peradaban sang “negara”. Dahulu.. tak pernah terlintas. Aku hanya berpikir, hiduplah menjadi orang baik dan bermanfaat. Itu saja. Namun.. setelah aku belajar, tidak sekedar itu. Ada banyak peranan yang harus diperhitungkan. Yaah.. mungkin inilah filsafat kehidupan yang merumuskan kesamaan orang pintar dan orang bodoh. Yakni orang pintar tak pernah merasa dirinya pintar. Dan orang bodoh tak pernah merasa dirinya bodoh. Semakin aku tahu, semakin aku merasa tak tahu apa-apa.


Cinta

How about love?
What is love?
Apakah alasan utama menikah adalah cinta?
Seberapa besar porsi cinta dalam hidupmu?

Itu adalah topik diskusi di britzone kemarin. The power of love . Dan inilah uniknya lagi. Cintaku tak lagi sama seperti kebanyakan manusia. Sebagai muslimah, ada cintaNYA yang menuntunku dan tak sembarangan. Prosesnya lebih dikenal dengan ta’aruf. Membersamai orang yang ta’aruf cukup menerangkan padaku indahnya cinta dilandasi komitmen, amanah serta visi misi hidup berkeluarga. Visi misi membangun peradaban, melahirkan dan mencetak para hafidz hafidzah Qur’an dengan menemaninya dari lahir hingga batas diri mampu. Peranan ibunda tanpa mau anaknya tersentuh pembantu, totalitas. Manalah pernah aku berpikir sejauh itu. Kisah cinta di mataku hanyalah sebatas kalian menikah, membesarkan anak dan hidup baik-baik, tanpa pernah merancang kurikulum tujuan dunia, akhirat dan surga.

Dan mengalaminya pun sebuah anugerah. Tapi lagi-lagi.. semakin aku merasa apalah arti diri ini. Siapakah aku? Seberapa hebatnya diriku? Dan merasa diri ini bukanlah siapa-siapa. Visi dan misi membangun cinta untuk tidak jatuh cinta.. belum terbayang. Apalagi.. apalagi… apalagi..??

Menikah dengan orang yang kau cintai atau menikahi orang yang kau cintai.
Hanya itu saja pilihannya. Dan kini. Dimanakah aku berada.
Secarik kontemplasi pikiran.

Meta morfillah

No comments:

Post a Comment

Text Widget