Pages

07 June, 2013

E-ticketing, memudahkan atau menyulitkan?





Foto: Ahmad/pembaca

Jakarta - Sistem e-ticketing Commuter Line di Stasiun Depok Baru tak ditunjang dengan jumlah loket yang memadai. Akibatnya, antrean panjang mengular saat proses pembelian. Ini penampakannya.

Menurut Ahmad, salah seorang penumpang, antrean ini muncul sejak pertama kali diberlakukan sistem e-Ticketing di Depok Baru. Namun, khusus hari ini, antreannya paling panjang. Sekitar 60 meter per loket.

"Tadi kejadian ini saya foto sekitar pukul 06.00 WIB," kata Ahmad saat berbincang dengan detikcom, Rabu (5/6/2013).

Antrean muncul karena hanya ada empat loket dibuka untuk pembelian tiket. Satu tiket untuk KRL ekonomi, sisanya Commuter Line.

Waktu yang dibutuhkan untuk melayani penumpang cukup lama. Sehingga antrean pun tak terhindarkan. Kondisi ini jelas berbeda dengan penggunaan tiket sobek sebelumnya.

"Petugasnya grogi, terus menunggu ngetik juga lama," terangnya.

"Sejak saya naik KRL enam tahun lalu, ini mungkin paling parah," keluhnya.

Sebelumnya di stasiun Bojonggede juga terjadi antrean. Namun bukan saat pembelian tiket, melainkan pada saat masuk ke gate stasiun.


Nah.. itulah sekilas berita tentang e-ticketing. Saya pun termasuk sebagian penumpang Commuter Line yang merasakan “belum siapnya” pengeksekusian e-ticketing. Boleh saya bercerita sedikit tentang pengalaman saya? Boleh dong yaa.. hehehe.

Sabtu, tanggal 1 Juni 2013 saya berangkat menuju rumah di Bogor. Setelah lima hari menetap di Tanah Abang, Jakarta demi bekerja akhirnya saya pulang bersama mama dan uda (Bahasa Padang: kakak laki-laki) yang disabilitas (cacat). Kami menuju stasiun Tanah Abang pukul 10.00 WIB. Sesampainya di loket, ada hal yang berbeda. Antrean mengular menyambut kami. Ooh… ternyata tanggal 1 Juni 2013 adalah peluncuran/pengeksekusian e-ticketing single trip. Mengantrelah saya untuk membeli tiket. Senang rasanya, akhirnya terdapat kemajuan di dunia transportasi negara tercinta ini. Sekitar 15 menit, tibalah giliran saya membeli ticket. Sekarang saya tahu kenapa sampai mengantre panjang dan lama. Hal itu terjadi karena petugas harus mengetik suatu kode di komputer untuk mengeluarkan ticket dari boks mesin, satu per satu. Saya membeli tiga, dan harus mengambil satu per satu ticket tersebut. Sesudah itu kami harus tapping ke gate untuk masuk ke dalam peron. Nah.. di sinilah terasa kekurangannya. Mengapa? Karena uda saya yang disabilitas dan tak mengerti prosedur seperti ini kesulitan melalui gate. Gate itu berbentuk pintu otomatis yang ada palang X nya. Jadi harus satu per satu masuk, setelah tapping kartu dan lampu menunjukkan warna hijau.

Uda saya yang disabilitas ini memiliki kecenderungan harus berpegangan pada seseorang. Jadi dia tidak bisa terlepas dari saya ataupun mama saya. Ketika akan memasuki gate, uda memegang erat tubuh mama saya. Saya di depan mereka dan telah berhasil melalui gate tanpa kendala apapun. Giliran mama saya, saat tapping (dibantu petugas) lalu lampu gate sudah hijau, mama maju namun ditarik uda saya, dan saya bantu menarik palang untuk lewat. Jadilah palang terbuka, namun mama belum melewati gate karena ditarik uda. Lenyaplah fungsi satu e-ticketing untuk masuk (ternyata hanya dapat berguna untuk 1 kali masuk & 1 kali keluar). Tinggallah ticket terakhir. Artinya, mama dan uda saya harus melewati gate yang hanya memuat satu orang bersamaan. Mustahil. Saya pun meminta dispensasi pada petugas agar uda saya dilewatkan melalui pintu biasa/normal. Tapi tidak boleh. Oh my Allah… agak panik juga dan kesal sama petugasnya. Betapa tak pengertiannya mereka. Jelas-jelas kami membeli tiket, dan melihat kondisi uda saya yang disabilitas tetapi tetap saja tak diindahkan. Akhirnya saya suruh mama lewat saja, dan uda saya yang luar biasa memaksa masuk gate. Lolos! Hahaha… postur tubuh uda saya memang tidak terlalu gemuk. Fyuuhh… alhamdulillah..
Kami pun menaiki kereta menuju Bogor pukul 11.00 WIB. Di dalam kereta tidak ada yang berbeda. Pukul 12. 15 WIB, kami tiba di stasiun  Bogor. Di sinilah kami menemukan kejanggalan lainnya. Pintu keluar terlihat sepi, dan ditutup semua. Pertanyaan yang timbul di benak kami, “Keluarnya lewat mana, nih?”

Penumpang yang keluar pun kebanyakan bingung. Sampai akhirnya ada yang berseru, “Di sana tuh keluarnya!”. Kami pun mengikuti arus manusia menuju satu arah pintu keluar. Ya ampuun… pintu keluar ternyata dialihkan ke rel paling ujung dan jalan yang kami tempuh jadi lumayan panjang. Ditambah pula, kami harus tapping lagi melalui gate keluar. Antrean kembali mengular.  Seorang bapak berkata pada saya, “Aduh, parah ini mah. Gak enak. Mendingan pakai kertas aja lah. Jadi lama.”

Saya tersenyum saja. Alhamdulillah,, proses keluar dapat uda lalui sendiri, sehingga tidak ada masalah.

Poin cerita di atas adalah bagaimana menyikapi perubahan/inovasi. Seringkali masyarakat kita apatis, pesimis dan agak sulit untuk mengubah mindset menghadapi perubahan. Tak dipungkiri, saya pun agak shock, karena faktanya memang menjadi lama. Belum terasa dampak dari perubahan tiket kertas menjadi e-ticketing ini. Namun, sepanjang perjalanan saya berpikir, merenung. Sekarang belum terasa dampaknya, bahkan di awal pemerintah, khususnya PT.KAI mungkin mengeluarkan budget besar untuk merevitalisasi infrastrukturnya. Membuat pintu khusus, seperti trans Jakarta, sehingga ada space untuk mengantri panjang. Lalu penambahan alat seperti boks ticket, gate, dan kartunya. Tetapi coba kita berpikir jangka panjang, program ini bagus. Mengurangi pemakaian kertas yang hanya sekali pakai. Melestarikan lingkungan. Mengajarkan budaya antre dan ketertiban serta kedisiplinan waktu bagi penumpang. Meminimalisir “penumpang gelap”.  

So.. pro kontra itu biasa. Dalam mata kuliah difusi inovasi yang pernah saya pelajari saat di kampus, selalu ada hal seperti ini. Ada lima level manusia dalam menyikapi perubahan (pengelompokan adopter by Rogers, 1961).

  1. Innovators: Sekitar 2,5% individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi
  2. Early Adopters (Perintis/Pelopor): 13,5% yang menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi
  3. Early Majority (Pengikut Dini): 34% yang menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal tinggi.
  4. Late Majority (Pengikut Akhir): 34% yang menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
  5. Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional): 16% terakhir adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya: tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumberdaya terbatas.

    Nah… termasuk yang manakah Anda?

    Sesungguhnya tidak ada satu hal pun yang tetap, kecuali perubahan itu sendiri. –anonim-

    Salam,
    Meta morfillah (6 Juni 2013)

    No comments:

    Post a Comment

    Text Widget