Kuyakin dulu fitrahku pernah
berjanji
Namun kini hanya dosa menggunung
tinggi
Tapi aku hambaMu juga
Kusadar meski berderainya air mata
Tak menghapus salah yang tak
terhitung angka
Tapi aku hambaMu juga
Yang ingin berubah, yang ingin
juga Kau lihat
Bahwa aku padaMu sungguh
Jangan pernah Kau jauhkan
cahayaMu
dalam membimbingku
Berikan arah langkah ‘tuk berubah
dan tak menyerah
Jangan pernah Kau palingkan
cintaMu
dalam menegurku
Bila kuingkari lagi semua
janji di hati
Jangan pernah berhenti
karena aku hambaMu juga
Kuingin berubah sebelum habis
waktuku
Aku ingin Kau bangga menciptakanku
Perempuan kembali terpekur. Menatap rembulan bulat setengah.
Dengan hatinya yang ringkih, ia merasa letih. Perkara ini kembali mengusik.
Setelah empat tahun ia lepas tertarik. Matanya basah. Lebih basah hatinya. Ia
terjerembab dalam. Lima bulan ia jauh dari cinta-Nya. Ia abaikan surat cinta
kekasihNya. Ia sibuk mencari pembenaran sikapnya. Ia ingin pengakuan pandir
lainnya. Hingga ia goyah, dan godaan datang ibarat bah. Cinta lama dan baru. Ia
sadari cinta itu semu. Tapi ingin hatinya merengkuh. Kecenderungannya mendua.
Tak setia padaNya. Hingga ia ingin melepas dan kembali pada kegelapan dahulu.
Di mana hatinya tak sesak. Dunia serasa bahagia saja. Bahagia yang nista.
Seakan ada yang cinta. Padahal CINTA yang tak berdasar iman itu hanyalah
C.I.N.T.A (CumaIngin Nikmati Tubuh Anda).
Astagfirullah..
Pergulatan di hatinya kian memanas. Menjalar ke matanya, hingga mata itu
basah. Ia tak rela jika imannya terlepas. Ia berteriak, menjerit dengan
jiwanya. Ia meminta uluran tangan. Namun manusia hanyalah insan. Mereka
menambah luka hatinya. Apa mereka bilang, mereka hanya menghakiminya. Berkata
bagi seorang ikhwan, diutamakan mencari pendamping yang tidak pernah mendekati
zina di masa lalunya. Wanita yang terjaga, tidak pernah pacaran. Membuat
hatinya perih. Mengapa? “Duhai Rabbku,,, Bila Engkau hanya memperhatikan
orang-orang shalih, maka kemanakah para pendosa hendak mengadu dan meminta,“ doanya.
“Seperti itukah,” pikirnya. Yang ia tahu tali kekasihNya tidak menghakimi
pribadi yang mencari Tuhannya. Tapi, mengapa mereka yang lebih ‘mulia’
daripadanya berpikir seperti itu? Perempuan itu terus menghela nafas. Panjang.
Seakan ini nafas terakhirnya. Ia menengadah langit. Mencoba berdiskusi dengan
apa yang ada di balik tabir langit. Suara langit. Dan ia hanya beristigfar.
Meredam panas jiwanya. Menekan riak hatinya. Tanpa tahu apakah riak itu akan
hilang bersemayam dari hatinya, ataukah akan meledak dan membinasakan hatinya.
Seperti Krakatau dengan ledakan laharnya. Merapi dengan amarahnya. Dan ia hanya
bisa berserah serta berusaha.
Ia rindu Telaga Kautsar. Dan penjaganya yang tampan. Ia ingin bertemu
dengan Sang Terpilih. Maka,, ia keraskan kembali hatinya untuk pecinta wanita
tak berdasar iman. Ia memilih menjadi cowophobia. Hingga ia yakin, kekasihNya
mengirimkan seorang matahari yang akan menyinari hidupnya dengan kasih sayang
berdasar sayang padaNya. Insya allah. Doakan. Aamiin. [walau sekedar bunga
tidur yang diajak melayang dalam pikirannya].
Salahkah pikiran sang perempuan? Seperti apakah jalan cerita yang akan ia
hadapi ke depannya? Hanya Tuhan dan sang perempuan yang tahu. Saya hanyalah
penulis saja, tanpa ada tendensi apa-apa terhadap takdir kehidupan sang
perempuan. Sampai berjumpa nanti, saya kira. Selamat berpisah (sementara)!
No comments:
Post a Comment