Pages

25 June, 2013

Iman yang tak sendiri

          Sebagai tante yang baik, kemarin malam aku menemani Galih dan Daffa untuk seleksi lomba mewarnai serta lomba adzan di PMPI Yayasan As-Sajdah. Tempatku menaungi ilmu tauhid serta interaksi dengan Islam beberapa tahun saat kecil. Tak banyak yang berubah dari fisiknya. Hanya nampak semakin indah dan sejuk. Bertemu dengan kakak pengajar serta ibu haji yang membimbingku dahulu. Rindu juga ternyata. Saat masuk rasanya jiwaku terbang melayang ke masa lampau. Masa di mana hidup terasa indah. Ujian terberat hanyalah kehilangan bapak. Sedang segala tetek bengek pelajaran dan sekolah tak ada artinya. Bukan aku sombong, hanya semua terlalu mudah. Tak seperti saat ini, mau lulus harus cari masalah (skripsi). Terang saja agak sulit, wong aku tak pernah merasa terlalu bermasalah. Kalaupun ada masalah, untuk apa pula kulebih-lebihkan hingga diteliti sedemikian rupa. Toh dengan muhasabah, melihat dari kacamata yang berbeda dan kemauan berubah lebih baik masalah itu selesai (sedikit curcol :D).
         Kembali ke jiwaku, yang serasa terbang nyaman di sana. Seakan baru tersadar dari mimpi yang begitu panjang. Waktu begitu cepat bergulir, bagai roda tergelincir dari puncak gunung. Serasa ada bentangan jauh antara duniaku dengan Islam yang kukenal saat kecil. Akukah yang berubah? Islamkah yang berubah? Atau waktukah yang berdandan hinga terasa beda? Walau aktif mentoring, tapi kurasa kualitas itu tidaklah sedalam aku belajar dahulu. Sontak dahaga ma’rifat Islamku kembali membuncah. Melalui apa aku harus memenuhinya? Dengan beberapa peran yang harus kujalankan, bahkan hingga rasanya diri dan jiwa ini bukan milikku lagi.
          Ditambah mama mengingatkan sebuah wasiat dari nenek yang tidak pernah kutemui. Bahwasanya beliau yang muallaf dari Kristen menghendaki turunannya jangan sampai ada yang keluar dari agama ini. Beliau yang luar biasa cerdas (keturunan Belanda-Ambon) dengan yakin, agama inilah (Islam) yang terbaik dan memanusiakan pengikutnya. Bahkan petuah buyut mama yang masih beragama Kristen di Ambon pun mendukung mamaku untuk tidak keluar dari agama ini (Islam). Bagaimana bisa mereka sangat yakin? Sedang aku terkadang meragu..
          Sungguh bukan masalah baru. Karena tidak ada yang baru di bawah matahari, seperti yang tertulis di sebuah buku. Tapi.. pernah kucoba mempelajari sendiri tentang keyakinanku. Memang pengetahuanku bertambah, namun ternyata iman tidak sendiri. Ia butuh iman yang lain untuk saling mengingatkan, menasehati dan bercermin. Itulah mengapa iman fluktuatif, ia bisa naik dan bisa turun. Mungkin aku harus mencoba mencari sebuah tempat di mana iman-iman itu sudah stabil. Agar aku bisa bercermin dengan jelas.
            Hingga akhir hidup, akan banyak kujumpai iman-iman yang ragam. Bila saatnya tiba, semoga Allah berkenan menjaga imanku tetap pada jalanNya. Karena aku tidak tahu apa yang lebih celaka daripada kehilangan iman. Kehilangan harta, tahta, dan yang dicinta akan ada ganti dan penghiburan. Tetapi jika kehilangan iman, di manakah kita miliki sandaran?

 Bukan catatan ga to the law a.k.a galaw


No comments:

Post a Comment

Text Widget