Sebagai tante yang baik, kemarin malam aku menemani Galih dan Daffa untuk
seleksi lomba mewarnai serta lomba adzan di PMPI Yayasan As-Sajdah. Tempatku
menaungi ilmu tauhid serta interaksi dengan Islam beberapa tahun saat kecil.
Tak banyak yang berubah dari fisiknya. Hanya nampak semakin indah dan sejuk.
Bertemu dengan kakak pengajar serta ibu haji yang membimbingku dahulu. Rindu
juga ternyata. Saat masuk rasanya jiwaku terbang melayang ke masa lampau. Masa
di mana hidup terasa indah. Ujian terberat hanyalah kehilangan bapak. Sedang
segala tetek bengek pelajaran dan sekolah tak ada artinya. Bukan aku sombong,
hanya semua terlalu mudah. Tak seperti saat ini, mau lulus harus cari masalah
(skripsi). Terang saja agak sulit, wong aku tak pernah merasa
terlalu bermasalah. Kalaupun ada masalah, untuk apa pula kulebih-lebihkan
hingga diteliti sedemikian rupa. Toh dengan muhasabah, melihat dari kacamata
yang berbeda dan kemauan berubah lebih baik masalah itu selesai (sedikit curcol
:D).
Kembali ke jiwaku, yang serasa terbang nyaman di sana. Seakan baru tersadar
dari mimpi yang begitu panjang. Waktu begitu cepat bergulir, bagai roda
tergelincir dari puncak gunung. Serasa ada bentangan jauh antara duniaku dengan
Islam yang kukenal saat kecil. Akukah yang berubah? Islamkah yang berubah? Atau
waktukah yang berdandan hinga terasa beda? Walau aktif mentoring, tapi kurasa
kualitas itu tidaklah sedalam aku belajar dahulu. Sontak dahaga ma’rifat
Islamku kembali membuncah. Melalui apa aku harus memenuhinya? Dengan beberapa
peran yang harus kujalankan, bahkan hingga rasanya diri dan jiwa ini bukan
milikku lagi.
Ditambah mama mengingatkan sebuah wasiat dari nenek yang tidak pernah
kutemui. Bahwasanya beliau yang muallaf dari Kristen menghendaki turunannya
jangan sampai ada yang keluar dari agama ini. Beliau yang luar biasa cerdas
(keturunan Belanda-Ambon) dengan yakin, agama inilah (Islam) yang terbaik dan
memanusiakan pengikutnya. Bahkan petuah buyut mama yang masih beragama Kristen
di Ambon pun mendukung mamaku untuk tidak keluar dari agama ini (Islam).
Bagaimana bisa mereka sangat yakin? Sedang aku terkadang meragu..
Sungguh bukan masalah baru. Karena tidak ada yang baru di bawah matahari,
seperti yang tertulis di sebuah buku. Tapi.. pernah kucoba mempelajari sendiri
tentang keyakinanku. Memang pengetahuanku bertambah, namun ternyata iman tidak
sendiri. Ia butuh iman yang lain untuk saling mengingatkan, menasehati dan
bercermin. Itulah mengapa iman fluktuatif, ia bisa naik dan bisa turun. Mungkin
aku harus mencoba mencari sebuah tempat di mana iman-iman itu sudah stabil.
Agar aku bisa bercermin dengan jelas.
Hingga akhir hidup, akan banyak kujumpai iman-iman yang ragam. Bila saatnya
tiba, semoga Allah berkenan menjaga imanku tetap pada jalanNya. Karena aku
tidak tahu apa yang lebih celaka daripada kehilangan iman. Kehilangan harta,
tahta, dan yang dicinta akan ada ganti dan penghiburan. Tetapi jika kehilangan
iman, di manakah kita miliki sandaran?
Bukan catatan ga to the law
a.k.a galaw
No comments:
Post a Comment